Sunday, November 26, 2023

Rahasia Menyingkap Ilmu Laduni

Menyingkap Rahasia Ilmu (Laduni)


Rahasia ahli kitab yang mampu memindahkah kursi Ratu Bilkis sebagaimana di kisahkan Al qur an hingga kini masih merupakan misteri.

Menimbulkan tanda tanya besar dan spekulasi tersendiri bagi kalangan umat Islam. Apakah ilmu tersebut hanya dongengan saja ?. Ataukah ilmu tersebut masih bertahan hingga kini.

Al qur an pasti tidak mungkin memberitakan , jikalau hanya sekedar sebuah dongengan pengantar tidur saja. Pasti ada rahasia yang sangat besar di balik pengungkapan berita tersebut. Apapun yang diberitakan Al qur an adalah sebuah kepastian, hukum sunatulloh, yang berlaku dari dahulu, kini, hingga nanti. Meliputi seluruh peradaban manusia dan alam semesta. Jadi logikanya ilmu tersebut pasti masih ada dalam kesadaran umat manusia hingga kini.

Namun siapa yang memiliki ilmu tersebut ?. Dan sebenarnya rahasia apa (hikmah) yang diajarkan Allah kepada orang tersebut. Apakah yang di maksud dengan hikmah dari kitab-kitab-Nya ?. Sehingga (ketika) seseorang telah mampu memahami hikmah dari kitab-kitab-Nya, orang tersebut akan memiliki kemampuan luar biasa. Bagaimanakah cara menyingkapkannya.

Banyak sekali kajian yang mencoba mengungkapkannya, dengan segala wahana yang di tawarkan. Kajian ini mencoba memberikan pembanding bagi kajian-kajian lainnya. Memberikan alternatif pemikiran. Bagaimana seharusnya kita menyikapi berita (kisah) Al qur an tersebut ?.



Mengkaji Ilmu Laduni


Banyak sudah kajian yang membahas perihal Ilmu Laduni ini. Ada sebagian orang yang menghubungkan ilmu ini dengan kekuatan ghaib, karomah, kesaktian dan lain sebagainya. Ada lagi yang percaya bahwa orang yang memiliki ilmu ini akan memiliki kemampuan membuka berita-berita ghaib. Sehingga orang yang memiliki ilmu ini akan mampu meramalkan kejadian yang bakalan terjadi, sebagaimana yang di isyaratkan dalam hikayat nabi Khidir. Karenanya, orang kemudian percaya dan meyakini bahwa ilmu ini hanyalah milik para nabi dan para wali saja.


Ilmu Laduni telah di persepsikan, dikontruksikan sedemikian rupa, berkaitan dengan karomah dan lainnya, sehingga jika kemudian ada orang yang mengaku memiliki kemampuan mendekati persepsi ini, maka orang tersebut akan di puja-puja bagai orang sakti, sebagaimana orang yang dianggap setingkat para wali. Begitu terpesonanya manusia melihat kehebatan yang dipertunjukannya. Sehingga mereka lupa bahwa bukan itu hakekat Ilmu Laduni. Kehebatan Ilmu Laduni yang disangkakan akhirnya menjadi tujuan para pemuja ilmu.

Sebuah ironi atas ilmu, jika ada permintaan maka ada penawaran begitulah hukumnya. Ketika orang tergila-gila dengan ilmu tersebut, maka ada sebagian orang lainnya yang melakukan klaim bahwa dirinya telah memiliki ilmu yang dimaksud. Seperti semut bertemu gula, begitulah keadaannya. Pemilik ilmu kemudian dikerumuni, di puja di perlakukan bak raja, titahnya adalah titah sang pendito ratu.

Maka bermuncullah orang-orang yang mengaku aku telah memiliki ilmu Laduni dan bahkan katanya mampu mengajarkan ilmu tersebut. Munculah fenomena para dukun yang berkolaborasi dengan para jin, mengaku memiliki ilmu Laduni, biar semakin laris dagangan mereka karena dianggap wali atau orang tua sakti.


Ilmu Laduni biasa juga di sebut dengan Ilmu Hikmah adalah Ilmu Hati. Pada awalnya, Ilmu ini lebih banyak membicarakan perihal penyingkapan hati, teori tentang Dzauk (rahsa) dan Kasyaf. Jika hati sudah bening maka jiwa diharapkan akan mampu membaca dan menangkap kehendak-kehendak Allah. Bahkan sampai kepada membaca Lauh Mahfudz.

Dalam dimensi inilah kemudian orang sering menyalah gunakan pemahaman atas ilmu ini. Orang-orang yang tergila-gila ilmu ini, mengklaim dirinya telah melihat Lauh Mahfud. Dia meng klaim telah membaca apa yang tersurat ataupun tersirat, mampu menguraikan hikmah kata perkata bahkan setiap huruf dari Al qur an. Mampu menguraikan hikmah tiap surah dan ayat yang berhubungan dengan kekayaan, kesaktian, kekuatan dan lain-lainnya.

Setiap surah kemudian di urai menjadi obat bagi siapa saja yang sakit dan membutuhkan bantuan. Pendek kata ayat-ayat Al qur an dan setiap hurufnya dijadikan komediti yang dapat di jual belikan sesuai dengan kebutuhan manusianya. Sungguh hal yang menimbulkan bahaya tersendiri bagi bagi orang yang tidak lurus hatinya.


Rosululloh mengingatkan kepada kita agar berhati-hati terhadap orang yang mengaku-aku memiliki Ilmu Hikmah (Laduni). Berkata Aisyah ra bahwa Rosululloh setelah membaca Surah Ali Imron ayat 7;

“Jika kamu melihat orang-orang bermujahadah tentang itu (mencari takwil perihal ayat-ayat mustasyabihat) maka itulah orang-orang yang dimaksud Allah, (orang yang akan menimbulkan fitnah) maka jauhilah mereka” (Riwayat Imam Ahmad). Riwayat ini di kuatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ibn Jarir.


Banyak sekali ayat yang tidak seharusnya di takwilkan, dan memang akan sulit di takwilkan. Sebab banyak dimensinya, salah satunya adalah berada dalam dimensi rahsa, misal kata cinta, kasih sayang, ikhsan, takwa, syukur, iman, dan lain-lainnya. Kata tersebut hanya akan mampu dipahami jika kita sudah berada dalam keadaan hal yaitu suasananya.

Maka jika seseorang ingin mengetahui bagaimanakah keadaan rahsa cinta kepada Allah misalnya, maka orang tersebut harus memasuki dimensi rahsa. Jika hanya diuraikan melalui akal dan logika, melalui perbendaharaan kata-kata manusia, maka kita tidak akan mampu mendapatkan keadaan hal (suasana) sebagaimana yang dimaksud oleh kata cinta itu sendiri.


Semisal buah jeruk, kita tidak akan mampu mendapatkan referensi utuh perihal jeruk, jika kita tidak mendapatkan realitas buah itu sendiri. Jika kita sudah menemukan realitas jeruk maka karenanya, kita pun dengan sendirinya, menjadi mampu berada dalam suasana, keadaan, kondisi, hal siap menerima makna hakekat jeruk selanjutnya yang masuk kedalam kesadaran kita, karena kita sudah memiliki referensinya (realitasnya).


Jika kita masuk kedalam realitas dimensi keadaan hal (suasana) hakekat sebagaimana keadaan jeruk itu sendiri, secara bulat, baik dalam realitasnya maupun dalam dimensi rahsanya, dan oleh karenanya kita kemudian memiliki pengetahuan tentang hal ikhwal perihal buah jeruk tersebut dengan benar dan utuh, sehingga kita mampu menjadi yakin yakinnya, tanpa ada ruang yang menyisakan keraguan sedikitpun di dalam dada kita, maka oleh sebab karena keyakinan ini, jikalau ada pembantah meskipun sang pembantah mampu membalikan gunung sekalipun, keyakinannya akan tetap tidak akan tergoyahkan. Dia akan tetap pada pendiriannya bahwa hakekat jeruk yang benar adalah yang sebagaimana realitas dalam kesadarannya itu.

Maka (ketika) kita berada dalam pengamatan ini, dalam suasana kondisi seperti ini maka secara tidak langsung, kita tengah berada di dalam bagian dari Ilmu Laduni itu sendiri. Inilah yang ingin saya sampaikan.


Hakekat Ilmu Laduni


Dalam pemahaman saya hakekat Ilmu Laduni sendiri adalah sama saja dengan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu yang dipelajari melalui pemahaman empiris. Hakekat Ilmu Laduni menurut saya, adalah Ilmu yang akan menghantarkan kepada seseorang kepada keyakinanya, ilmu yang mampu menyingkapkan hijab hati atas sesuatu, sehingga nampaklah baginya kebenaran itu.

Kebenaran itu yang kemudian akan menjelaskan sendiri bagaimana keadaannya. Selanjutnya, jika kebenaran sudah diketahuinya dengan hak maka munculah keyakinan utuh, dimana dalam hatinya tidak menyisakan ruang untuk keraguan sedikitpun. Dengan kata lain Ilmu Laduni adalah Ilmu yang di gunakan untuk menambah keyakinan seseorang dari keyakinannya yang ada sebelumnya. Menambah kuat keimanan dari keimanan yang penuh keraguan. Sebab kebenaran itu sendiri yang akan berkata kepadanya. Sehingga pada saatnya nanti kesadaran orang tersebut akan sampai kepada/di posisi kearifan tertinggi sebagai manusia.


Sesungguhnya Al qur an penuh hikmah. Jika saja kita mampu menerima dan menetapi keadaan yang dimaksud suatu ayat. Maka itu adalah hikmah yang sangat banyak. Sebab dengan pemahaman semisal satu ayat saja, jiwa kita akan mampu tenang. Jiwa akan dengan sendirinya tenang dalam menetapi takdir-takdirnya dalam keyakinannya.

Ketenangan yang tidak di buat-buat. Sebab dirinya diliputi suatu keyakinan bahwa Allah tidaklah menghendaki kesukaran bagi dirinya. Bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan maha Penyayang. Inilah keyakinan sejati. Karena dia sudah pernah merahsakannya, keadaan dalam keyakinan itu. Disinilah ranah Ilmu Laduni, wilayah rahsa (dzauq), penyingkapan daya (kasyaf), menetapi posisi kedudukan dan keadaan jiwa atas hal didalam hikmah atas makna setiap surah.


Saya akan sedikit mengulasnya dengan salah satu contoh dan keadaannya sebagai berikut, misalnya keadaan pada surat Al baqoroh ; 185, diinformasikan kepada kita. Firman Allah : “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. “ Sekilas kita membaca ayat tersebut sebagai informasi biasa saja, namun jika kita masuki lebih dalam, ayat tersebut seperti bicara kepada kita. Anehnya, meskipun kita mencoba memasuki lebih dalam lagi keadaan seperti yang dimaksud ayat tersebut kita tidak akan mampu menemukan keadaan posisi jiwa disitu yang pas dengan pemahaman ayat tersebut.

Timbullahkeraguan pada diri kita, seperti apa keadaannya ?. Kemudahan seperti apa yang dimaksudkan. Bukankah kehidupan kita, hanyalah mendapati kesukaran demi kesukaran, kesulitan demi kesulitan, hidup tak berbatas tepi, merana terus menerus sepanjang waktu ?. Begitulah kita akan selalu saja mempertanyakan keadaan diri kita. Berikutnya alih-alih kita mengakui kebenaran ayat tersebut. Malahan selanjutnya kita pun akan menganggap remeh, bahkan mengabaikan saja ayat ini. Kita malas sekali berfikir akan kebenarannya. “Masa bodoh ah..gak ngerti lupakan saja ..!” Begitulah kita.


Keadaan jiwa akan meliar, bertanya dan memberontak kepada siapa saja dalam dirinya, kepada apa saja. Jiwa akan terus mendebat; “Jika Allah mengehendaki kemudahan bagi saya kenapa hidup saya susah begini, kenapa saya tidak kaya, kenapa saya tidak cantik, kenapa saya tidak dilahirkan dari konglomerat, apa yang di mudahkan Allah atas saya, kenapa bla..bla..dan seterusnya dan seterusnya.” Jiwa tidak akan pernah berhenti menghujat.

Begitulah keadaan jika jiwa tidak memiliki referensi apapun atas yang kita ucapkan. Dalam kasus ini, jiwa akan terus bertanya tentang takdirnya. Kemudahan apa yang diberikan Allah atas takdirnya. Muncullah prasangka kepada Tuhan. “Jika Allah tidak menghendaki kesukaran pada dirinya, mengapa kehidupannya kok sukar begini.” Jiwa tidak mengerti, tidak pernah mau mengerti, apa maunya Allah. Sungguh karena hakekatnya jiwa belum mengetahui keadaan hal kebenaran atas firman Allah tersebut.


Sebagaimana yang dialami kaum Yahudi ratusan abad lalu, dahulunya mereka seringkali membuang atau menghilangkan ayat-ayat yang tak dimengertinya, yaitu ayat yang dianggap mereka tidak pas dengan akal mereka. Sesungguhnya dikarenakan mereka tidak paham dan tidak pernah mendapatkan posisi dan keadaan yang pas saja, disebabkan karena terhijab akalnya mereka itu.

