MENJAWAB FENOMENA MENDATANGKAN UANG GAIB LEWAT RITUAL GAIB
Fenomena uang gaib memang sesuatu yang nyaris sulit dipercaya. Sudah sejak lama orang berputar-putar pada sebuah pertanyaan: “Benarkah uang gaib ini ada dan bisa didatangkan?”
Memang, tak mudah menjawab pertanyaan tersebut, terlebih ketika kita menganalisis masalah uang gaib ini dari sudut logika. Tentu yang ada hanya kebuntuan belaka. Bagaimana mungkin ada tumpukan uang di alam nun jauh di seberang sana? Lalu, siapa yang memilikinya, dan bagaimana uang tersebut bisa tersedia? Yang paling membingungkan, dengan cara seperti apa uang itu bisa dihadirkan ke dunia nyata?
Semua pertanyaan tersebut bisa membuat kita pusing tujuh keliling memikirkannya. Jangankan mencari jawabannya, untuk membayangkannya saja bisa membuat kita senewen.
Namun, kesenewenan itu juga yang membuat fenomena ini selalu menyedot perhatian. Terlebih di zaman krisis ekonomi seperti sekarang ini. Buktinya, ketika Misteri memuat artikel tentang Ritual Mendatangkan Uang di Bawah Sajadah, maka staf redaksi kami kewalahan menjawab telepon, belum lagi faks dan email. Semua pertanyaan dan surat yang masuk bernada sama dan sebangun, yakni: “Benarkah ritual tersebut bisa dibuktikan?”
Tentu, kami tidak dapat menjawab “benar” atau “tidak.” Namanya saja hal gaib, pasti tak mudah diberi label “benar” atau “tidak” bila kita belum membuktikannya sendiri, atau setidaknya pernah mendengar kesaksian dari seseorang yang pernah membuktikannya. Sinyalemen terakhir ini, setidaknya cukup menjadi alasan bagi Misteri bahwa ritual tersebut sangat mungkin kebenarannya, namun sudah tentu dengan sederet catatan-catatan.
Deretan catatan tersebut berhubungan dengan si pelaku ritual, juga ketentuan dari ritual dimaksud. Dari sisi si pelaku, tentu dia harus sungguh-sungguh, ikhlas, dan istikomah dalam menjalankan ritualnya. Sementara dari sisi ketentuan ritual, jelas berhubungan dengan aneka macam persyaratan, seperti tempat, saat mustajabah, juga berbagai sesaji yang dibutuhkan. Kalau kedua hal ini dapat terpenuhi dengan baik, maka berdasarkan pengalaman dari sejumlah kesaksian, sudah barang tentu ritual akan membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Memang, tak mudah membuktikan kebenaran di balik ritual mendatangkan uang ini. Ibaratnya, dari seribu orang yang melakukan ritual, barangkali hanya satu orang yang bisa membuktikan kebenarannya. Orang yang berhasil ini bukan semata-mata karena dia menjalankan ritual dengan benar, tapi sangat mungkin karena ada kriteria lain yang menjadi sebab pendorong keberhasilannya. Misalnya saja, orang ini memang memiliki alasan untuk melakukan ritual tersebut karena dia sangat membutuhkan uang untuk membayar utang, atau mencari biaya untuk pengobatan orang tuanya yang sakit keras. Karena jalan lahiriyah sudah buntu, maka jalan batiniah dipilihnya. Dengan sebab ini maka dia memiliki sugesti yang sangat kuat untuk bisa berhasil. Auto power sugesti ini merupakan modal yang sangat kuat baginya untuk berhasil, disamping dengan dukungan kesungguhan dan keikhlasannya dalam melakukan ritual.
Para Ulama Sufi dan Ahli Hikmah memang berkeyakinan bahwa ritual mendatangkan uang gaib ini tidak bisa digunakan untuk tujuan “main-main”. Maksudnya, siapapun yang ingin melakukan ritual ini harus benar-benar memiliki alasan yang kuat dan tepat, bukan hanya dengan maksud ingin mencoba-coba.
“Kalau dilakukan hanya dengan mencoba-coba, maka saya jamin ritual akan gagal!” ungkap Prayoga Gemilang, yang pernah membikin heboh dengan diktat gaibnya tentang upaya mendatangkan uang gaib. Menurutnya, hanya orang yang sungguh-sungguh terdesak oleh suatu kebutuhan, seperti harus segera membayar utang karena nyawanya terancam, yang bisa membuktikan keampuhan ritual ini.
Hal senada juga dikatakan oleh Saipudin. Menurut paranormal muda yang juga pakar Ilmu Hikmah ini, banyak orang yang tergoda melakukan perburuan uang gaib atau melakukan ritual mendatangkan uang gaib, tanpa mengerti esensi yang sebenarnya dari ritual ini. Dia mengatakan, para pelaku ritual umumnya memang mengerjakannya dengan setengah hati, karena di awal mereka sesungguhnya sudah merasa ragu. Keraguan ini sangat mungkin terjadi karena pelaku tidak memiliki modal sugesti yang kuat.
