Pengertian Riba*
Dalam bahasa arab riba bermakna tambahan boleh jadi tambahan pada suatu benda semisal makna kata riba dalam QS alHajj:5 atau pun tambahan pada kompensasi dari benda tersebut semisal barter seribu rupiah dengan dua ribu rupiah.
Dalam syariat, riba bermakna tambahan atau penundaan tertentu yang dilarang oleh syariat.
Jadi riba itu memiliki beberapa bentuk, ada yang berupa penambahan yang dalam bahasa arab disebut fadhl dan ada yang berbentuk penundaan penyerahan barang tertentu yang dilarang oleh syariat yang dalam bahasa arab disebut nasiah. Ada juga riba nasiah dalam bentuk penambahan yang disyaratkan untuk mendapatkan penundaan pembayaran utang.
Komoditi Ribawi atau Benda Ribawi
Dalam hadits Nabi menyebutkan adanya enam benda ribawi. Enam benda ini bisa kita kategorikan menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama berisi emas dan perak. Kita analogkan dengan emas dan perak berbagai jenis mata uang semisal rupian, dollar dll.
Kelompok kedua terdiri dari gandum syair, gandum burr, korma dan garam. Dianalogkan dengan empat benda ini semua yang bisa dimakan dan diperjualbelikan dengan cara ditakar atau ditimbang.
Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah bersabda, “Jika emas dibarter dengan emas, perak dibarter dengan perak, gandum burr dibarter dengan gandum burr, gandum syair dibarter dengan gandum syair, korma dibarter dengan korma, garam dibarter dengan garam maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya sesuka hati kalian asalkan tunai” [HR Muslim no 4147]
Dari Ma’mar bin Abdullah, aku mendengar Rasulullah bersabda, “Jika makanan dibarter dengan makanan maka takarannya harus sama”. Ma’mar mengatakan, “Makanan pokok kami di masa itu adalah gandum syair” [HR Tirmidzi no 4164].
Dari Ubadah dan Anas bin Malik, Nabi bersabda, “Benda yang ditimbang jika dibarter timbangannya harus sama apabila dibarter dengan benda yang sama. Benda yang ditakar ketentuannya sama seperti itu. Jika dua benda yang dibarterkan itu berbeda maka boleh takaran atau timbangannya berbeda” [HR Daruquthni no 2891].
Ada aturan untuk barter benda benda ribawi dengan rincian sebagai berikut:
Pertama, jika bendanya sama missal kurma dengan kurma, beras dengan beras atau rupiah dengan rupiah maka agar transaksi barter ini diperbolehkan ada dua syarat yang harus dipenuhi pertama, takaran atau timbangannya harus sama meski kualitas dua benda tersebut berbeda kedua, harus tunai.
Yang dimaksud tunai di sini adalah kedua benda tersebut sudah diserahterimakan sebelum kedua orang yang mengadakan transaksi meninggalkan lokasi terjadinya transaksi.
Kedua, jika dua benda yang dibarterkan itu berbeda namun masih dalam satu kelompok semisal rupiah dengan dollar, emas dengan rupiah, atau beras dengan beras maka hanya ada satu syarat yang harus dipenuhi agar transaksi ini legal dan sah menurut syariat Islam yaitu tunai sebagaimana pengertian di atas.
Ketiga, jika dua benda yang dibarterkan itu berbeda kelompok semisal rupiah dengan beras, emas dengan daging sapi maka tidak ada persyaratan di atas. Artinya boleh beda takaran atau timbangan dan boleh tidak tunai.
Demikian pula halnya jika yang dipertukarkan bukanlah benda ribawi semisal motor dengan motor, HP dengan HP maka tidak ada persyaratan di atas untuk legal dan sahnya transaksi ini.
Jenis Riba
Riba itu bisa dijumpai dalam dua jenis transaksi, transaksi jual beli dan transaksi hutang piutang.
Riba dalam transaksi jual beli ada dua macam:
Pertama, riba fadhl [penambahan] semisal barter 10 Kg beras IR 64 dengan 5 Kg beras mentik wangi yang semuanya diserahkan di majelis akad [tempat terjadinya transaksi]
Kedua, riba nasiah [penundaan] semisal barter 5 Kg beras mentik wangi dengan 5Kg beras IR 64 namun salah satu dari keduanya ada yang diserahkan di luar majelis akad atau 1 dollar AS dengan 10 ribu rupiah namun salah satu dari rupiah atau dollar diserahkan di luar majelis transaksi.