Hijab telah menutup diri mereka untuk mengetahui hakekat dan keadaan hal-nya sebagaimana yang dimaksudkan surah atau ayat dalam firman Allah. Mereka penuh prasangka, karenanya mereka membuang sebagian ayatnya atau mengganti dengan buatan mereka sendiri. Maka kemudian kita dengar ceritanya bahwa kaum Yahudi banyak yang merubah isi dan kandungan kitab-kitab mereka. Itulah sebab jika manusia hanya menggunakan akalnya saja, pasti mereka tidak akan mampu menerima keadaan hal yang dimaksudkan oleh firman Allah. Maka karena kesombongannya itu, secara begitu saja mereka kemudian mengikari (dalam hati mereka) dan mendustakan firman-firman Allah tersebut.


Memang tidak gampang memaknai keadaan yang dimaksud ayat tersebut, dan mengambil ikhwal kebenarannya, namun jangan sampai karena kita tidak mampu memaknai ayat tersebut, dengan seenaknya kemudian kita menganggap ayat tersebut salah. Atau mengabaikan keberadaan adanya firman Allah tersebut. Kita harus ber hati hati dengan ini.

Kondisi seperti ini sebetulnya terjadi kepada siapa saja. Ketika keadaan jiwa belum siap maka jiwa tidak akan mampu menerima keadaan hal dan kebenaran ayat tersebut. Itulah keadaan diri setiap manusia. Walau bisa saja secara logika kita menerima kebenaran atas ayat al qur an. Sebab dikarenakan pengaruh kesadaran kolektif atas diri kita, yaitu keimanan yang diturunkan orang tua kita.

Namun keadaan jiwa nyatanya tidak bisa dipaksa untuk begitu saja mengakui hal ini. Jika jiwa tidak memiliki referensi atas rahsa dan keadaan tersebut maka jiwa akan tetap dalam posisi pengingkaran. Jiwa tidak mampu mengenali, keadaan seperti apa yang dimaksudkan sehingga terjadilah keraguan yang tersembunyi dalam hatinya. Keraguan dalam hati inilah yang sering menimbulkan penyakit maka manusia tidak bisa khusuk. Keraguan ini harus di singkapkan, di buka lapis demi lapis. Sampai hati menjadi bening dan mampu menerima keadaan hal dan kebenaran firman Allah yang dimaksudkan tersebut.


Mari kita eksplorasi lagi, bagaima posisi keadaan jiwa saat kita mengucapkan “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. “ Bayangkanlah bagaimana keadaan jiwa yang semestinya, bagaimana rahsanya, mampukah kita dalam posisi benar-benar dalam keadaan sebagaimana yang dimaksud oleh ucapan kita itu ?.

Ilmu Laduni akan menyingkapkannya untuk kita, bagaimana rahsa dan keadaan itu. Sehingga kita akan mampu menetapi keadaan tersebut dengan sebenar-benarnya, dengan se yakin yakinnya. Keyakinan yang utuh. Kalau berkeinginan melakukan eksplorasi berikutnya, cobalah dengan lafadz lainnya; “ Subhanalloh, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Lai Ila ha illlah, Lau haula wala kuwata ila billah, Ina lillahi wa ina ilaihi rojiun.” Cobalah bagaimana posisi jiwa dalam keadaan hal tersebut.



Makna dan keadaan Hal


Secara sederhana perumpamaannya adalah sebagaimana keadaan seorang pemuda menyatakan cinta kepada kekasihnya. “Aku cinta padamu.” Pernyataan ini akan menimbulkan getaran dan sensasi luar biasa bagi pemuda tersebut. Dan bagi gadis yang mendengarnya pun akan mampu menangkap getaran dalam nada suara dan bahasa tubuh pemuda tersebut. Bagaimanakah hal keadaan (suasana) dalam dada pemuda tersebut saat menyatakan cintanya ?. Inilah perumpamaannya. Inilah yang di kaji dan diungkap, dirahsakan agar hati mampu menerima keadaan hal sebagaimana makna ayat, itulah hikmah yang luar biasa. Bagaimanakah (suasana keadaan hal) dada orang ber iman dan dada orang kafir ?.


Lebih mudahnya lagi saya ilustrasikan. Ketika kita sudah memiliki referensi akan buah jeruk, di sebabkan kita pernah, melihat, memegang, mencium, dan memakannya, mengerti rahsanya, maka saat kita mengatakan “JERUK”. Instrumen ketubuhan kita menerima kata tersebut dengan rileks saja. Jiwa dan raga pernah merasakan sensasi rahsa buah jeruk, akal dan indra juga sudah menyaksikan secara benar. Maka jeruk kemudian menjadi realitas. Menjadi mudah saja kita untuk memahami dan mengenali sensasi ketika di sebutkan ‘JERUK’.

Maka ketika kita mengatakan. “Aku suka jeruk.” Semua instrument ketubuhan kita bekerja sinergis menerima, tidak ada penentangan apapun baik dari akal, indra, jiwa ataupun raga kita. Kita akan mengenali sensasi (suasana) rahsanya. Semua dipahamkan dan mengerti. Kita akan dalam keyakinan yang bulat saat mengatakan kalimat tersebut. Karena jiwa dan raga serta seluruh instrument ketubuhan kita dalam keadaan harmoni. Itulah perumpamaannya.


Namun sebaliknya jika kita belum memiliki referensi perihal jeruk, instrument ketubuhan kita akan mendustakan apapun yang kita katakan tentang jeruk. Kita tidak akan memiliki keyakinan karena diri kita tidak memiliki referensinya. Meski kita paksakan untuk mengerti, kita tetap tidak akan menemukan realitas jeruk dalam diri kita. Meskipun kita paksakan dri kita untuk agar yakin, namun sejatinya kita hanyalah akan mendapatkan suatu keyakinan yang menipu (keyakinan semu).

Karena di dalam diri kita masih ada ruangan kosong untuk keraguan. Maka saat (ketika) kita berkata. “Aku suka jeruk.” Instrumen ketubuhan kita akan menolak, dan mengingkari, ada penentangan dalam hati. Sebab ada keraguan disana, ada kebohongan yang tersembunyi. Akibatnya jiwa tetap tidak tenang setelah mengatakan kalimat itu.


Semisal lainnya, saat (ketika) kita mendengar kabar perihal Taman Impian Jaya Ancol, banyak berita yang masuk kepada kita. Bagaimana keadaannya, serta apa saja wahana yang di tawarkan disana, penuh suka cita, pesona segala rupa, dan lainnya. Begitu banyak informasi yang kita dengar, sehingga tanpa mampu menolaknya kita meyakini bahwa berita itu adalah suatu kebenaran. Saking sukanya kita dengan berita-berita tersebut. Maka kemudian kita bahkan mampu menceritakan kepada kawan-kawan kita, dengan begitu antusiasnya, berikut sensasi dalam angan-angan kita. Masuklah imajinasi kita ke dalam cerita yang kita bawakan.

Begitu berurut, setiap orang melakukan kontruksi lagi atas berita yang di dengarnya, berdasarkan imajinasi dalam versinya masing-masing, cerita dari mulut ke mulut bersambung, di bawa dari sabang sampai merauke. Sehingga meski tanpa pernah datang kesana setiap orang akan mampu menceritakan bagaimana keadaan Taman Impian Jaya Ancol, berikut dengan sensasinya. Dengan serunya setiap orang kemudian berdebat tentang berita tersebut. Dengan versi kebenarannya sendiri tentunya. Begitulah keadaannya.


Namun sayangnya, hati tidak pernah bisa diajak kompromi, ketika kita menceritakan keadaan hal Taman Impian Jaya Ancol. Hati akan menghakimi kita. Ada kebohongan tersembunyi disana. Maka ketika kita mengatakan bahwa “Saya percaya atas berita tentang Taman Impian Jaya Ancol “.

Kemudian ketika kita berkata bahwa “Saya mencintai Taman Impian Jaya Ancol”. Seluruh instrument ketubuhan kita akan menolaknya. Dalam dirinya tidak ada realitas atas Taman Impian Jaya Ancol. Dia belum pernah kesana, belum pernah merasakan sendiri sensasinya. Maka ada keraguan dalam jiwanya. Jika semakin lama dia bercerita maka akan semakin dalam hijab yang menutupnya. Sehingga dia semakin jauh dari hakekat keadaan Taman Impian Jaya Ancol yang di maksud itu sendiri.

Dalam dirinya hanya penuh angan dan imajinasi yang menipu dirinya. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk sebuah keyakinan, jiwa harus menemukan realitas Taman Impian Jaya Ancol, agar dia yakin seyakin-yakinnya. Tiada jalan lain selain dia harus datang, mengenal dan merasakan sendiri bagaimana keadaan tempat tersebut.


Ilustrasi tersebut ingin menjelaskan bahwa ketika kita mengatakan. “Aku beriman kepada Allah.” Padahal kita sendiri tidak pernah memiliki referensi kata “IMAN’. Dan Kita sendiri juga tidak mengenal Tuhan “ALLAH” , maka pastilah instrument ketubuhan kita akan mengikari, ada keraguan disana, ada kebohongan tersembunyi. Inilah yang menyebabkan meskipun kita sudah beribadah sedemikian hebat, hati tetap tidak tenang.

Karena diri kita tidak memiliki referensi apapun atas kalimat yang kita ucapkan. Begitu pula kejadiannya, sama keadaannya (ketika) saat ber dzikir dan dalam diri kita tidak memiliki referensi apapun atas rahsa dan keadaan hal sebagaimana di maksudkan lafadz yang kita dzikirkan. Maka sudah barang tentu kita tidak mampu berada dalam posisi keadaan sebagaimana maksud dalam kita ber dzikir. Ketika kita tetap nekad, hantam kromo saja, di khawatirkan justru malahan Jin yang datang, terpanggil oleh energy dzikir kita, maka seringkali kita temukan seseorang yang banyak dzikir keadaan dirinya malahan diliputi para kodam, seakan-akan dia memelihara kodam yang selalu mengikuti apa saja maunya. Inilah jenis hijab lainnya. Dia akan sulit sekali masuk kepada hakekat “la haula wala kuwata ila billah’.


Inilah yang menjadi sebab mengapa ketika kita ‘mengingat Allah’ hati kita tetap tidak mampu tenang. Dan di posisi lain, diri kita tetap tidak mampu menikmati takdir kita dengan puas, ikhlas dan ridho. Padahal dalam ayat Al qur an jelas dikatakan “Dengan mengingat Allah maka hati akan tenang.” Disinilah Ilmu Laduni akan memandu kita dalam menemukan hikmah atas makna ayat dalam Al qur an, secara benar, pada posisi jiwa yang benar. Sebagaimana yang dimaksud. Sehingga kita akan mampu mengatakan kalimat tersebut dengan keyakinan yang bulat. Sehingga karenanya, kita akan mampu kembali ber dzikir dengan khusuk. Kearah tujuan itulah hakekat keberadaan Ilmu Laduni.


Karena sekali lagi, sudah semestinya kita menyingkap hikmah atas keadaan hal dari setiap ayat, kemudian selanjutnya adalah bagaimana kita mampu mendapatkan posisi pada wilayah rahsa yang dimaksudkan. Keadaan yang dimaksudkan harus menjadi realitas bagi diri kita.

Sebagaimana ilustrasi buah jeruk tadi. Kita harus memiliki referensi atas setiap kata yang kita ucapkan. Kita harus mengenal rahsa yang menyingkap makna. Keadaan realitas yang sebenarnya, sehingga kita mampu mengucapkan kalimat (ayat) dengan khusuk. Ini adalah wilayah rahsa (dzauq) dan penyingkapan (kasyaf). Suatu lintasan rahsa yang unik, sangat subyektif sifatnya.

Keadaan ini sungguh penting, dikarenakan dengan mengetahui keadaan ini, kita akan tahu bahwa saat itu, kita sedang melakukan penyembahan kepada siapa, kepada Allah ataukah kepada selain Allah. Disinilah Ilmu Laduni akan banyak membantu.

Meskipun setiap orang nantinya dalam kadar dan ukurannya masing-masing dalam hal ini, namun tidak seharusnya kemudian kita mengesampingkan realitas keadaan posisi jiwa dimana saat terkini. Mengetahui dimana jiwa dalam keadaan orbit yang semestinya. Maka tidak selayaknya jika kita mengabaikan keberadaan Ilmu Laduni ini.



Khazhanah Intelektual


Ilmu Laduni adalah khazanah kekayaan intelektual Islam yang tersembunyi. Ilmu ini telah di bingkai dan di bonsai sedemikian rupa, dianggap tabu, sehingga secara perlahan menghilang dari kesadaran umat Islam.

Ilmu ini pernah diperdebatkan berabad-abad lalu. Ada yang pro dan ada yang kontra. Sungguh sayang sekali, jika ilmu ini akhirnya tenggelam dalam hiruk pikuk peradabaan. Jangan disalahkan, jika kemudian Ilmu ini akhirnya dimanfaatkan oleh orang yang tidak mengerti, mereka menggunakannya untuk kepentingan nafsu mereka sendiri, mereka riya’ dengan ilmu mereka ini. Inilah yang menjadi penyebab kenapa Ilmu ini kemudian terpinggirkan.