“Padahal, sugesti itu modal utama dalam ritual apa saja, sebab sugestilah yang menuntun ke arah keberhasilan. Walaupun ritualnya ampuh, kalau sugesti pelakunya lemah, maka besar kemungkinan tidak bisa menunjang keberhasilan. Atau, kalaupun berhasil tentu tidak memuaskan,” papar Saipudin, menegaskan.
Untuk membuktikan kebenaran pendapat tersebut, marilah kita simak cerita yang dituturkan oleh Muhi Juhana, tentang seorang sahabatnya yang bernama Surya. Sahabatnya ini, adalah seorang yang melakukan ritual peminjaman uang gaib…:
Ketika ditemui di rumahnya, Surya dengan gamblang menjelaskan bahwa apa yang disebut sebagai Bank Gaib itu memang benar-benar ada.
Dipaparkan oleh Surya, walau dia gagal dalam ritual tersebut, tetapi dia telah mencoba melakukan ritual yang sebenarnya tidak memerlukan biaya besar. Cukup tiga batang lilin merah yang sebelumnya telah diisi oleh seorang Kyai, wewangian dan membakar madat, serta berpakaian bersih saat melakukan ritual.
Sudah barang tentu, sebelumnya Surya diwajibkan untuk melakukan puasa mutih selama tiga hari tiga malam, yang dimulai pada hari Selasa. Tepatnya mulai Selasa, Rabu dan Kamis.
Malam Jum’atnya, dia tidak tidur sama sekali. Ketiga lilin merah itu dibakar dan diletakkan berjajar. Tak lupa Surya juga memakai wewangian dan membakar madat serta membaca amalan tertentu untuk mengundang khodam yang akan mengantarkan uang kepadanya.
Sebelumnya, sang Kyai berpesan kepada Surya, “Ingat, jangan sekali-kali membuka pintu jika terdengar ada yang mengetuk dari luar. Biarkan khodamnya masuk ke kamarmu sambil membawa uangnya!”
Ringkas cerita, saat Surya melakukan ritual di kamar khususnya malam itu, sementara isterinya membantunya dengan melakukan wiridan di kamar yang berbeda, sesuatu yang aneh memang terjadi. Sekitar pukul 02.30 WIB, lamat-lamat terdengar suara derap kaki kuda yang menghela kereta berhenti tepat di depan rumahnya. Dan tak lama kemudian, terdengar gedoran keras pada pintu depan rumah.
Mendengar gedoran yang keras tidak alang kepalang, dengan serta merta Surya pun bangkit karena jengkel. Dia lupa akan pesan sang Kyai. Dan ketika daun pntu dibukanya, dia tak melihat siapa pun. Yang ada hanyalah kegelapan malam. Ketika sadar, Surya pun menyesal. Dia telah melanggar pantangan. Dan uang yang amat diharapkan tidaklah didapatkan
Isteri Surya memberi kesaksian, “Saya melihat dengan jelas seolah tidak ada penghalang tembok sama sekali. Di luar sana, tampak ada seorang wanita cantik turun dari kereta kencana sambil membawa bungkusan yang digendong di belakang dengan kain. Mirip pedagang kain. Dan perempuan itu langsung saja menggedor pintu depan.”
Demikian kisah Muhi Juhana tentang sahabatnnya yang bernama Surya. Pengalaman Surya jelas telah membuktikan betapa Bank Gaib itu benar adanya. Sudah tentu, jika kita mau menjalani ritualnya dengan tulus, tekun dan sabar, maka kita akan mendapatkan uang yang kita harapkan. Namun, seperti yang disinggung Saipudin, kebanyakan orang yang melakukan ritual ini memang setengah hati. Maksudnya, kurang khusyuk dan tidak memiliki modal sugesti yang kuat.
***
Masih ada kisah lain yang tak kalah menawan. Beberapa tahun silam, Misteri mempunyai sahabat bernama dr. Kadarisman yang waktu itu tinggal di dearah Rawamung, Jakarta Timur. Dokter spesialis mata ini dikenal sebagai orang yang zuhud dalam menjalankan agamanya. Sejak masih kanak-kanak sampai kuliah, dia selalu tekun bangun di tengah malam dan sholat Tahajjud.
Sampai suatu ketika saat Kadarisman masih kuliah di Fakultas Kedokteran UI, dia terdesak uang untuk biaya ujian praktek. Jumlahnya waktu itu lumayan besar. Sebagai anak yatim yang sudah mandiri sejak kecil, Kadarisman tentu tidak bisa berharap kiriman uang dari keluarganya.
Di tengah kebingungan itu, Kadarisman bertemu orang tua yang sangat zuhud. Dari orang tua inilah dia memperoleh sebuah ritual yang diperuntukkan sebagai usaha menghadirkan uang dari alam gaib. Dengan kezuhudan dan ketakwaannya, Kadarisman lalu menjalankan ritual yang diperolehnya. Tiga hari menjalankan ritual dimaksud, hasilnya sungguh sangat menakjubkan. Suatu pagi, ketika Kadarisman ingin berganti pakaian, maka di bawah tumpukan pakaiannya terdapat uang kertas yang masih serba baru. Aneh bin ajaib! Jumlahnya sama persis dengan kebutuhannya untuk membayar uang ujian….