Catatan:
Tidaklah termasuk riba nasiah manakala salah satu dari dua barang yang dipertukarkan adalah benda ribawi dan yang lain menjadi mata uang yang berlaku di masyarakat setempat
Riba dalam transaksi utang piutang juga terbagi menjadi dua jenis.
Pertama, riba jahiliah
Kedua, riba utang
Fadhalah bin Ubaid mengatakan, “Semua transaksi utang piutang yang menghasilkan keuntungan adalah salah satu bentuk riba” [Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 11252].
Hukum Hadiah Dari Peminjam Uang
Hadiah yang diberikan oleh orang yang pinjam uang kepada orang yang meminjami atau menghutangi itu ada dua kategori.
Pertama, jika hadiah tersebut dipersyaratkan di awal atau di tengah tengah transaksi utang piutang maka hadiah tersebut adalah riba mengingat perkataan Fadhalah bin Ubaid di atas.
Kedua, hadiah tersebut tidaklah disyaratkan secara lisan atau pun secara urf [hukum tidak tertulis yang ada di masyarakat, pent], tidak pula diminta sehingga murni suka rela dari orang yang berhutang hukumnya perlu rincian.
Pertama, jika hadiah tersebut diberikan setelah pelunasan utang atau pada saat pelunasan hukumnya boleh
Kedua, jika hadiah tersebut diberikan sebelum pelunasan hukumnya haram karena tergolong riba dalam transaksi utang piutang kecuali jika sebelum terjadi transaksi utang piutang keduanya sudah terbiasa saling memberi hadiah.
Abdullah bin Salam berkata kepada Abu Burdah, “Sungguh anda berdomisili di daerah yang riba di sana tersebar luas. Diantara pintu riba adalah jika kita memberikan pinjaman uang kepadanya dengan jatuh tempo yang telah ditentukan jika jatuh tempo tiba orang yang berhutang membayarkan cicilan plus membawa satu keranjang berisi buah buahan sebagai hadiah. Hati-hatilah dengan keranjang tersebut dan isinya” [Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 11245].
Bahaya Riba
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]” (QS al Baqarah:275).
[175] Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
Ibnu Abbas mengatakan, “Orang yang memakan riba itu akan dibangkitkan pada hari Kiamat dalam keadaan gila tercekik”. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim [Shahih Tafsir Ibnu Katsir karya Musthofa al Adawi 1/306]
“Allah itu menghapus riba dan mengembangkan sedekah” (QS al Baqarah:276).
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang benar benar beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (QS al Baqarah:278-279).
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan!”. Para shahabat bertanya, “Apa saja tujuh dosa itu wahai rasulullah?”.
Jawaban Nabi, “Menyekutukan Allah, sihir, menghabisi nyawa yang Allah haramkan tanpa alasan yang dibenarkan, memakan riba, memakan harta anak yatim, meninggalkan medan perang setelah perang berkecamuk dan menuduh berzina wanita baik baik” [HR Bukhari no 2766 dan Muslim no 272].
Dari Jabir, Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, nasabah riba, juru tulis dan dua saksi transaksi riba. Nabi bersabda, “Mereka itu sama” [HR Muslim no 4177].
Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi bersabda, “Riba itu memiliki 73 pintu. Dosa riba yang paling ringan itu semisal dosa menyetubuhi ibu sendiri” [HR Hakim no 2259, shahih].
Dari Kaab bin al Ahbar, beliau mengatakan, “Sungguh jika aku berzina sebanyak 36 kali itu lebih kusukai dari pada aku memakan satu dirham riba yang Allah tahu bahwa aku memakannya dalam keadaan aku tahu bahwa itu riba” [Riwayat Ahmad no 22008, Syaikh Syuaib al Arnauth mengatakan, “Sanadnya shahih sampai ke Kaab al Ahbar]
Dari Abdullah bin Hanzhalah, Rasulullah bersabda, “Satu dirham uang riba yang dinikmati seseorang dalam keadaan tahu bahwa itu riba dosanya lebih jelek dari pada berzina 36 kali” [HR Ahmad no 22007, dinilai shahih oleh al Albani di Silsilah Shahihah no 1033].
Dari Ibnu Mas’ud, Nabi bersabda, “Tidaklah seorang itu memperbanyak harta dari riba kecuali kondisi akhirnya adalah kekurangan” [HR Ibnu Majah no 2279, dinilai shahih oleh al Albani]
No comments:
Post a Comment