Menjadi keprihatinan kita, sungguh sangat di sayangkan, jika khazanah ke ilmuan ini di manfaatkan hanya untuk sekedar pamer saja. Padahal dalam riwayat lain di ceritakan bahwa Ilmu inilah yang telah membantu Hujatul Islam Imam Ghozali mendapatkan pencerahan kembali setelah sakit dan mengalami keraguan yang serius dalam mencari hakekat ilmu dan hakekat kebenaran. Syukurlah beliau disamping kesembuhannya, akhirnya beliau juga telah berhasil menyusun ulang kaidah-kaidahnya secara lebih terperinci dan lengkap.


Marilah kita formulasikan kembali makna dan hakekat Ilmu Laduni, sehingga sesuai dengan tuntutan jaman. Mari kita lihat kondisi masyarakat kita, sebagian besar umat Islam adalah orang awam, mereka adalah garda terdepan yang senantiasa terus di benturkan dengan kehidupan, merekalah yang berhadapan dengan kesadaran liberalisme dan lain-lainnya. Mestinya mereka berbekal keimanan yang kuat. Namun keadaannya tidak demikian. Kesibukan telah menyita hari-hari mereka. Jangankan untuk menghapalkan dalil-dalil dan meng hapal Al qur an. Untuk sekedar memenuhi dan menggugurkan kewajiban sholat 5 waktu saja merekapun masih kesulitan. Bagaimana pula harus mempelajari dalil dalil ilmu kalam yang diwajibkan atas mereka, agar mampu melaksanakan syariat ?. Bukankah agama akan memberatkan jadinya ?.


Keadaan mereka terus di kejar waktu, tidak ada kesempatan mengkaji dalil-dalil sebagaimana yang di isyaratkan ilmu kalam (Baca; syariat). Kewajiban yang menjadi persyaratan ini akhirnya membebani mereka. Seperti menjadi keengganan lainnya jika mereka harus berbicara agama sebagai jalan hidup. Agama akhirnya menjadibeban hidup itu sendiri. Seperti dua sisi mata uang saja. Sehingga hidup mereka kering, pada gilirannya menyebabkan kesulitan tersendiri bagi mereka, dalam menjalankan kehidupan beragama.

Meskipun begitu, namun sesungguhnya kecintaan mereka atas Islam sejatinya tidak pernah surut. Bukankah sudah terbukti, jika ada sedikit saja kaum lain yang mengusik Islam, mereka akan berontak. Mereka akan melawan dengan kekerasan. Kecintaan yang menimbulkan dilema. Sebab karena ulah seperti ini Islam terlihat menjadi gahar, Islam yang penuh prasangka dan permusuhan. Jauh dari agama yang penuh kasih.

Walau begitu, tidaklah seharusnya jika mereka kemudian terpinggirkan, dan ditinggalkan dengan tidak mendapatkan pengajaran !. Bukankah ini menjadi tantangan tersendiri bagi kita ?. “Bagaimana agar kaum awam seperti kita ini mampu menjalani kehidupan beragama dan berketuhanan meskipun dibelit dinamika kota.” Pertanyaan yang seharus bisa segera terjawab oleh Islam itu sendiri.


Pengajaran yang sederhana namun mampu memenuhi kebutuhan mereka dalam beragama. Inilah jawabannya, solusi yang diharapkan kaum urban. Belajar agama melalui pengajaran ringkas dan sederhana, dan tidak ribet, namun cukup untuk menjadi bekal kita menjalani hidup, dengan tenang, puas dan ridho. Bukankah ini sudah seharusnya ?. Pengajaran Islam sederhana namun dalam dan syarat makna, sebagai bekal dalam mengarungi hidup di dunia dan di akhirat nanti. Inilah yang dimaui. Karena yakinlah, jikalaupun kita hanya mampu memahami satu ayat saja dengan benar, semisal “Bismillahi rohmani rohiem” kita manusia sudah dapat di pastikan akan mampu hidup puas, tenang, dan ridho. Sungguh, jika saja kita mengetahui dan meyakini hal ini (!?!).

Al qur an adalah kitab yang penuh hikmah. Maka disebutkanlah jika manusia diberikan hikmah ilmu, semisal satu ayat saja, dapatlah dikatakan, bahwa dia sesungguhnya sudah mendapatkan rejeki yang amat sangat banyak. Inilah faedah ilmu hikmah (Laduni) yang di tawarkan. Maka sudah selayaknya jika Ilmu Laduni di kaji ulang, menjadi solusi alternatif pengajaran bagi masyarakat urban ibukota.



Batasan Ilmu Laduni


Ilmu Laduni adalah sebuah keniscayaan, ilmu yang sebaiknya dimiliki oleh umat Islam. Apakah terlalu berlebihan statemen ini. Rasanya tidak. Seseorang yang telah memiliki iman dalam hatinya dan dia bertakwa kepada Allah, akan dengan sendirinya memiliki ilmu ini. Inilah keniscayaan yang saya maksudkan. Pengetahuan akan penyingkapan hati, pengetahuan kasyaf , kemampuan seseorang dalam mengenali daya yang bekerja pada dirinya, adalah sebuah kemampuan yang layak dimiliki.


Menjadi pertanyaan dalam kajian-kajian terdahulu, bagaimana kita mampu mengenali sebuah daya yang bekerja pada diri kita adalah benar daya Allah, bukannya daya yang berasal dari proses induksi. Inilah pertanyaan kita selalu. Keyakinan bahwa daya yang bekerja pada diri kita adalah daya Allah, adalah sebuah keniscayaan yang seharusnya dimiliki oleh kaum muslimin.

Sayangnya, mengenali sebuah daya dan kemudian menetapinya sebagai daya dari Allah adalah sebuah persoalan tersendiri bagi umat Islam. Mereka selalu merasa sudah benar dalam penyembahan mereka, mereka enggan masuk ke dalam hatinya masing-masing mempertanyakan hal ini. Mereka dan kita semua sering tidak mau mempersoalankan lagi apakah daya yang kita pergunakan adalah benar daya Allah atau bukan.

Sudah mampukah kita meniadakan daya-daya lain yang mencoba memperngaruhi diri kita dan berkata dengan yakin bahwa tiada daya upaya selain (daya) Allah. Tanpa keyakinan yang benar, maka sesungguhnya kita tidak akan mampu mengatakan hal ini. Kita akan mengalami keraguan dan keraguan terus. Semua dalam kesulitan (ketika) saat ber ikhsan. Hakekat bahwa Allah melihat kita, dan hakekat bahwa (seakan akan) kita melihat Allah. Inilah salah satu sebab mengapa umat muslim Indonesia mengalami kemrosotan akhlak yang akut.


Sebab ketika kita sudah yakin dan mampu mengenali daya tersebut, maka tenanglah hati dan jiwa kita. Inilah system bekerjanya ketubuhan kita. Bagaimana mengenali daya tersebut jika kita tidak memiliki pengetahuan atas ini ?. Maka dengan ilmu (kasyaf) inilah diharapkan manusia akan dapat mengenali daya tersebut dan kemudian yakin atas ini. Pengetahuan ini bukanlah datang secara tiba-tiba, seseorang harus melakukan perjalanan sendiri-sendiri.

Pengetahuan ini bukan datang dengan cara membaca, ataupun belajar dari seorang guru. Pengetahuan ini langsung diajarkan oleh Allah kepadanya. Maka seseorang yang menginginkan pengetahuan ini wajib melakukan perjalanan rohani, sampai nantinya Allah akan menunjukan jalan kepada-Nya.


“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (jihad) untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. “ (QS. Al Ankabut : 69)


Inilah janji Allah, maka saya katakan bahwa Ilmu Laduni adalah sebuah keniscayaan saja. Yaitu bagi setiap muslim yang mencari keridhaan Allah dengan sungguh-sungguh maka kepadanya akan ditunjukkan jalan ini. Sebab dengan Ilmu ini dia akan mampu mengenali daya, dia akan mampu mengenali dualitas rahsa, dia kemudian akan mengenali jalan-jalan-Nya. Inilah keniscayaan berikutnya, membedakan rahsa-rahsa di jiwa, yaitu sebuah efek sensasi rahsa yang ditimbulkan oleh sebagai akibat penyembahan diri kita, apakah kepada Allah atau kepada selain Allah. Dirinya akan mengenali rahsa tersebut, membedakannya, sehingga kemudian dia mampu melakukan koreksi dan bertobat, meluruskan kembali niatnya, jika kita salah dalam penyembahan diri kita. D

engan ilmu ini (kasyaf) dia akan mampu menghadapkan dirinya dengan keyakinan yang benar kepada Tuhan (Allah) Yang maha Esa bukan kepada Tuhan yang sebatas dalam persepsi saja, bukan kepada Hantu yang malah dianggapnya sebagai Tuhan. Semua akan diketahuinya melalui penyingkapan hati, melalui sensasi rahsa yang tak sama. Akan ada efek dualitas rahsa yang akan mampu dikenal dengan baik, sehingga dirinya tidak dibingungkan lagi oleh sensasi dualitas rahsa tersebut.


Saya ingin memisahkan pemahaman saya dengan pemahaman bahwa Ilmu Laduni atau Ilmu Hikmah adalah sebuah ilmu yang dimaksudkan dan identik dengan kemampauan seseorang yang memilikii karomah, supranatural, atau kesaktian-kesaktian lainnya. Bukan itu yang saya maksudkan. Bukan atas pemahaman itu, kajian ini dituliskan dan bukan maksud dari kajian ini ke arah sana.

Saya akan membatasi pemahaman bahwa Ilmu Laduni , menurut pendapat saya adalah sebuah ilmu mengenali rahsa (dzauq), menyingkap hati, dan mengenal daya (kasyah) di dalam diri manusia sendiri. Ilmu yang akan mampu menyingkap hakekat diri manusia itu sendiri. Sehingga manusia akan mampu mengenali dirinya sendiri.


Ilmu Laduni adalah ilmu yang sangat spesifik dan unik. Setiap manusia akan diberikan ilmu ini, namun sayangnya ilmu ini hanya bisa digunakan untuk dirinya sendiri saja. Inilah pemahaman saya, sehingga ilmu ini tidak mungkin dapat diajarkan kepada lainnya. Dia hanya bisa menggunakan ilmu tersebut hanya untuk mengenali dirinya sendiri, mengenali lintasan hati dan penyingkapannya. Maka berhati-hatilah kepada orang yang mengatakan memiliki ilmu ini dan mengatakan mampu mengajarkan Ilmu Laduni ini. Dalam pemahaman saya Ilmu Laduni bukanlah sebuah ilmu tentang kesaktian manusia, ilmu ini adalah sebuah ilmu hikmah.

Hikmah apa yang perlu diketahui seseorang atas sesuatu hal, maka hanya Allah dan dia saja yang tahu. Allah Maha Tahu, yang akan menyingkapkan rahasia hikmah apa saja untuk dirinya. Hikmah yang hanya pas untuk dirinya sendiri, tidak untuk orang lain. Hanya dia sendiri yang akan memetik hikmah pelajarannya. Maka pengajaran seperti apa, kurikulum yang mana yang akan pas untuk setiap manusia, hanya Allah yang tahu. Maka hubungan belajar dan mengajar ini sangatlah spesifik sifatnya dan ‘privat’ sekali.


Mengenali rahsa (dzauq), mengenali daya (kasyaf), Ilmu yang mampu meyingkap rahasia hati, sehingga dengan ilmu ini seseorang akan memiliki keyakinan yang tidak akan menyisakan ruang bagi keraguan sedikitpun. Karena telah terbukanya hijab dan penyingkapan hati. Inilah hakekat dan batasan Ilmu Laduni yang saya maksudkan.

Dengan ilmu inilah seorang muslim akan dapat memahami hikmah dam hakekat kebenaran itu sendiri. Sehingga dia tidak akan dibingungkan lagi dengan versi kebenaran kelompok lainnya. Jikalau dalam penyingkapan hikmah, seseorang kemudian di pahamkan melalui cara-cara yang di luar nalar dan logika, (sehingga manusia menganggap sebagai karomah) itu sifatnya hanya individualistis, dan karena semua terserah kepada Allah bagaimana memberikan pengajaran.


Pengajaran dalam mengenali daya, memang kadang sangat mempesona. Hampir semua yang penulis kenal yang sedang belajar hal ini tiba-tiba memiliki kemampuan yang tidak biasa. Kadang bisa memberhentikan hujan, memberhentikan dan membalikan arah angin, dan juga kemampuan supranatural lainnya. Banyak diantaranya yang kemudian mampu menyembuhkan penyakit non medis, yang di sebabkan makhluk ghaib, dan lain sebagainya. Tersingkapnya hijab hati akan menyingkapkan ke ghaiban inilah konsekwensinya, maka dia akan mampu berkomunikasi dengan makhluk ghaib, dan mengenali kesadaran-kesadaran lainnya, mengenal dari rahsa di jiwa.

Dirinya akan senantiasa di hadapkan kepada dua dunia, beserta dimensi-dimensinya. Dirinya dibenturkan kepada sebuah fakta untuk memaknai manakah yang sebenarnya Realitas dan manakah yang Ghaib. Dualitas rahsa dalam kesadarannya. Karena semua menjadi seakan-akan sama saja. Tinggal dia mau memaknai seperti apa keadaannya dan sebagai apa. Apakah akan memaknainya sebagai hal ghaib ataukah sebagai realitas alam semesta saja, suatu kewajaran. Sungguh mempesona. Namun hakekatnya itu hanyalah pembelajaran saja kepadanya. Dia sedang diajarkan pelajaran mengenai daya yang sedang bekerja, daya yang bekerja di alam dan dalam tubuh manusia itu sendiri. Diajarkan siapakah dirinya, hakekat dirinya sendiri, hakekat tentang AKU.