Demikianlah kisah menawan yang dialami oleh dr. Kadarisman, sahabat Misteri yang budiman. Menyimak kisah tersebut, maka jelas sekali bahwa uang gaib itu memang ada, tanpa kita perlu menanyakan di mana keberadaannya, sebab masalah gaib itu memang tak pernah bisa terjawab dengan tuntas.
Ditegaskan oleh Saipudin, perkara uang gaib ini sebenarnya tak perlu dipertentangkan lagi. Dalam beberapa kitab Ilmu Hikmah, memang terdapat petunjuk-petunjuk ritual untuk mendatangkan uang dari alam gaib.
“Kalau ritualnya ada, maka secara logika uang gaib itu bisa dinyatakan benar keberadaannya. Karena itu, menurut hemat saya hal ini sudah bukan fenomena lagi, tapi merupakan fakta,” tegas Saipudin. Untuk mendukung tesisnya tersebut, dia membeberkan sebuah ritual untuk menghadirkan uang dari alam gaib. Disebutkan olehnya, ritual rahasia ini diperolehnya dari ijazah seorang ulama sufi terkenal di Banten. Berikut ini paparan lengkapnya:
- Untuk melakukan ritual ini, maka carilah bulan yang awal harinya dimulai dengan hari Sabtu. Jadi, ritual ini dimulai pada hari Sabtu, persis di awal bulan (bulan apa saja), dengan tidak mengkonsumsi makanan yang bernyawa dan apa saja yang berasal darinya.
- Setiap hari membaca “YA KARIIM YA ROHIIM” sebanyak-banyaknya. Khusus setelah sholat fardhu “YA KARIIM YA ROHIIM” dibaca sebanyak 1000, setelah itu membaca doa berikut ini sebanyak 7 kali: “ALLAAHUMMA AS’ALUKA BIBUUKOOLIIMA SYUUNAAHIILA YA SYAHRIINA AS’ALUKA BIHURMATI KASYAHIILA BARDIIMA BAHROO’IILA AJAAJIILA AZAASIILA WA AS’ALUKA BIHURMATI JIBRIIL WA MIIKAA’IIL WA ISROOFIIL WA IZROO’IIL WA BIHURMATI SAYYIDINAA MUHAMMADIN SOLLALLAAHU ALAIHI WA SALLAMA WA BIHAKKI YAA KARIIM YAA ROHIIM ANTARZUKONII KULLA YAUMIN DIINAARON ASTA’IINA BIHII ALAA KUUTII WAL HAJI ILA BAITILLAH ALHAROOM.”
- Pada minggu kedua dalam rangkaian ritual Anda tetap tidak diperbolehkan mengkonsumsi makanan yang bernyawa, atau segala sesuatu yang berasal daripadanya, dan diharuskan tetap menjalankan ritual seperti yang dijelaskan di atas. Kemudian pada tanggal 12,14, dan 15 berpuasalah. Namun, buka dan malam harinya tidak boleh mengkonsumsi makanan yang bernyawa serta segala sesuatu yang berasal daripadanya.
- Bila ritual yang Anda jalankan masih terus berlangsung sampai malam Jum’atnya (malam terakhir dari ritual Anda), maka Anda harus mandi jinabat kemudian mengenakan pakaian yang bersih dan memakai wewangian, seperti minyak misik atau zafaron. Pada tengah malam pas pukul 00.00, Anda harus menunaikan sholat Isya. Kemudian setelah sholat Isya bacalan amalan-amalan berikut ini: SUBHANALLAH 33X, ALHAMDULILLAH 33X, LA ILAHA ILLALAAH 33X, ALLAHU AKBAR 33X, ALLAAHUMMA SOLLI ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WA ALA ALI SAYYIDINA MUHAMMAD 1000X, YA KARIIM YA ROHIIM 1000X, ALLAAHUMMA SOLLI ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WA ALA ALIHI WA SOHBIHI WA SALLIM ASSOLAATU ALA ROSUULILLAH SOLLALLAAHU ALAIHI WA SALLAMA 1X, AYAT KURSYI 3X, AL IKHLAS 3X, AL FALAQ 1X, ANNAS 1X, ALLAAHUMMA AATIHIL WASIILAH WAL FADIILLAH WADDAROJAH ARROFII’AH WAB’ATSHU WAL MAKOOMAL MAHMUUDAL LADZII WA’ATTAH WA AURONAA HAUDOHO WASKINAA MIN YADIHI SYARBATAN LA NATMA’ANNA BA’DAHA ABADAN 1X. Ingat, sewaktu mewridzkan semua amalan di atas jangan sampai tertidur, sebab jika tertidur bisa gagal total.