Maka celakalah orang yang kemudian mengaku-aku memiliki daya ini. Celakalah orang yang mengaku aku memiliki Ilmu Laduni ini. Kemudian menganggul-anggulkannya, sebagai kesaktian, sebagai karomah, atau lainnya. Karena hakekatnya ilmu ini berada di antara ada dan tiada, hikmah diantara realitas dan ghaib. Semua milik Allah. Hasil yang benar jika seseorang memiliki ilmu ini adalah kebalikannya, dia akan menjadi merasa tidak memiliki ilmu sama sekali. Seseorang justru akan merasa tidak memiliki daya sama sekali, setelah belajar dan memahami hakekat ilmu ini. Inilah keanehannya.


Semua tergantung rahmat Allah semata. Dia hanya menggantungkan hidupnya dari kemurahan Allah, yang akan memberikan daya kepadanya atau tidak. Inilah hakekat hasil pembelajaran Ilmu Laduni. Ilmu ini ada namun menjadi tiada, karena hakekatnya adalah kita kemudian meniadakan ilmu ini sendiri. Ilmu ini berada dalam kesadaran realitas dan keghaiban itu sendiri.

Karenanya kita akan kesulitan jika mencari orang yang benar-benar memiliki ilmu ini, karena dia akan tersembunyi diantara manusia lainnya. Jika tersingkapkan, Ilmu ini menurutnya, hanya akan menjadi aib nya saja nanti. Begitu takutnya dia kepada Allah, takut menjadi riya’ jika dirinya diketahui. Maka keberadaan orang-orang ini nyaris terabaikan, mungkin saja ada diantara kita semua, namun kita tidak tahu. Ciri-ciri seorang muslim sejati ada pada dirinya. Itulah tanda-tandanya.


Ini adalah ilmu ketiadaan, meniadakan daya upaya kita, dia hanya bisa pasrah menggantungkan dirinya atas daya yang diberikan Allah. Dia benar-benar merasa menjadi manusia yang tidak punya daya sama sekali. Benar-benar lemah, menjadi manusia biasa, sangat biasa. Dia merasa tidak tahu apa-apa, karena semuanya seakan-akan hanya di tarok begitu saja. Dia akan menjadi tunduk, rendah hati, karena dia menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Dan lain lain, dan lain lain. Hingga pada gilirannya nanti sampailah dirinya kepada makom kearifan tertinggi dalam dimensi manusia.


Jika tertarik belajar Ilmu ini, Ilmu Laduni, maka menurut hemat saya tidaklah harus belajar kepada orang lain. Sebab begitu sulitnya jaman sekarang ini menemukan orang seperti itu. Belajarlah kepada Allah. Bergurulah kepada Allah.

Begitulah ke-khas-an Ilmu Laduni, dalam pemahaman saya, bagaimana memulai nya ?. Maka ini hanyalah sekedar sharing saja, sekali lagi hakekatnya hanya Allah saja yang tahu, pengajaran seperti apakah yang pas buat diri kita masing-masing.



Dari mana mulai ?


Di awali dari sebuah pertanyaan yang di lontarkan. Mengapa manusia menerima dengan sikap pasrah sebuah keyakinan secara turun temurun, tanpa sedikitpun keraguan ?. Mengapa manusia tidak mau menggunakan bukti-bukti rasional sebagai dasar penerimaan itu ?.

Mengapa setiap kelompok meyakini paham mereka sebagai suatu kebenaran ?. Bersikukuh mempertahankan keyakinan yang di dapat dari nenek moyang mereka secara turun temurun, tanpa meragukan sedikitpun. Mengapa Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, Bathiniyah, dan lainnya tetap dalam pendapatnya itu. Sehingga pada gilirannya, membuat mereka sendiri menjadi sangat sensitif ketika diantara mereka mengalami benturan keyakinan dan bersinggungan paham.

Mengapakah hal ini tidak menimbul pertanyaan dan keraguan kepada kita, manakah diantara paham mereka sesungguhnya yang benar.


Marilah kita telusuri mengapa keadaannya begitu. “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya saja kedua orang tuanya menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. “ (HR. Al Bukhari, Muslim, Malik, dan Ahmad).

Itulah keadaan real kondisi manusia, saat dia dilahirkan, dia sudah berada dalam kesadaran kolektif masyarakatnya. Dia tidak bisa memilih orang tuanya, lingkungannya, atau agamanya.

Jikalau begitu dapatkah dia disalahkan pada satu sisi itu saja, ketika dia memeluk agama Yahudi, Nasrani atau Majusi ?. Apakah orang tuanya yang salah ?. Ternyata tidak juga, karena ternyata orang tuanyapun mengalami nasib yang sama. Dia juga hanya menerima agama dari orang tuanya lagi. Dan seterusnya, dan seterusnya. Setiap manusia hanya menerima begitu saja paham dan keyakinan dari nenek moyang nenek moyang mereka.


Jikalau setiap manusia mengalami kejadian yang sama seperti itu, kenapa mereka semua harus mewarisi juga sikap permusuhan nenek moyang-nenek moyang mereka semua ?. Menjadi permusuhan yang turun temurun lintas generasi, permusuhan yang tiada habis-habisnya. Praduga dan persepsi di bangun atas cerita masa lalu. Tidakkah sebaiknya setiap golongan, setiap manusia duduk bersama mengkaji kebenaran masing-masing. Melakukan kontemplasi dalam diri sendiri mencari hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat kebenaran.

Yakinlah, manusia dahulunya adalah umat yang satu. Agama dahulunya adalah satu. Kemudian ada sebagian dari manusia yang di berikan pengetahuan menyimpangkannya, mengikuti hawa nafsunya. Pemahaman tersebut kemudian diturunkan, diikuti oleh keturunan keturunan mereka secara membuta. Sampailah kepada kita sekarang ini. Sesungguhnya manusia telah melalaikan keadaan yang sudah sekian lama begini, berabad abad lalu hingga melintasi jaman dan peradaban, sampailah kepada kita sekarang ini. Dinamika seluruh umat manusia dengan pelbagai macam keyakinan dan kebenaran versi masing-masing.


Kita seharusnya khawatir dengan perkembangan agama Islam itu sendiri, kemudian mempertanyakan dengan keraguan, mengapa begitu banyak mahzab di dalam Islam, mengapa Islam juga terpecah-pecah. Manakah yang benar diantara mereka. Kita harus memiliki Ilmu yakin atas kebenaran yang di dalamnya tidak menyisakan sedikitpun ruang bagi keraguan. Keyakinan yang haqul yaqin yang tidak menyertakan kemungkinan salah dan praduga.

Sebuah keyakinan atas kebenaran yang tidak mungkin mampu di goyahkan sedikitpun oleh siapapun, meskipun sang pembantah memberikan emas sebesar gunung sekalipun. Dan selanjutnya kita mampu menyikapi atas perbedaan yang tengah terjadi di dalam masyarakat itu dengan kearifan, sebab hakekat kebenaran datangnya dari Allah.

Muncullah pemahaman bahwa hakekatnya setiap golongan hanya berada dalam makom mereka masing-masing. Tentunya mereka semuanya nanti, jika telah satu dalam kebenaran Tuhan maka seluruh umat manusia akan menjadi kembali bersatu lagi dalam dienul Islam. Itulah keyakinan Islam.


Sekali lagi, setiap mahzab, setiap golongan senantiasa melakukan klaim atas kebenaran mereka, namun kita tidak pernah tahu, diantara mereka manakah sesungguhnya yang benar. Benar dalam kebenaran Allah. Dimanakah rantai yang terputus, dimanakah ‘missing link’ nya, sehingga kebenaran yang sampai kepada kita sudah terserak-serak, sudah tidak lengkap lagi.

Kita harus menanyakan kepada diri kita melalui keraguan. Karena Al qur an telah mengisyaratkan demikian. Pada setiap peradaban mungkin ada saja nenek moyang kita yang lalai. Kita harus khawatir atas hal itu. Sehingga kitalah yang di harapkan mampu memutuskan mata rantainya, mencari dimanakah asal muaranya, mencari jalan penghubung atas ajaran nabi Ibrahim yang lurus (Milah Ibrahim). Sehingga kita memliki keyakinan yang benar, yang selanjutnya dengan ini, dapat kita wariskan kembali kepada anak cucu kita berikutnya. Menjadi generasi Islam yang wajahnya penuh senyum, yang senantiasa menjadi rahmat bagi yang lainnya. Islam adalah rahmat semesta alam.



Generasi yang melalaikan


“Ya Sin. Demi Al qur an yang penuh hikmah. Sungguh engkau (Muhammad) adalah seorang dari rosul-rosul. Diatas jalan yang lurus. (Sebagai wahyu) yang diturunkan (Allah) yang maha Perkasa, Maha Penyayang. Agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. Sungguh, pasti berlaku perkataan terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman. “ (QS. Ya sin 1-7)


Al qur an jauh hari sudah memperingatkan hal tersebut. Dalam setiap peradaban setiap abad akan terdapat suatu kaum yang nenek moyang-nenek moyang mereka lalai. Maka Al qur an kemudian di turunkan, sebagai wahyu, memberikan peringatan kepada kita, atas kemungkinan tersebut dengan sebuah praduga bahwa diduga diantara nenek moyang kita terdahulu terdapat suatu generasi yang lalai.

Terjadilah ‘missing link’ mata rantai yang terputus. Sehingga sampai ke jaman kita, sudah menjadi banyak versi kebenaran yang terserak diantara setiap golongan. Kitalah semua yang harus mengkritisi, ke dalam diri kita masing-masing. Mengikuti petunjuk di dalam Al qur an. Mencari kebenaran itu sendiri.


Al qur an menuntut ke aktifan manusia dalam mencari kebenaran. Menguji kembali keimanan yang telah diwariskan kepada diri kita masing-masing. Meminimalisir kelalaian nenek moyang kita yang beranggapan bahwa diri mereka sudah benar, sehingga karenanya mereka lalai, dan karena itu mereka tidak mau lagi mencari kebenaran. Sehingga kebenaran yang sampai kepada kita sudah tidak sempurna.

Kebenaran harusnya sampai kepada kita melalui jalan yang lurus (shirotol mustakim). Bukan melalui jalan orang yang sesat ataupun jalannya orang yang di murkai Allah. Maka kita wajib meyakinkan diri kita atas hal tersebut. Sehingga kita mampu mengamankan setidaknya jalan kita sendiri terlebih dahulu.


Pertanyaan-pertanyan tersebut layaknya terus di lontarkkan ke dalam hati. Sebagaimana yang dilakukan nabi Ibrahim as, ketika mencari hakekat Tuhan, sebagaimana juga yang di lakukan Rosululloh dalam kontemplasinya sepanjang waktu dan di perkuat saat-saat di gua hiro.

Begitu juga sebagaimana Hujatul Islam Imam Al Ghozali. Ini adalah pondasi dasar untuk melatih instrumen ketubuhan kita, mempersiapkan kondisi saat di susupkan contoh rahsa agar dikenali. Semua dimulai dengan pertanyaan, penuh keraguan atas suatu keadaan. Melihat ke dalam diri, mencari referensi atas sesuatu itu, dari dalam jiwa kita sendiri.


Pengajaran yang sederhana


Marilah kita masuki saja agar menjadi lebih jelas apa yang saya maksudkan. Kita mulai dari hal yang sederhana. Kita coba dari masalah yang paling banyak terjadi menimpa kita kaum awam adalah perihal sholat. Al qur an sudah memberikan solusi efektif bagi kita kaum urban dalam menghadapi kesempitan dan tuntutan hidup.

Firman Allah “Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. “ (QS. Al baqoroh 45). Perintah tersebut jelas tidak mungkin salah. Masalahnya adalah kita yang belum mampu. Maka mulailah kita bertanya dalam hati kita, berdialog dengan tajam dan dalam.


· Apakah sholat yang di ajarkan orang tua kita sudah benar, sehingga sholat mampu menjadi penolong kita ?.

· Apakah ada yang salah, sehingga sholat belum dapat saya jadikan penolong ?.

· Mengapa sholat dapat di jadikan penolong ?. Bagaimana caranya ?

· Nyatanya berat bukan ?. Kenapa kok saya tidak bisa melakukan hal itu ?

· Hanya orang yang khusuk yang dapat melakukan itu ?

· Mengapa saya tidak bisa khusuk ?.

· Terus bertanyalah dan jawablah dengan jujur. Latih terus instrument ketubuhan kita.

· Kuatkan hati dan terus bertanya kepada Allah. Bagaimana caranya agar kita mampu mengerti.


Begitu juga dalam mengenal Allah, baiknya kita mulai dari ayat yang sering kita lafadzkan sehari-hari . Bisa dari “Bismillahi rohmani rohiem”. Pernyataan tersebut harus kita akui pasti benar.

Maka kenalilah, bertanyalah terus, kasih sayang apakah yang telah diberikan kepada kita. Terlihat sederhana pertanyaan ini, namun seperti uraian dimuka, saat kita tidak memliki referensi apapun tentang sifat kasih dan sayang Allah, kita tidak akan mampu mengucapkan ini dengan keyakinan.