- Sampai di sini ritual yang Anda jalankan selesai, tinggal menunggu waktu sholat Subuh tiba. Sekali lagi ingat, selama menunggu datangnya waktu sholat Subuh tidak boleh tertidur barang sekejappun sebab bisa gagal. Lalu, sesudah sholat Subuh bacalah solawat sebanyak-banyaknya hingga Anda benar-benar diliputi oleh rasa kantuk yang sangat hebat hingga Anda tertidur karenanya. Maka ketika Anda tertidur itulah khodam amalan ini akan datang dan bertanya, “Hai hamba Allah, apakah Anda menghendaki harta benda atau akhirat?” Maka jawablah, “Saya menghendaki harta benda, tetapi saya meminta pertolongan akhirat.” Maka khodam tersebut akan memberikan dua keping mata uang Dinar kepada Anda, dan berpesan kepada Anda agar setiap Jum’at melakukan ziarah kubur, mandi jinabat, dan membaca: “YA KARIIM YA ROHIIM”
“Setelah menjalani ritual tersebut dengan sempurna, Insya Allah setiap hari Anda akan mendapatkan uang sesuai yang Anda butuhkan, di bawah bantal yang Anda tiduri. Dengan catatan Anda harus merahasiakan keajaiban ini kepada siapapun. Bila Anda membuka rahasia ini, maka kiriman uang gaib tersebut akan terhenti dengan sendirinya,” urai Saipudin, mempertegas amalan ritual yang dibeberkannya.
Muhammad Syahri, salah seorang saksi yang pernah menjalankan ritual tersebut mengaku telah mengalami kegagalan dengan sebab yang sangat sepele. Ceritanya, sahabat dekat Saipudin ini melakukan ritual di rumah kontrakannya di bilangan Cipete, Jakarta Selatan. Gara-gara hal ini, si khodam penunggu wiridan marah, sebab katanya dia diundang bukan di tempat yang telah menjadi hak milik dari si pengundangnya, padahal pemilik tempat belum tentu meridhoinya. Yang dimaksud adalah rumah yang digunakan Syahri bukan milik pribadinya, dan pemilik rumah belum tentu merasa senang dengan perbuatannya.
“Khodam yang menjelma sebagai pria berjubah hijau itu malah menyuruh saya untuk mengulangi undangan atas dirinya, dan harus dilakukan di tempat yang sudah menjadi hak saya. Terus terang, saya kecewa. Tapi saya bangga dengan pengalaman langka ini,” aku Syahri saat dimintai kesaksiannya oleh Misteri.
Saipudin menambahkan, jangan gampang putus asa kalau ternyata setelah melakukan ritual tersebut ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Maksudnya, si pelaku ritual tidak menemukan uang di bawah bantalnya. “Sangat mungkin khodam itu memberikannya dengan cara lain. Misalkan saja memberikan kemujuran kepada Anda lewat proses kerja yang Anda lakukan. Istilahnya, mudah mendapat rejeki yang tidak disangka-sangka. Tapi semua ini tentu atas ridho Allah semata,” tandasnya.
Dengan menyimak uraian yang panjang lebar ini, masihkah kita harus meragukan bahwa yang namanya uang gaib, Bank Gaib, atau apapun istilahnya, hanya merupakan cerita isapan jempol semata? Akhirnya, terserah Anda menafsirkannya.
Wednesday, July 31, 2013
Cara Menyingkap Metode Tarikat Umum dan Khusus
Metode Tariqat Umum dan Khusus
Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily
PERLU diketahui bahwa pengetahuan yang menurut pemiliknya dianggap terpuji dan jelas, hal itu bisa dianggap gelap bagi ahli hakikat. Ahli hakikat ini adalah mereka yang menyelami Lautan Dzat dan kedalaman Sifat-sifat. Di sana, mereka tanpa memiliki imajinasi sama sekali. Dan mereka itulah kalangan Khos yang Luhur. Yaitu mereka yang menyertai martabat para Nabi dan Rasul, walau pun martabat para Nabi dan Rasul itu lebih mulia.
Sebab mereka ini mempunyai bagian dari martabat itu, karena tidak satu pun, baik Nabi maupun para Rasul, melainkan mempunyai pewaris dari ummat ini, dan setiap pewaris mempunyai bagian dari peninggalan warisannya. Nabi Saw, bersabda, “Para Ulama itu adalah pewaris para Nabi.”
Dan tentunya para pewaris itu memiliki kedudukan yang diketahui dari yang mewariskannya, dari segi pewarisan ilmu pengetahuan dan hikmah. Namun bukan dari segi perwujudan hakikat dan kondisi anugerah ruhani (al-maqam wal-haal). Sebab maqam para Nabi itu terlalu luhur untuk diraih oleh selain para Nabi sendiri, Sementara setiap pewaris mendapatkan sebagian maqam itu menurut warisan yang diterimanya. Karena Allah Swt, sudah berfirman,
“Niscaya benar-benar Kami utamakan sebagian Nabi atas sebagian yang lainnya”.
Begitu juga Allah memberikan posisi keutamaan para wali satu sama lainnya berbeda.
Para Nabi senantiasa bersama Pandangan Allah, dan setiap pandangan yang melimpah dari pandangan para Nabi akan tertuang menurut kadarnya. Sementara setiap Wali memiliki muatan yang spesifik, sehingga dunia Wali terbagi menjadi dua:
Satu bagian disebut sebagai wali pengganti para Nabi (Abdaalul Ambiya’)
Bagian kedua, adalah wali pengganti para Rasul (Abdaalur Rusul).
Abdal para Nabi disebut sebagai kaum Shalihun, sedangkan Abdal para Rasul disebut ash-Shiddiqun. Antara Shalihun dengan Shiddiqun, posisi keutamaannya sama dengan antara para Nabi dan Rasul. Maka ada yang meraih dari mereka (para Nabi), dan ada yang meraih dari mereka (para Rasul) pula.
Hanya saja diantara mereka itu adala kelompok khusus yang mendapatkan substansi materi ruhaniyah langsung dari Rasulullah Saw, yang mereka saksikan dengan pandangan yakin yang nyata. Tetapi jumlah kelompok sedikit, namun dalam jumlah perwujudan hakikatnya cukup banyak.
Setiap Nabi dan Wali selalu bermula dari substansi Rasulullah Saw. Karena diantara para Wali itu ada yang menyaksikan dengan pandangannya, dan sebagian mereka yang ada yang tersembunyikan pandangan dan substansi materinya. Mereka malah fana’ dalam anugerah yang turun padanya dan tidak tersibukkan dengan mencari substansi materi ruhaniyahnya itu, bahkan, mereka itu tenggelam dalam anugerah ruhani (haal) sampai tidak lagi melihat selain waktunya belaka.
Diantara mereka ada yang terlimpahi melalui Nur Ilahi, sehingga mereka dapat memandang melalui cahayaNya itu, dan mengenal urusannya secara nyata. Dan yang demikian itu merupakan karomah bagi mereka, yang tidak bisa diingkari kecuali oleh mereka yang memang mengingkari karomah para Wali. Kita semua mohon perlindungan dari keingkaran terhadap sesuatu setelah kita mengenal sesuatu itu. Mereka itu menempuh Thariqat yang tidak ditempuh oleh yang lainnya.
Sebab jalan penempuhan (Thariqat) itu ada dua. Thariqat bagi kalangan Khos, dan Thariqat bagi kalangan publik thariqah (umum).
Dimaksud dengan Thariqat Khos itu, adalah jalan yang ditempuh oleh kalangan yang Dicintai Allah (al-Mahbubin), yang merupakan Abdal para Rasul. Sedangkan Thariqat Umum adalah Thariqat yang ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin), yaitu Abdal para Nabi. Semoga Salam Sejahtera bagi mereka semua.
Thariqat Khos adalah Thariqat yang sangat khusus yang sulit dicerna akal biasa, dan langka sekali yang mampu menguraikan substansinya. Bagi Anda cukup dengan Thariqat Umum, yaitu jalan penempuhan melalui satu tahap ke tahap lainnya yang lebih luhur hingga sampai pada suatu tahap tertentu, yaitu , “tempat duduk yang benar di sisi Raja Yang Maha Berkuasa”.
Jejak pertama yang harus dtempuh oleh seorang pecinta (al-Muhibb) adalah menaiki suatu tahap ke tahap yang lebih tinggi, yaitu diawali dengan riyadhoh Nafsu.
Ia tersibukkan oleh sebab akibat di sana dan bagaimana seseorang mengolah (riyadhoh) nafsunya (mengendalikannya) sampai tangga kema’rifatan.
Manakala ia telah mencapai tahap ma’rifat dan meraih hakikat di sana, ia akan mendapatkan pencerahan cahaya di tahap kedua, yaitu Qalbu.
Dalam tahap ini ia berada dalam kesibukan “bersiasat” (aturan) dalam dunia ma’rifatnya qalbu. Manakala tidak ada lagi yang tersisa tahapannya, ia menaiki tangga ketiga, yaitu Ruh.
Lalu ia bersibuk diri dengan Siasat Ruh dan kema’rifatannya. Apabila ma’rifatnya sudah sempurna maka sedikit demi sedikit mengalirlah cahaya-cahaya yaqin, sampai pandangannya lupa dengan luapan-luapan cahaya itu, sampai yakinnya benar-benar jelas, sehingga ia tidak lagi mampu berfikir terhadap pencahayaan tiga tahap yang secelumnya itu.
Maka disanalah ia bebas berhasrat sesuai dengan kehendak Allah . Lalu Allah melimpahkan melalui Nur Akaly yang asli dalam Nur Yaqin. Lalu ia menyaksikan Maujud tanpa batas dan pangkal akhir, jika disandarkan pada si hamba tersebut. Sehingga lenyaplah seluruh jagad ini didalamnya.
Kadang-kadang seperti tabung yang terlihat di udara melalui cahaya matahari, maka, ketika cahaya matahari itu membakar, tabung itu tidak lagi tampak bekasnya.