Ketika kita tidak yakin dengan ini, maka kita juga akan sulit mengenal Allah. Sebab dikarenakan kita tidak memiliki referensi sifat kasih dan sayang-Nya dalam diri kita. Ketika kita tidak mampu mengenal Allah, maka selanjutnya kita akan sulit khusuk dalam sholat.


Sungguh bagi sebagian orang, menemukan dan mencari referensi kasih sayang Allah di dalam dirinya, merupakan perjuangan yang melelahkan, mendaki lagi sukar. Banyak kesadaran lain yang menghijab. Banyak sekali kesadaran lain yang ikut di dalam dirinya akan melakukan pengingkaran-pengingkaran,

Bahkan mungkin akal , mungkin jiwanya sendiri juga akan melakukan pengingkaran, sehingga hati sulit sekali mendapatkan hal atau keadaan seperti keadaannya. Yaitu keadaan rahsa di dada seperti dimaksud ketika Allah melimpahkan kasih sayangnya.

Apakah kita mengerti dan memahami bagaimana keadaan tersebut ?. Tentunya kita harus belajar mengenali, belajar untuk mendapatkan contoh rahsanya, dengan suatu mujahadah yang tak kenal lelah, agar nantinya tidak salah lagi.


Kita harus terus istikomah, melewati fase-fase awal. Kesadaran-kesadaran yang berada dalam diri kita secara perlahan tapi pasti akan di singkap, bagai mengupas kulit bawang, selapis demi selapis. Yakinlah, dengan mengenal Allah melalui sifat kasih sayang-Nya saja kita sudah akan mampu menjalani kehidupan beragama dengan tenang, puas dan ridho. Inilah pengajaran yang sederhana namun tepat guna dan manfaat.

Bila orang tua kita hanya mengajarkan “Bismillah”, maka masuki saja lebih dalam. Insyaallah dengan ini, kita akan mampu mengerjakan dan mendirikan syariat dengan lebih ringan, lebih ikhlas dan sabar. Agama selanjutnya tidak menjadi beban kita lagi. Insyaallah beragama dan berkerja akan sejalan. Meskipun penguasaan agama kita hanya sedikit.



Berguru Kepada Allah


Masih banyak yang harus disingkapkan, perihal bagaimana pengajaran Allah, bagaimana keadaannya jika kita berguru kepada Allah. Sungguh luar biasa pernyataan yang di usung Ustad Abu Sangkan.

Dalam bukunya Berguru Kepada Allah. Meski menabrak logika berfikir umat Islam, dan mendobrak ‘mainstream’ yang begitu kuat. Nyatanya pemahaman ini secara perlahan mampu diterima masyarakat. Meski pada awalnya banyak penentangan di sana-sini.

Lambat laun, masyarakat mampu melihat dengan jernih kemana muaranya. Pemahaman ini secara tidak langsung telah melahirkan paradigma baru dalam konsep berfikir tentang Islam itu sendiri. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya atas diri beliau. Amin


Dalam perjalanan Berguru Kepada Allah, manusia akan diperjalankan, dan di ajarkan bagaimana memahami dirinya sendiri terlebih dahulu. Terutama adalah bagaimana manusia mampu memahami dualitas rahsa yang telah disusupkan oleh Allah kepadanya. Rahsa pada jiwa yaitu kefasikan dan ketakwaan.

Manusia harus mengenalinya. Membedakannya bagaimana sensasi rahsa bila kita berada dalam makom kefasikan dan bagaimana juga keadaan sensasi rahsa di jiwa ketika kita berada di makom ketakwaan. Sungguh kita harus mampu membedakan keadaan ini. Agar kita tidak tertipu.


Manusia secara perlahan diminta mengenali rahsa takut, rahsa syukur, rahsa takwa, tawakal, iman, sabar, harap, dan lain-lain, dan berikut dengan dualitasnya, yaitu rahsa kebalikannya. Digulirkan juga rahsa senang dan sedih, gembira dan nestapa, sukses dan kecewa, dan bagaimana memaknai hikmah diantara dua rahsa itu. Kemudian bagaimana juga menetapinya, rahsa yang bagaimanakah yang bersumber dari daya Allah.

Semua akan diajarkan satu persatu. Begitu dahsyatnya pengajaran itu, hingga sangat terasa di badan. Sebagaimana halnya sampai-sampai pada dada Rosululloh ketika sholat seperti ber-gemuruh, saking dahsyatnya, hingga terdengar oleh orang di belakangnya. Maka ketika kita diajarkan rahsa ini, sungguh kita harus istikomah dalam keyakinan kepada Allah.

Gemuruh di dada dan bagaimana sensasinya begitu luar biasa, benar-benar akan melumpuhkan dirinya. Bagai gelombang tsunami yang akan melemparkan apa saja. Bagai radiasi yang akan meluluh lantakkan apa saja yang terpapar. Semua menimpa raganya. Maka bagi manusia hanya ada satu jalan, hanya kembali kepada Allah. Tidak ada jalan kembali. Apakah dia akan menjadi kafir setelah beriman ?. Itulah taruhannya. Jika dia berbalik, sungguh siksaan Allah amatlah pedih.


Kemudian manusia juga akan diajari bagaimana membedakan sensasi bagaimana jika kita takut kepada Allah dan bagaimana juga ketika kita takut kepada selainAllah. Demikian juga untuk rahsa cinta. Bagaimana sensasi rahsa ketika kita cinta kepada Allah dan ketika kita mencintai selain Allah.

Dengan mengenali sensasi rahsa ini (dzauq), manusia akan mengenali daya(kasyaf) yang menimbulkan sensasi tersebut. Karena hakekatnya rahsa hanyalah sebuah efek atas bekerjanya sebuah daya saja. (Lihat Kajian Sebelumnya perihal DAYA ini).


Sebuah rahsa panas yang dirimbulkan oleh alat pemanas, atau bohlam lampu misalnya, akan terasa bedanya jika daya listrik yang menghidupkannya berasal dari daya PLN ataukah bersumber dari daya sebuah battery. Jika dari PLN akan lebih konstan namun jika dari baterry dayanya semakin lama akan meredup sehingga nyalanya (panasnya) akan tak beraturan.

Sensasi ini terasa nyata dan akan beda sekali bagi yang mampu merasakannya. Inilah perumpamaannya. Begitulah cara mengenali sebuah daya. Apakah daya dari Allah ataukah daya dari selain Allah. Kita mengenali dari sensasi rahsanya (dzauk).


Kemudian setelah kita mengenalinya, maka kita akan mendapatkan referensi atas rahsa yang dimaksudkan. Allah akan memberikan contoh rahsanya yang benar (hal). Bagaimana rahsa yang sungguh-sungguh benar.

Kita akan memiliki keyakinan yang kuat tentang kebenaran yang dimaksudkan-NYA. Tanpa rekayasa apapun. Betul-betul seperti di tarok saja. Setelahnya, kemudian manusia harus mengupayakan dirinya agar menempati makom tersebut, berdasarkan referensi yang sudah didapatkannya itu.

Inilah perjuangan yang terus menerus, hingga manusia mampu mencapai makom yang dimaksudkan. Begitus seterusnya sehingga tercapailah kearifan puncak. Menjadi manusia yang (menjadi) rahmat semesta alam.



Penutup


Maka keadaannya, hanya dengan mengucapkan ‘Bismilahi rohmani rohiem’ saja, ahli kitab tersebut sudah mampu memindahkan singgasana Ratu Bilkis. Sesuai permintaan Nabi Sulaiman. Begitulah yang diberitakan Al qur an. Sebab karena orang tersebut sudah mampu mengkondisikin dirinya dalam (suasana) hal dimana dan bagaimana keadaan suasana itu, saat (ketika) waktu sama dengan nol (t=0). Bagaimana sensasinya, dimensinya, dan bagaimana juga keadaannya dia sudah tahu dan sudah menjadi realitas bagi dirinya. Maka ketika orang tersebut sudah memiliki referensi sebagaimana hal ketika waktu sama dengan nol, (realitas keadaan tersebut) maka dia dengan mudahnya (masuk) berada dalam kondisi tersebut.


Ketika dia sudah dalam kondisi tersebut, (sama halnya) bagi dirinya waktu sudah sama dengan nol (t=0) maka selanjutnya mudah saja bagi dirinya berada dimana saja, dan berbuat apa saja, karena bagi dirinya segala sesuatu sudah tidak berjarak dan tidak bermassa lagi. (Lihat Kajian Misteri Sang Waktu). Maka sesungguhnya dia akan mampu melakukan segala sesuatu dengan sangat mudahnya, seperti mengkedipkan mata saja. Melakukan semua itu sebagai kewajaran, sebagaimana matahari yang selalu terbit, melakukan dengan kerendahan hati. Sebuah kearifan puncak manusia. Begitulah hakekat Ilmu Laduni.

Begitulah (rahasia) kebesaran hikmah atas kita-kitab Allah, bagi orang yang mengetahui. Inilah pemahaman saya, maka kembalinya kepada sidang pembaca memaknainya. Selamat Mencoba. Wolohualam.


Cara Menyingkap Benda bertuah / Gaib



Add caption

Add caption
MENYIKAPI BENDA BERTUAH - MAGIS



Berbicara mengenai benda bertuah atau benda magis hampir selalu di kait-kaitkan dengan kata-kata mitos, religi, mistik, dan lain sebagainya. Yang di maksud dengan benda bertuah atau benda magis di antaranya : mustika, geliga, akik, batu permata, fosil, azimah, Keris, tombak, tongkat dan lain sebagainya. Dan keberadaanya adalah merupakan suatu tanda kebesaran Tuhan. Ada benda bertuah yang berkekuatan magis yang memiliki kekuatan secara alamiah dari benda tersebut seperti halnya khodam penjaga dan ada pula berupa isian atau yang di asmak, kesemuanya itu baik tergantung dari niat dan kebutuhan.

Yang menjadi pertanyaannya sekarang bagaiman dengan benda bertuah yang kita miliki ... ?. Dan sudah barang tentu harus di kenali beberapa aspek kekuatan ghaibnya dan memang harus kita akui bahwa di antara masing-masing benda bertuah yang berkekuatan magis tersebut memiliki tingkatan yang berbeda-beda ada yang memiliki tingkat rendah, tingkat menengah dan tingkat tinggi. Dan aspek kekuatan ghaibnya yang perlu kita ketahui :

Siapa nama penunggu ghaib di dalam benda bertuah tersebut ... ?.
Apa kekuatan, kemampuan daya ghaibnya ... ?.
Bagaimana cara kunci pembuka ghaibnya ... ?.
Bagaimana cara kita untuk merawatnya ... ?.
Bagaimana cara pemakaiannya bila diperlukan ... ?.
Dan apa yang menjadi pantangannya ... ?.

Bila aspek di atas kita ketahui maka daya kekuatannya akan lebih efektif. Setiap benda bertuah tersebut memiliki ciri-ciri khas tersendiri, dan sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat pada masa lampau, bahkan mendapat kedudukan penting dalam kehidupan sosial masyarakat dan tidak kalah pentingnya dengan hasil budaya lain, banyak peminat dan yang memiliknya tetapi jarang yang mengetahuinya secara mendalam tentang benda bertuah yang bernuansa magis tersebut.

Benda-benda bertuah tersebut sebenarnya sejak ribuan tahun telah menjadi sumber motifasi, yang memiliki maksud tertentu dengan berbagai tujuan yang berbeda-beda bahkan ada yang percaya bahwa benda bertuah, memiliki nilai tuah tersendiri bagi pemakainya, kami memberikan beberapa uraian tentang benda bertuah yang memang terkait dengan asal-usul, mitos, legenda, dan aura kekuatannya.

Mitos atau legenda adalah cerita kuno yang di tuturkan dengan bahasa indah dan isinya di anggap bertuah berguna bagi kehidupan lahir dan batin serta di percaya dan di junjung tinggi oleh pendukungnya dari generasi satu kegenerasi berikutnya. mitos atau legenda menceritakan prihal kejadian bumi, langit, batu-batuan, dan sebagainya. Adapun fungsi mitos dan legenda memberi kesadaran kepada manusia, bahwa dalam alam semesta itu ada kekuatan-kekuatan gaib, di mana manusia ikut berpatisipasi dan ikut menghayati kekuatan ghaib tersebut.

Dan penghayatan mitos religius mempunyai anggapan bahwa dunia ini tidak homogin tetapi heterogin, ia memandang ada suatu bagian dunia yang mengandung kekuatan gaib, suci dan sakral. Namun mereka juga menganggap bahwa ada bagian dunia tidak ada apa-apanya atau yang biasa saja yang di sebut profane ( tidak suci dan sakral ) namun demikian bagi para penghayat mitos, dunia profane itu masih selalu berhubungaan dengan dunia suci dan sakral, dan semua itu menunjukkan adanya penghayatan religius.

Benda bertuah memiliki kekuatan sinar Aura dan kekuatan aura ini saling mempengaruhi dengan aura orang yang memakainya atau memilikinya. Atau adanya semacam aura, energi hawa dingin dalam benda bertuah, termasuk hal yang gaib. Bagi mereka yang tembus pandang atau indra ke enamnya berfungsi dengan baik, maka mereka akan dapat melihat melalui ilmunya akan adanya cahaya, energi yang keluar melalui benda bertuah tersebut.