”Matahari” itu ibarat akal langsung, yang bisa memperlihatkan obyek, setelah terpenuhi oleh materi cahaya yaqin. Apabila seluruh cahaya itu lenyap, maka seluruh jagad itu sirna pula, dan yang ada hanyalah yang maujud ini. Kadang tampak ada, kadang sirna, sampai ketika ia menghendaki kesempurnaan, ia dipanggil oleh panggilan yang lembut, tanpa suara, yang hanya bisa difahami saja. Hanya saja yang bisa menyaksikan selain Allah, tiada sesuatu yang lain selain Allah. Maka, disitulah ia bangun dan sadar dari “mabuk”nya. Lalu bermunajat, “Oh Tuhan, tolonglah daku…., Duh Gusti, tolonglah aku…sungguh aku telah musnah…”
Dari sana ia tahu dengan seyakin-yakinnya, bahwa siapapun tidak bisa selamat dari lautan itu melainkan karena pertolongan Allah Swt. Disaat seperti itu dikatakan padanya, “Maujud ini adalah Akal, seperti yang disabdakan Rasulullah Saw, bahwa yang pertamakali diciptakan oleh Allah adalah akal.” Pada hadits lain dijelaskan, “Allah berfirman pada akal itu, ‘Menghadaplah!’ dan akal itu pun menghadap.”
Hamba ini lantas dianugerahi rasa hina dan keselamatan melalui Cahaya Maujud itu, sebab batas dan ukurannya tiada terkira, sehingga ia tak mampu mengenalnya. Dikatakan padanya, “Betapa jauhnya, batas itu tidak bisa dikenal kecuali bersama Allah.”
Lantas Allah Yang Maha Agung nan Luhur memberikan petunjuk melalui Cahaya Asma’-Nya, muncullah bagai sekelebat kedipan mata, atau seperti yang dikehendaki-Nya (Kami mengangkat derajat orang yang Kami kehendaki), kemudian Allah melimpahkannya melalui Cahaya Ruh Rabbany, lalu ia pun mengenal Maujud ini. Hamba tadi naik ke medan Ruh Rabbany, tiba-tiba sirna seluruh riasan keindahan yang menyertainya, lalu secara otomatis ia tersunyikan, tinggalah segala yang ada ini menjadi Maujud.
Kemudian Allah menghidupkannya melalui Cahaya Sifat-sifatNya, lalu dengan kehidupan itu Allah menaikkan ke dalam pengenalan Maujud Rabbany itu.
Ketika hamba terurai dari dasar-dasar SifatNya, hampir-hampir ia sebut “Dialah Allah”. Tiba-tiba ia ditemui oleh Pertolongan Azaly, lalu muncul panggilan, “Ingatlah! Bahwa maujud itu adalah yang tiada boleh disifati oleh siapa pun, tidak boleh pula dimengerti melalui ibarat apa pun melalui Sifat-sifatNya kecuali hanya oleh ahlinya, namun melalui cahaya lain untuk mengenalnya.”
Kemudian Allah Swt, melimpahkannya melalui Cahaya Sirr Ruh (rahasia batin Ruh), tiba-tiba ia sudah duduk di pintu medan Sirr. Hasratnya mengembang untuk mengenal Maujud itu yang tidak lain adalah Sirr itu sendiri. Namun, ia telah buta untuk mengenalnya, lalu seluruh sifat-sifatnya sirna, seakan-akan tak ada sesuatu pun padanya. Kemudian Allah Swt, melimpahkan Cahaya DzatNya, dengan limpahan Kehidupan Keabadian yang tiada hingga.
Semua yang diketahui memandang dengan Cahaya Kehidupan ini, lantas seluruh penghuni Maujud ini menjadi Cahaya yang memancar pada segala yang ada, tidak lagi ada yang bisa disaksikan selain Dia. Muncullah panggilan dari jarak yang sangat dekat saat itu: “Janganlah terpedaya dalam menuju Allah, karena yang Dicintai justru yang terhijab dari Allah, dengan Allah. Sebab mustahil Allah dihijabi oleh selain Allah.”
Lalu ia hidup dengan kehidupan yang dititipkan oleh Allah di dalamnya. Hamba itu lalu berkata, “Duh, Gusti….BesertaMu, DariMu, KepadaMu, betapa tak berdayanya daku. Sesungguhnya aku memohon perlindungan padaMu dariMu, sampai aku tidak melihat lagi selain DiriMu.”
Itulah jalan yang tanjakan menuju Hadirat Allah Yang Luhur, yaitu jalan ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin), sebagai para Badal Nabi. Sedangkan yang dianugerahkan pada salah seorang dari mereka setelah itu, tak satu pun orang yang bisa mengukur atau mendeskripsikannya. Segala Puji hanya bagi Allah, atas segala nikmat-nikmatNya, dan shalawat serta salam semoga terlimpah pada Kanjeng Nabi Muhammad pengunci para NabiNya.