Sebagai contoh : Batu yang kita anggap benda mati ternyata memiliki dan memancarkan energi, bergerak dan mempunyai kekuatan. Misalnya : Sewaktu Rasululloh SAW, Di mi’rajkan akan naik ke langit (Baitul Magdis) ada sebongkah batu ingin ikut dan terangkat dari tanah setinggi beberapa inci, namun karena tidak diijinkan Allah SWT, batu itu tidak dapat terus naik tapi tidak jatuh ke tanah, akhirnya di buatlah alas untuk menghilangkan keajaiban dan keanehannya tersebut supaya tidak di puja-puja dan di sembah manusia.

Kita percaya akan adanya makhluk gaib, makhluk halus seperti Malaikat dan Jin, bahkan manusia sendiri selain jasad kasar juga memiliki unsur spiritual yaitu ruh, namun kita tidak dapat melihat makhluk atau ruh semacam itu. Itulah termasuk salah satu hal yang ghoib, di mana penalaran akal kita menemui jalan buntu dan bagaimana kita bisa menguak misteri tersebut dengan menggunakan akal dan fikir, jika definisi hal-hal ghoib tersebut adalah suatu hal yang tidak masuk akal.

Dan hal-hal yang sepintas nampaknya tidak masuk akal, mungkin itu hanyalah karena kemajuan pemikiran kita yang berjalan tidak terlalu cepat, ilmu pengetahuan modern baru berkembang pesat setelah memasuki abad ke 19 atau abad ke 20, padahal keberadaan manusia di perkirakan sejak 25.000 tahun yang lalu, nampaknya emosi manusia lebih dahulu maju dari pada rasio, dengan pengendalian emosi seperti melakukan bertapa, semedi, meditasi, dan lain sebagainya.

Manusia di bidang pengetahuan, informasi dan pandangannya, dan di bidang keinginan dan kecenderungannya, sangat luas dan tinggi, pengetahuan tersebut berangkat dari sisi eksternal sesuatu menuju sisi realitas internal sesuatu itu, saling berhubungan yang terjadi di dalam sesuatu itu, dan menuju hukum yang mengatur sesuatu itu, pengetahuan manusia tidak terbatas pada ruang waktu tertentu atau hanya yang terlihat oleh mata saja.

Makhluk tersangat kecil yang tidak nampak oleh mata manusia, makhluk ghaib, yaitu seperti elektron, foton, atom, gelombang elektromagnetik, graviti, dan sebagainya. Benda-benda ini tidak dapat di lihat oleh pacaindera kasar manusia, secara ringkasnya, Al-Quran membahagikan ilmu ghaib kepada dua bahagian yaitu : ghaib hakiki dan ghaib subliminal.

A . Ghaib hakiki adalah tentang benda-benda ghaib yang tidak dapat dikaji oleh akal manusia tetapi hanya Allah swt saja yang mengetahuinya. ghaib hakiki wajib dipercayai dan diyakini itulah yang di katakan iman, seperti keberadaan Allah, syurga, neraka, dan roh.
B . Ghaib subliminal ialah benda ghaib yang tidak dapat dikesan sebab kelemahan manusia, sebab hak kemampuan dan limit kebolehan manusia.

Allah mengajarkan manusia mengkajinya untuk membuktikan Al-Quran adalah Kalam Allah, dan Allah amat mengetahui segala-galanya, dan untuk menujukkan manusia itu tersangatlah lemah hanya dapat mengetahui ilmu-ilmu yang dapat dikesan oleh pacaindera kasar saja.

Firman Allah : “ Dan Allah telah jadikan untuk kamu apa-apa dari dzilaalan yang telah Dia ciptakan. Dan Dia jadikan untuk kamu ( bahan-bahan ) dari bukit-bukau sebagai ( bahan-bahan ) penutupan (perlindungan dan keselamatan) dan Dia jadikan untuk kamu pakaian untuk memelihara dari kepanasan ( tenaga getaran ) dan pakaian untuk memelihara ( melindungi ) dari tenaga kekuasaan yang sangat hebat kamu ( seperti pencemaran radiasi yang dilakukan oleh manusia ), demikian itu Dia telah sempurnakan nikmatnya ke atas kamu semoga kamu menyerah diri (sentiasa menjadi selamat ). ( QS.An-Nahl : 16:81 ).

Manusia di berikan kebebasan untuk memanfaatkan sumberdaya dan apa saja yang dicipatananya oleh karena itu perlu adanya ilmu dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut agar tetap terdapat keseimbangan dalam alam, adapun Khasiat dan manfaat benda dalam konsep ilmu metafisika. Sebagaimana firman Allah. “ Tidak satu pun aku menciptakan sesuatu dengan sia-sia ”. jadi kita sebaiknya mengkaji dan menggali apa yang di telah di ciptakan oleh Tuhan buat manusia.

Sehingga kita bisa memetik manfaat yang baik untuk kepentingan bersama.Benda yang berkekuatan ghaib dan khodam di dalamnya bertasbih dan tasbih makhluk di ekspresikan dengan bahasa verbal, namun bukanlah bahasa verbal yang biasanya di gunakan oleh manusia melainkan bahasa khusus mereka sendiri yang hingga kini tidak mampu di pahami oleh manusia model bahasa yang mereka gunakan, mereka memaknai tasbih tersebut sebagai petunjuk eksistensial seluruh makhluk atas zat Suci Allah Swt dan sifat-sifat sempurnanya.

Tuah yang di harapkan dari suatu benda bertuah dapat memberikkan aura positip bagi pemakainya jenis kegaiban yang sering di percaya orang dan selain sisi gaibnya masing-masing benda bertuah memiliki energi atau aura sendiri-sendiri. Hal inilah kemudian dalam dunia metafisika dan banyak sekali masalah benda bertuah yang di akomodasikan secara ghaib oleh kalangan ahli supranatural seperti ilmu, besi kuning, lain ilmu badar besi, dan lain sebagainya, ada juga di pergunakan untuk penyaluran energi benda untuk keselamatan, pertahanan dan lain sebagainya.

Benda-benda bertuah yang bernuansa magis, memiliki hawa aura dingin dan akan menyerap hawa panas yang muncul dari emosi seseorang. Sifat alami dari hawa dingin dari benda-benda tersebut yang di olah sebagai sarana menyerap emosi. Orang yang di liputi hawa nafsu emosi sebenarnya memiliki kecenderungan memancarkan hawa panas. ketika ada orang yang membawa benda bertuah yang memiliki hawa dingin maka emosinya akan tertuju ke orang yang membawa benda tersebut.

Bagaimana daya kekuatan benda magis, mekanisme kerjanya dalam mempengaruhi pemakainya, benda bertuah mempunyai energi aura yang tak terlihat oleh mata manusia, dan manusia juga memiliki aura, aura benda magis merasuk ke aura orang yang memakainya, maka akan memberi nilai lebih atau nilai tambah energi untuk mencapai kestabilan mental sehingga menjadi lebih mudah tercapainya kondisi tersebut.

Getaran energi benda bertuah juga beresonansi terhadap getaran energi aura di alam raya, hal ini yang akan memudahkan pemakai benda magis menyerap energi aura dari jagat raya.Dan bagaimana pula cara suatu aura kekuatan dapat di serap sebagai daya kekuatan energi, pada suatu Benda bertuah, magis, mistik, azimat, dan sebagainya, sehingga seolah-olah menjadi kekuatan yang tersendiri.

Ada pun Proses terkirimnya suatu kekuatan energi pada suatu benda bertuah yang alami maupun benda yang di isi sehingga dapat menjadi sesuatu benda yang memiliki tuah khusus, ada beberapa faktor dan dapat melalui beberapa mekanisme antara lain sebagai berikut :

1 . Benda yang berasal dari di alam ghaib yang di ciptakan Tuhan memiliki berkah. adalah benda yang sudah terbentuk dengan sendirinya baik di alam ghaib benda yang dapat di ketahui nilai keghaibannya, yang di dapat dari alam ghaib yaitu dari penarikan secara ghoib, bisa juga dari alam ghoib yang di peroleh dengan tanpa sengaja di karenakan benda tersebut datang sendiri kepada seseorang yang khodamnya cocok dan mau ikut dengan orang yang di kehendakinya.

2 . Benda yang berasal batu alam atau batu proses alami yang di ciptakan Tuhan memiliki berkah. Benda yang paling umum di gunakan para ahli metafisika karena hawa atau sifatnya adalah batu alam, karena sifatnya energi dari alam. Asal usul terbentuknya batu-batuan alam kalau di rujuk dalam bidang ilmu kebumian semua batuan yang kita temui di muka bumi ini bisa di bagi menjadi tiga kelompok sesuai proses penciptaannya seperti Batu Bekuan, Batu Endapan, Batu Malihan.

3 . Benda yang berasal dari binatang yang di ciptakan Tuhan memiliki berkah. Beberapa binatang yang memiliki tuah sebagai pembawa berkah sesuai habitat mereka, bila ada manusia yang dapat merebut atau mendapatkannya maka berkah tersebut dapat di jadikan pegangan seperti: tanduk kucing, mustika lingsang, rantai babi, kulit harimau, kulit kerbau londoh. Pelatuk bawang, burung hantu, gigi macan, ayam cemani dan sebagainya.

4 . Benda yang berasal dari tumbuhan yang di ciptakan Tuhan memiliki berkah. Setiap jenis tumbuhan-tumbuhan memiliki karakter yang berbeda-beda. Karena di pengaruhi pula oleh karakter tempat di mana jenis tumbuhan tersebut dapat tumbuh sehingga setiap jenis tumbuhan akan memiliki manfaat, serta memiliki berkah Seperti : Buluh perindu, mawar hitam, kayu naga sari, kayu setigi, galih kelor, akar bahar, bambu petuk, dan sebagainya.

5 . Benda yang melalui proses pengisian secara alami yang memiliki berkah. Benda yang memiliki energi secara alami Seperti pada lokasi tempat yang di anggap keramat, lokasi seperti ini biasanya terbentuk secara alami juga, antara lain di hutan, lembah, sungai atau makam tokoh sakti tokoh penyebar agama. Beberapa benda benda yang berada di sekitar lokasi tersebut biasa terkena radiasi medan enargi ghaib sehingga ikut memiliki kekuatan ghaib.

6 . Benda yang keberadaannya pada waktu dan asal yang tidak biasa atau langka yang memiliki berkah. Yaitu beberapa benda yang di ambil dari tempat atau mengalami suatu kejadian yang aneh atau berasal dari sebuah situasi sangat langka. Seperti ular yang sedang kawin, kucing yang bersetubuh malam jumat, rumput di sungai kering, akar pohon yang di jadikan sarang elang, tanduk kerbau yang mati tua, tumbuhan yang tumbuh di batu dan sebagainya.

7 . Benda yang melalui proses pengisian secara aktif yang memiliki berkah, yaitu benda yang penyerap suatu energi, Ada beberapa benda kuno atau antik dapat menyerap energi aura ghaib secara otomatis, atau menyerap aura gaib secara alami. biasanya benda ini telah berusia ratusan tahun atau ribuan tahun yang tersimpan di tempat yang tersembunyi, Bentuknya dapat berupa bermacam-macam benda seperti keramik kuno, perkakas logam, kayu, batu berukir, perhiasan dan sebagainya.

8 . Benda yang berasal dari isian seseorang yang memiliki berkah. adalah suatu Benda yang di di isi oleh ahli Suparanatural. Adapun bentuk dari isian itu bisa berupa kekuatan energi aura, asmaan, khodam, tenaga dalam, tenaga kontak, tenaga karomah dan sebagainya. Dari masing-masing di siplin ilmu, dan menggunakan media yang beraneka ragam bisa berupa apa saja dan berasal dari mana saja, kadang berupa emas, perak, logam, kulit, kertas, daun dan lain sebagainya.

9 . Benda yang berasal dari Rajahan seseorang yang memiliki berkah, adalah benda yang di buat dari bahan kertas, kulit, batu atau kayu. Benda ini berisi tulisan huruf arab, sangsekerta, atau huruf lontar. Huruf atau angka merupakan sandi bagi para pasukan ghaib agar menolong pembawanya, Pada umumnya para ahli rajah meyakini bahwa setiap huruf atau angka yang berdasarlkan ilmu hikmah itu mengandung kekuatan khodam dari bangsa ghaib yang di sebut kekuatan magis.

Di dalam pemahaman masyarakat kita pada umumnya orang yang memiliki atau menyimpan suatu benda bertuah atau benda yang berkekuatan magis di sebabkan karena ada beberapa faktor antara lain :

1 . Karena benda tersebut hanya mempusakai, mewarisi begitu saja, tanpa tahu maksud dan tujuannya.
2 . Karena mewarisi yang di sertai dengan pesan-pesan mengenai maksud dan tujuan cara petunjuk memakainya dan memeliharanya,.
3 . Karena mendapat dari pembelian, pemberian atau menemukan dengan tahu atau tanpa tahu maksud dan tujuannya.da lain sebagainya.