Sedangkan Thariqat kalangan Mahbubin (mereka yang dicintai-Nya) adalah langsung dari Allah, kepada Allah. Sebab mencapai jalan ini mustahil selain dari Allah Sendiri. Pijakan pertamanya, adalah tanpa pijakan itu sendiri, untuk mendapatkan Cahaya DzatNya. Mereka ini disembunyikan dari hamba-hamba-Nya, karena ia dianugerahi rasa cinta terhadap ketersembunyian. Segala amal-amal yang shaleh sangat kecil di matanya, sementara yang terlihat agung adalah Tuhannya bumi dan langit.
Ketika dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba mereka mendapati dirinya berpakaian baju ilmu. Lalu mereka memandang, tetapi yang tampak, mereka itu bukan mereka. Lantas ia tertimpa suatu kegelapan yang menyembunyikan pandangan mereka, bahkan wahananya menjadi wahana tiada, tanpa sebab-akibat. Seluruh aturan sebab akibat terhempas, dan seluruh yang disebut sebagai yang baru sirna tanpa sesuatu yang baru, bahkan tak ada wujud lagi.
Yang jelas justru tiada lagi, kecuali hanya Ketiadaan Murni itu sendiri, tanpa sebab dan akibat. Dan segala yang tanpa sebab langsung, berarti tidak ada obyek yang bisa dikenalnya. Segala yang yang bisa diketahui telah sirna, dan segala rumus telah musnah, sirna yang tidak diketahui kenapa dan bagaimana. Yang ada hanyalah “Substansi” yang ditunjukkan, bahwa Dia tiada bisa disifati dan tiada Sifat itu sendiri, bahkan tiada lagi Dzat. Segala Predikat, Asma’ dan Sifat telah sirna, maka tiada Nama, tiada Sifat dan tiada Dzat. Maka, muncullah “Yang” senantiasa Muncul, tiada sebab-akibat. Tetapi Dia menampakkan Rasia BatinNya, bagi DzatNya di dalam DzatNya, melalui pemunculan yang tiada awalnya. Namun Dia memandang dari DzatNya, bagi DzatNya, dengan DzatNya di dalam DzatNya.
Para hamba itu hidup melalui PemunculanNya dengan kehidupan yang tiada sebab-akibat di dalamnya. Lalu tampillah dengan seluruh Sifat-sifat yang Indah, yang tiada tahu mengapa dan bagaimana. Jadilah ia yang pertama muncul, tiada kemunculan sebelumnya. Lantas menemukan segala sesuatu bersama Sifat-sifat-Nya, kemudian muncullah cahayaNya di dalam cahayaNya.
Pertama-tama yang muncul adalah SirrNya (rahasia batin), lalu muncullah (melalui Sirr itu) qalbuNya, lantas muncul AmarNya melalui SirrNya di dalam SirrNya. Lalu muncullah segala dzat melaui AmarNya di dalam Cahaya al-Qalam melalui Cahaya al-Qalam.
Kemudian muncullah Akalnya dengan AmarNya dalam AmarNya, dan muncullah (dengan itu) ArasyNya di dalam Cahaya LauhNya dengan Cahaya Lauh itu sendiri. Lantas muncullah Ruhnya melalui Akalnya, dan melalui Ruhnya muncullah KursiNya di dalam Cahaya ArasyNya melalui Cahaya Arasy itu sendiri.
Lalu muncul nafsunya melalui qalbunya, lalu muncullah melalui nafsunyanya, orbit bagi kebajikan dan keburukan di dalam Cahaya HijabNya melalui Cahaya Hijab itu sendiri. Lalu muncul Jisim melalui nafsunya di dalam nafsunya, maka muncullulah melalui Jisim itu seluruh Jisim Alam Kasar baik di bumi maupun di langit.
Kesimpulannya, setiap alam kasar berada dalam Cahaya orbit melalui Cahaya orbit. Sehingga pijakan pertamanya bagi hamba tercinta yang sunyi ini adalah membuang diri pada ketiadaan, yaitu pembuangan dalam wahana tiada sebab akibat. Yaitu menghadap pada ketiadaan melalui pengguguran sifat awwaliyah, akhiriyah, dzahiriyah dan bathiniyah. Sehingga yang terjadi adalah menghadapkan sifat ketiadaan pada ketiadaan itu sendiri.
Arti sifat ketiadaan bagi ketiadaan itu adalah segala hal yang berakhir pada pangkal tiada aksioma sebab akibat. Yaitu menyaksikan Allah Ta’ala seperti tiada penyaksian yang berhubungan, tetapi tidak terpisah. Penyaksiaan yang tiada sedikitpun adanya peluang kealpaan, dimana dalil pembuktiannya tidak ada aksioma sebab akibat di dalamnya maupun baginya, yaitu penyaksian Ketiadaan Murni.
Arti dari tidak adanya pembuktian sebab akibat yaitu kelaziman tiadanya penyaksiaan terhadap makhluk-makhluk yang bisa disaksikan, kemudian secara berurutan, dari ketiadaan murni itu, yaitu Mabuk dalam Lupa yang abadi, bahkan lupa terhadap kehidupan yang ditunjukkan dalam wacana pada posisi ini.