Karena tidak mengetahui maksud dan tujuannya, maka benda magis tersebut di taruh begitu saja dan terbengkalai dan tak tersentuh selama beberapa tahun, akan tetapi ada juga walaupun tidak paham apa maksudnya benda bertuah atau benda bernuansa magis tersebut maka di bawalah kepada orang yang mengerti tentang benda tersebut untuk menanyakan manfaat, khasiat serta cara perawatannya.Bagi mereka yang mengerti maksudnya dan menaruh harapan pada benda bertuah lalu sampai memeliharanya secara baik-baik.

Inilah gambaran secara umum keadaan para pemilik benda-benda bertuah, magis lainnya. Dalam istilah mengerti atau kepahaman, yaitu paham akan bedanya, paham akan isinya faham akan pemanfaatannya dan fahan akan pemeliharaanya.

Pada garis besar harapan itu adalah : Mengharap ketentraman, dan untuk keselamatan, mengharap ketinggian pangkat dan jabatan. Mengharap kesembuhan dan terhindar dari segala penyakit, mengharap sukses dalam perdagangan dan kekayaan, dan lain sebagainya. Perincian di atas dapat kita perluas sampai pada perincian yang terkecil, tapi semua harapan itu kalau kita kembalikan pada pokok sebenarnya.

Sesungguhnya yang di harapkan itu sebenar-benarnya adalah ( Berkah ). Apa arti berkah menurut syariah agama atau menurut kenyataan dalam kehidupan sehari-hari yaitu : adanya suatu kebajikan Tuhan yang di letakkan pada sesuatu. Adapun dasar-dasar dari kalimah berkah di dalam kitab suci Al-Quran.

Firman Allah : ’’ Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperlihatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran”. ( Surah Shood ayat 38 : 29 )

Sebagaimana Tuhan menitipkan suatu zat penyembuh bagi tumbuhan getah pisang untuk menyembuhkan penyakit Mag dan lain sebagainya. Untuk penjelasan lebih jauh mengenai arti berkah tersebut dan bagaimana ciri-ciri adanya berkah misalnya :

1 . Harta yang mengandung dan memiliki berkah adalah : yang memiliki harta selalu senang hati dengan hartanya hidupnya slalu bahagia dengan anak istrinya rukun, damai, tentram sekeluarga. Dan harta yang tidak membawa berkah. yang punya harta selalu saja mengalami kesusahan, kesulitan, problem dan masalah walaupun harta dan uang mereka banyak.

2 . Makanan yang mengandung dan memiliki berkah adalah : yang memakannya sehat wal afiat, puas, senang, bahagia, juga makanan yang bisa di makan untuk dua orang bisa di makan dengan tiga, empat, lima orang dengan tidak mengurangi kepuasan dan bahagia. Sedang makanan yang tidak mengandung berkah ialah : kalau di makan malah menjadi lapar, tidak merasa enak menimbulkan panyakit bagi yang memakannya.

3 . Benda yang mengandung dan memiliki berkah adalah : Kalau di bawa dalam berpergian bisa menentramkan hati dan perasaan, kalau di bawa dalam suatu urusan membawa kelancaran dan kemudahan, kalau di bawa berjalan kita terhindar dari segala macam musibah dan marabahaya, serta terhindar dari berbagai kesulitan dan kalau berperang akan selalu mendapat kemenangan. Dan lain sebagainya.

Sepanjang sejarah di katakan, bahwa kemenangan terus menerus dari jendral Khalid bin Walid, panglima dari Nabi Muhammad saw, adalah karena adanya dalam saku bajunya selalu di simpan guntingan rambut dari Rasululloh saw. Beliau selalu di karuniai oleh Allah Swt kemenangan terus menerus dalam peperangan. ini berkah dari rambut Nabi yang di simpan Khalid bin Walid. yaitu guntingan rambut dari Rasululloh saw, .

Pada waktu peperangan di yammah baju Jendral Khalid bin Walid jatuh ditengah-tengah orang kafir, dengan tidak memperdulikan maut beliau menyerbu ke tengah-tengah orang kafir dengan memukul kiri kanan dan akhirnya beliau mengambil baju yang jatuh itu. Sahabat-sahabat yang lain berpendapat bahwa cara yang begitu sangatah terlalu gegabah, karena untuk keperluan sehelai baju akan mempertaruhkan jiwa di tengah-tengah kaum kafir.

Dan setelah di katakan kepada Khalid bin Walid hal itu, “ Beliau menjawab “ bahwa pesoalannya bukan masalah baju yang jatuh itu, tetapi di dalam baju itu ada tersimpan rambut Rasululloh saw, yang sangat berharga sekali, saya kwatir kalau baju itu jatuh ketangan orang kafir, akhirnya seluruh sahabat sepakat dengan pandapat Khalid bin Walid.

Kepercayaan akan adanya kekuatan aura dan khasiat pada beberapa jenis benda-benda bertuah sudah berlaku sejak ribuan tahun yang lalu bukan hanya masyarat di indonesia saja di seluruh dunia, sudah mengakar dan memiliki berbagai tuah, syarat mitos yang berbau mistik dan tidak sedikit yang percaya bahwa benda-benda tertentu bermanfaat untuk mendatangkan keberuntungan, kerezekian, pengasihan, keharmonisan, kewibawaan, pengobatan, penolak bala, dll.

Demikinlah sebagian uraian yang di atas untuk menyikapinya dan patut kita renungkan dengan rela hati, demi kemajuan pengetahuan, maupun untuk kesejateraan masyarakat di tempat benda-benda bertuah itu berada. Karena merupakan rintisan yang dapat merangsang para pemilik, peminat untuk menjelajah lebih mendalam dan lebih luas lagi dalam dunia benda bertuah tersebut. sehingga selain untuk pengertian, pemahaman maupun pemeliharaan peninggalan para leluhur juga merupakan ikthiar pemahaman rahasia benda-benda magis tersebut dengan metode yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi.

Cara Menjaga Rahasia Kita

Menjaga rahasia



Gosip, layaknya sesuatu yang mudah ditemui. Satu rahasia yang semestinya tersimpan rapi pun begitu mudah dibongkar melalui jalan ini. Tak hanya diminati oleh kaum ibu, anak-anak pun banyak menggemarinya. Tatkala duduk-duduk bersama teman, tak jarang berbagai obrolan meluncur tanpa terasa. Sampai hal yang semestinya tak disampaikan pun akhirnya terungkap. Terkadang disertai bumbu, “Ssst…. tapi jangan bilang siapa-siapa ya? Ini rahasia!”
Hal tercela yang dianggap biasa. Orangtua yang mendengar atau menyaksikan anak-anaknya melakukan seperti ini pun tak bereaksi. Wallahul musta’an…
Padahal tidak demikian yang ada dalam kehidupan para pendahulu kita yang shalih. Mereka begitu kukuh memegang sesuatu yang disebut rahasia. Barangkali perlu kita lihat, bagaimana putri Rasulullah ?, Fathimah radhiyallahu ‘anha memegang rahasia sang ayah, sampai waktunya dia bisa mengungkapkannya. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan:
“Suatu ketika, Fathimah datang berjalan kaki. Cara jalannya amat mirip dengan cara jalan Nabi ?. Nabi ? lantas menyambut, “Selamat datang, wahai putriku!” Lalu beliau membisikkan sesuatu kepadanya. Fathimah pun menangis. Kutanyakan kepadanya, “Mengapaengkau menangis?” Kemudian beliau membisikkan sesuatu lagi kepadanya, lalu dia tertawa. Aku berkata heran, “Tak pernah kulihat kegembiraan yang begitu dekat dengan kesedihan seperti hari ini.” Aku pun bertanya pada Fathimah tentang apa yang dikatakan Nabi?. Fathimah menjawab, “Aku tak akan menyebarkan rahasia Rasulullah ?!” Sampai ketika Nabi ? telah wafat, aku tanyakan kembali hal itu kepadanya (barulah Fathimah menceritakannya).” (HR. Al Bukhari no.3623/3624 dan Muslim no.2450)
Kalau sekarang kita dapati, orangtua yang membiarkan perilaku anaknya menyebarkan rahasia, dulu pada masa shahabat, orangtua justru membimbing anaknya untuk menjaga rahasia. Seorang ibu yang mulia, yang dikenal amat besar semangatnya untuk memberikan kebaikan pada anaknya, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, menjadi cermin bagi kita untuk berkaca diri. Diceritakan oleh putranya, Anas bin Malik ?:
“Rasulullah ? pernah mendatangiku ketika aku sedang bermain-main dengan anak-anak yang lain. Beliau memberi salam kepada kami, lalu menyuruhku untuk suatu keperluan, sehingga aku terlambat pulang kepada ibuku. Ketika aku datang, ibuku bertanya, “Apayang membuatmu terlambat?” “Rasulullah ? menyuruhku untuk suatu keperluan,” jawabku. “Apa keperluannya?” tanya ibuku. Aku menjawab, “Itu rahasia.” Ibuku pun mengatakan, “Kalau demikian, jangan engkau beritahukan rahasia Rasulullah ? kepada siapa pun!” (HR. Al Bukhari no.6289 dan Muslim no.2482)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,sebagian ulama mengatakan bahwa sepertinya rahasia itu khusus berkenaan dengan istri-istri Nabi ?. Seandainya rahasia itu berupa ilmu tentu tidak ada celah bagi Anas ? untuk menyembunyikannya.
Al Hafizh rahimahullah juga menukilkan penjelasan Ibnu Baththal rahimahullah bahwa pendapat yang dipegangi oleh ahlul ilmi, rahasia tidak boleh disembunyikan bila mengandung bahaya bagi pemiliknya. Sebagian besar dari mereka berpendapat bila pemilik rahasia itu meninggal, maka tidak harus disembunyikan rahasianya sebagaimana yang harus dilakukan semasa hidupnya, kecuali bila berakibat merendahkan martabatnya. (Fathul Bari, 11/99)
Demikian semestinya. Orangtua harus benar-benar bijak mengajarkan kepada anak-anaknya untuk menjaga rahasia. Tidak setiap hal boleh diberitakan dan tidak setiap rahasia boleh disebarkan. Dengan ini, akan tumbuh kepercayaan masyarakat kepada dirinya di masa mendatang, sebagai seseorang yang dipandang bisa memegang rahasia. Wallähu ta’älä a’lamu bish shawäb.

Friday, November 24, 2023

CARA MEMJAGA DIRI KITA DARI SANTET

Add caption

Add caption
Menjaga Diri dari Sihir, Santet, dan Guna-guna


Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh,
Bagaimana saya dapat menjaga diri beserta seluruh keluarga (Istri & anak2) dari gangguan dan pengaruh ilmu-ilmu setan/sihir/santet/guna-guna serta dijauhkan dari segala fitnah dan marabahaya.
Atas pengetahuan terbatas saya, selama ini Insya Allah saya membaca "Ayat Lima" setelah Shalat Maghrib, didahului dengan Shalawat, kemudian untuk wirid sehari-hari saya Insya Allah membaca "Yaa Qawiyyu Yaa Matiin" sebanyak-banyaknya. Dan sebelum tidur Insya Allah saya membaca Ayat Kursyi 7 kali.

Saya Insya Allah yakin sekali bahwa Allah pasti akan melindungi hambanya, namun karena saya tidak paham apakah doa-doa tersebut "tepat-guna", doa apakah yang sebaiknya saya baca setelah Shalat Fardhu, wirid, sebelum tidur atau diwaktu-waktu lain?

Kemudian, bagaimana saya dapat menjaga seluruh keluarga (istri & anak-anak) dan anak-anak buah saya?

Demikian pertanyaan saya, terima kasih banyak atas tanggapan dan bimbingannya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.



Jawab:
Sebagai muslim, tentu kita mengerti bahwa sihir dan sejenisnya dilarang oleh Islam. Para Ulama bahkan menganggapnya sebagai dosa besar. Ia dalam hadis Nabi digolongkan di antara tujuh perkara yang merusak. Kata Rasul: "'Jauhilah tujuh perkara yang merusak'. Para sahabat lantas bertanya: 'Apa (tujuh perkara) itu, wahai Rasulullah?' Jawab Rasul: 'Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang dilindungi Allah kecuali dengan cara yang haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari menghindar saat berkobarnya perang dan menuduh zina wanita yang dilindungi yang beriman dan yang lupa (yang tidak pernah membayangkan untuk melakukannya)." [HR. Bukhari 2560]

Namun begitu, banyak kaum muslimin (juga non muslim) yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut.

Dalam keadaan begini, apa yang sebaiknya kita lakukan? Ada tuntunan-tuntunan Islami yang dapat diamalkan untuk berjaga-berjaga dari kemungkinan gangguan sihir atau jin. Di antaranya yang terpenting adalah membiasakan bacaan-bacaan (dzikir-dzikir) yang disyari'atkan. Salah satunya adalah membaca ayat Kursi setiap selesai menunaikan ibadah salat fardlu; membacanya (ayat Kursi) ketika hendak tidur; membaca surat-surat al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Naas setiap usai melaksanakan salat fardlu; membaca ketiga surat tadi setelah subuh (sebelum matahari terbit) dan di awal petang (setelah matahari terbenam. Juga dianjurkan setelah melakukan salat Subuh membaca dua ayat terakhir dari surat al-Taubat. Perlu juga memperbanyak membaca doa mohon perlindungan seperti "a'uudzu bikalimaatillaahittaammaati min syarri maa kholaq" (Saya berlindung dengan kalimat-kalimat Allah dari semua keburukan yang Allah ciptakan); "bismillaahilladzi laa yadlurru ma'asmihi syai un fil-ardli walaa fissamaai wahuwassamii'ul 'aliim" (Dengan nama Allah, tidak membahayakan apa saja yang di bumi dan di langit dengan disertai [membaca] nama Allah) 3X di awal pagi dan awal petang. Dan jangan lupa pula dengan semua doa-doa yang diajarkan al-Quran atau hadits.

Yang perlu Saudara sadari mula-mula adalah, bahwa anjuran untuk membaca bacaan-bacaan dzikir tersebut adalah dengan tujuan untuk mengingat Allah Swt. Jadi, upayakanlah jangan sekedar membaca namun hatinya kosong tanpa merasakan kehadiran Allah (Yang Maha Dekat), memohonlah dengan segala kekhusyukan, dan kesungguhan.

***
Adapun bacaan-bacaan yang selama ini Saudara amalkan adalah termasuk kategori dzikir-dzikir yang baik, yang tentu saja sangat berguna bagi Saudara sendiri maupun bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan Saudara.

Berikut ini saya sebutkan beberapa do'a yang saudara minta. (Untuk lebih lengkap lagi bisa didapat dari buku-buku kumpulan dzikir yang biasanya banyak menyertakan bacaan-bacaan dzikir 'ma'tsuur' (sesuai yang diajarkan Rasul).

Doa saat hendak tidur: "bismillaahi amuutu wa ahyaa" (beserta Allah saya hidup dan mati) [HR. Bukhari]; membaca ayat kursi [HR. Bukhari], disusul dengan dua ayat terakhir al-Baqarah [HR. Bukhari-Muslim], dan "allaahumma aslamtu nafsii ilaika, wa wajjahtu wajhii ilaika, wa fawwadltu amrii ilaika, wa aljaitu dhohrii ilaika, raghbatan wa rahbatan ilaika, laa malja'a walaa manjaa minka illaa ilaika, aamantu bikitaabika alladzii anzalta, wanabiyyika alladzii arsalta" (Ya Allah, aku pasrahkan jiwaku kepadaMU, memusatkan konsentrasiku kepadaMU, kupasrahkan semua urusanku kepadaMU, kepada Engkau pula badanku kuserahkan, tiada tempat berlindung kecuali kepadaMU, aku mengimani kitab yang Engkau turunkan, dan Nabi yang Engkau utus".) [HR. Bukhori-Muslim].

**
Dan wirid setelah salat, banyak hadis Rasul yang menerangkan tentang bacaan-bacaan setelah menjalankan salat. Di antaranya adalah berikut ini:
1. laa ilaaha illallah wahdahuu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu, yuhyii wa yumiitu wahuwa 'alaa kulli syaiin qodiir (Tiada Tuhan selain Allah satu-satunya, tiada sekutu bagiNYA, hanya Dia lah yang memiliki kekuasaan dan segala puji, Dia yang memberi hidup dan mati, dan Mahakuasa atas segala sesuatu) (untuk salat Subuh dan Maghrib 10x).
2. Kedua: ayat kursi.
3. Ketiga: subhaanallaah 33x, al hamdulillah 33x, Allaahu akbar 33x, kemudian disempurnakan seratusnya dengan "laa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariikalah, lahul mulku waalahulhamdu wahuwa 'alaa kulli syaiin qadiir".
4. (sebagai pelengkap) Hasbunallaah wani'mal wakiil 20x atau semampunya.
5. astaghfirullaahal 'adziim 20x atau semampunya.
6. sholawat kepada rasul 10x atau semampunya.
7. astaghfirullaah al-'adziim alladzii laa ilaaha illaa huwa al-hayyu al-qoyyuum wa atuubu ilaih. 3x
8. Doa sebisanya untuk diri sendiri, keluarga dan yang lainnya. Kemudian diakhiri dengan membaca surat al-Fatihah.

Atau kalau ingin meringkas (saat terburu-buru), bisa memilih yang kedua, ketiga, solawat sekali dan ketujuh.

Hanya perlu Saudara ketahui juga, semua bacaan itu hukumnya hanyalah sunnat: dikerjakan dapat pahala, ditinggal tidak ada dosa. Dan diupayakan agar menyertainya dengan hati yang khusyu' penuh peresapan.

CARA MENGUAK DEFINISI TASAWUF

Menguak Kembali Definisi Tassawuf



DALAM sejarah perkembangannya, Sufi dan Tasawuf beriringan. Beberapa sumber dari kitab-kitab yang berkait dengan sejarah Tasawuf memunculkan berbagai definisi. Definisi ini pun juga berkait dengan para tokoh Sufi

setiap zaman, disamping pertumbuhan akademi Islam ketika itu. Namun Reinold Nicholson, salah satu guru para orientalis, membuat telaah yang terlalu empirik dan sosiologik mengenai Tasawuf atau Sufi ini, sehingga definisinya menjadi sangat historik, dan terjebak oleh paradigma akademik-filosufis. Pandangan Nicolson tentu diikuti oleh para orientalis berikutnya yang mencoba menyibak khazanah esoterisme dalam dunia Islam, seperti J Arbery, atau pun Louis Massignon. Walaupun sejumlah penelitian mereka harus diakui cukup berharga untuk menyibak sisi lain yang selama ini terpendam.



Bahwa dalam sejarah perkembangannya menurut Nicholson, tasawuf adalah sebagai bentuk ekstrimitas dari aktivitas keagamaan di masa dinasti Umawy, sehingga para aktivisnya melakukan ‘Uzlah dan semata hanya demi Allah saja hidupnya. Bahkan lebih radikal lagi Tasawuf muncul akibat dari sinkretisme Kristen, Hindu, Buddha dan Neo-Platonisme serta Hellenisme.

Penelitian filosofis ini, tentu sangat menjebak, karena fakta-fakta spiritual pada dasarnya memiliki keutuhan otentik sejak zaman Rasulullah Muhammad Saw, baik secara tekstual maupun historis.

Dalam kajian soal Sanad Thariqat, bisa terlihat bagaimana validitas Tasawuf secara praktis, hingga sampai pada alurnya Tasawuf Rasulullah Saw. Fakta itulah yang nantinya bisa membuka cakrawala historis, dan kelak juga berpengaruh munculnya berbagai ordo Thariqat yang kemudian terbagi menjadi Thariqat Mu’tabarah dan Ghairu Mu’tabarah.

Pandangan paling monumental tentang Tasawuf justru muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang Ulama sufi abad ke 4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa definisi Tasawuf atau Sufi muncul melalui akar-akar historis, akar bahasa, akar intelektual dan filsafat di luar dunia Islam. Walaupun tidak secara transparan Al-Qusyairy menyebutkan definisinya, tetapi dengan mengangkat sejumlah wacana para tokoh Sufi, menunjukkan betapa Sufi dan Tasawuf tidak bisa dikaitkan dengan sejumlah etimologi maupun sebuah tradisi yang nantinya kembali pada akar Sufi.

Dalam penyusunan buku Ar-Risalatul Qusyairiyah misalnya, ia menegaskan bahwa apa yang ditulis dalam risalah tersebut untuk menunjukkan kepada mereka yang salah paham terhadap Tasawuf, semata karena kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah friman Allah Swt.:

“Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglkah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.,” (Q.s. Asy-Syams: 7-8)

”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia berdzikir nama Tuhannya lalu dia shalat.” (Q.s. Al-A’laa: 14-15)

“Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa.” (Q.s. Al-A’raaf: 205)

“Dan bertqawalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. Al-Baqarah : 282)

Sabda Nabi Saw:
“Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.r. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)

Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasawuf adalah implementasi dari sebuah kerangka agung Islam.

Secara lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:

Muhammad al-Jurairy:
“Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”

Al-Junaid al-Baghdady:
“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu bersama denganNya.”
“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah Swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.”
“Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.”
“Tasawuf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.”
“Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’, dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.”
“Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.”
“Jika engkau melihat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”

Al-Husain bin Manshur al-Hallaj:
“Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.”

Abu Hamzah Al-Baghdady:
“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersembunyi.”

Amr bin Utsman Al-Makky:
“Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.”

Mohammad bin Ali al-Qashshab:
“Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia.”

Samnun:
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.”

Ruwaim bin Ahmad:
“Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendakiNya.”
“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra, dan memilih.”

Ma’ruf Al-Karkhy:
“Tasawuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”.

Hamdun al-Qashshsar:
“Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk memaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik, dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu.”

Al-Kharraz:
“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislah kalian karena kami.”

Sahl bin Abdullah:
“Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”

Ahmad an-Nuury:
“Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala manakala tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada.”

Muhammad bin Ali Kattany:
“Tasawuf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasawuf.”

Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary:
“Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engkau diusir.”
“Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan dengannya.”

Abu Bakr asy-Syibly:
“Tasawuf adalah duduk bersama Allah Swt. tanpa hasrat.”
“Sufi terpisah dari manusia, dan bersambung dengan Allah Swt. sebagaimana difirmankan Allah Swt, kepada Musa, “Dan Aku telah memilihmu untuk DiriKu.” (Thoha: 41) dan memisahkannya dari yang lain. Kemudian Allah Swt. berfirman kepadanya, “Engkau tak akan bisa melihatKu.”
“Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.”
“Tasawuf adalah kilat yang menyala, dan Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.”
“Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”

Al-Jurairy:
“Tasawuf berarti kesadaran atas keadaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”

Al-Muzayyin:
“Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”

Askar an-Nakhsyaby:
“Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan segalanya.”

Dzun Nuun Al-Mishry:
“Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah Swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”

Muhammad al-Wasithy:
“Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”

Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy:
“Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, siapakah, yang menurutmu Sufi itu? ” Lalu ia menjawab, “Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit.” Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.”

Ahmad ibnul Jalla’:
“Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali rtidak memiliki sarana-sarana duniawy. Mereka bersama Allah Swt. tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah Swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.”

Abu Ya’qub al-Madzabily:
“Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”

Abul Hasan as-Sirwany:
“Sufi itu yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang meyertainya.”

Abu Ali Ad-Daqqaq:
“Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, “Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah Swt, untuk menyapu kotoran binatang.”
“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya, dan ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian padanya.”

Abu Sahl ash-Sha’luki:
“Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.”

Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya.

Alhasil, dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara hamba dengan Allah Swt, dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata lain, Tasawuf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan RasulNya, pengakuan diri akan haknya sebagai hamba dan haknya terhadap sesama di dalam amal kehidupan.

Terminologi Tasawuf
Di dalam dunia Tasawuf muncul sejumlah istilah-istilah yang sangat populer, dan menjadi terminologi tersendiri dalam disiplin pengetahuan. Dari istilah-istilah tersebut sebenarnya merupakan sarana untuk memudahkan para pemeluk dunia Sufi untuk memahami lebih dalam. Istilah-istilah dalam dunia Sufi, semuanya didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Karena dibutuhkan sejumlah ensiklopedia Tasawuf untuk memahami sejumlah terminologinya, sebagaimana di bawah ini, yaitu:

Ma’rifatullah, Al-Waqt, Maqam, Haal, Qabdh dan Basth, Haibah dan Uns, Tawajud – Wajd – Wujud, Jam’ dan Farq, Fana’ dan Baqa’, Ghaibah dan Hudhur, Shahw dan Sukr, Dzauq dan Syurb, Mahw dan Itsbat, Sitr dan Tajalli, Muhadharah, Mukasyafah dan Musyahadah, Lawaih, Lawami’ dan Thawali’, Buwadah dan Hujum, Talwin dan Tamkin, Qurb dan Bu’d, Syari’at dan Hakikat, Nafas, Al-Khawathir, Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, Warid, Syahid, Nafsu, Ruh, Sirr, dan yang lainnya.

Kemudian istilah-istilah yang masuk kategori Maqomat (tahapan) dalam Tasawuf, antara lain:

Taubat, Mujahadah, Khalwat, Uzlah, Taqwa, Wara’, Zuhud, Diam, Khauf, Raja’, Huzn, Lapar dan Meninggalkan Syahwat, Khusyu’ dan Tawadhu’, Jihadun Nafs, Dengki, Pergunjingan, Qana’ah, Tawakkal, Syukur, Yakin, Sabar, Muraqabah, Ridha, Ubudiyah, Istiqamah, Ikhlas, Kejujuran, Malu, Kebebasan, Dzikir, Futuwwah, Firasat, Akhlaq, Kedermawaan, Ghirah, Kewalian, Doa, Kefakiran, Tasawuf, Adab, Persahabatan, Tauhid, Keluar dari Dunia, Cinta, Rindu, Mursyid, Sama’, Murid, Murad, Karomah, Mimpi, Thariqat, Hakikat, Salik, Abid, Arif, dan seterusnya.

Seluruh istilah tersebut biasanya menjadi tema-tema dalam kitab-kitab Tasawuf, karena perilaku para Sufi tidak lepas dari substansi dibalik istilah-sitilah itu semua, dan nantinya di balik istilah tersebut selain bermuatan substansi, juga mengandung “rambu-rambu” jalan ruhani itu sendiri.

Rahasia Menyingkap Ilmu Laduni

Menyingkap Rahasia Ilmu (Laduni) Rahasia ahli kitab yang mampu memindahkah kursi Ratu Bilkis sebagaimana di kisahkan Al qur an hingga ...