Ternyata, jalan hamba ini adalah Jalan Luhur, atau apa yang disebut dengan terlempar ke dalam Lautan Dzat, lantas ia tiada, lalu dihidupkan dengan kehidupan yang baik, kemudian dipindahkan —tanpa harus pindah— ke Lautan Sifat, kemudian Lautan Amar Rabbany, kemudian Lautan Sirri, lalu Lautan al-Qalam yang masih asli, lantas Lautan Ruh, kemudian Lautan Qalbu, lalu Lautan Nafsu, lantas Lautan Kebajikan , kemudian ia ditemukan dengan Lautan Sirri, lalu dilempar ke Lautan Qolamiyah, lalu Lautan Lauhiyah, kemudian Lautan Arsyiyah, lantas Lautan Kursy, kemudian Lautan Hijabiyah, kemudian Lautan Falakiyah.
Ia dipertemukan dengan Lautan Sirri yang meliputi, kemudian dilempar ke Lautan Mulkiyah, lalu ke Lautan Abalisah (keiblisan), kemudian Lautan Jinsiyah, baru ke Lautan Unsiyah. Disana ia bertemu dengan Lautan Sirri, lalu dilemparkan ke Lautan Syurgawi, lalu Lautan Nirani (kenerakaan), kemudian dilempar ke Lautan Ihathah (keseluruhan yang meliputi) yaitu Lautan Sirri, lalu tenggelamlah di sana dalam ketenggelaman yang tidak keluar lagi selama-lamanya kecuali atas Izin-Nya. Bila Allah menghendaki ia diutus sebagai Abdal dari Rasul yang menghidupkan para hambaNya. Jika Dia berkehendak lain, Dia menutupinya. Dia bertindak sesuai dengan kehendakNya.
Setiap Lautan dari Lautan-lautan itu, meliputi berbagai Lautan di sana, dimana jika orang yang Shaleh Badal Rasul masuk di dalam Lautan paling kecil saja dari Lautan-lautan itu, pasti ia tenggelam di dalamnya dan tidak akan selamat lagi (mentas).
Semua itu merupakan gambaran Thariqat Umum dan Khusus. Hanya Allah Sendiri yang Terpuji.
Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily
PERLU diketahui bahwa pengetahuan yang menurut pemiliknya dianggap terpuji dan jelas, hal itu bisa dianggap gelap bagi ahli hakikat. Ahli hakikat ini adalah mereka yang menyelami Lautan Dzat dan kedalaman Sifat-sifat. Di sana, mereka tanpa memiliki imajinasi sama sekali. Dan mereka itulah kalangan Khos yang Luhur. Yaitu mereka yang menyertai martabat para Nabi dan Rasul, walau pun martabat para Nabi dan Rasul itu lebih mulia.
Sebab mereka ini mempunyai bagian dari martabat itu, karena tidak satu pun, baik Nabi maupun para Rasul, melainkan mempunyai pewaris dari ummat ini, dan setiap pewaris mempunyai bagian dari peninggalan warisannya. Nabi Saw, bersabda, “Para Ulama itu adalah pewaris para Nabi.”
Dan tentunya para pewaris itu memiliki kedudukan yang diketahui dari yang mewariskannya, dari segi pewarisan ilmu pengetahuan dan hikmah. Namun bukan dari segi perwujudan hakikat dan kondisi anugerah ruhani (al-maqam wal-haal). Sebab maqam para Nabi itu terlalu luhur untuk diraih oleh selain para Nabi sendiri, Sementara setiap pewaris mendapatkan sebagian maqam itu menurut warisan yang diterimanya. Karena Allah Swt, sudah berfirman,
“Niscaya benar-benar Kami utamakan sebagian Nabi atas sebagian yang lainnya”.
Begitu juga Allah memberikan posisi keutamaan para wali satu sama lainnya berbeda.
Para Nabi senantiasa bersama Pandangan Allah, dan setiap pandangan yang melimpah dari pandangan para Nabi akan tertuang menurut kadarnya. Sementara setiap Wali memiliki muatan yang spesifik, sehingga dunia Wali terbagi menjadi dua:
Satu bagian disebut sebagai wali pengganti para Nabi (Abdaalul Ambiya’)
Bagian kedua, adalah wali pengganti para Rasul (Abdaalur Rusul).
Abdal para Nabi disebut sebagai kaum Shalihun, sedangkan Abdal para Rasul disebut ash-Shiddiqun. Antara Shalihun dengan Shiddiqun, posisi keutamaannya sama dengan antara para Nabi dan Rasul. Maka ada yang meraih dari mereka (para Nabi), dan ada yang meraih dari mereka (para Rasul) pula.
Hanya saja diantara mereka itu adala kelompok khusus yang mendapatkan substansi materi ruhaniyah langsung dari Rasulullah Saw, yang mereka saksikan dengan pandangan yakin yang nyata. Tetapi jumlah kelompok sedikit, namun dalam jumlah perwujudan hakikatnya cukup banyak.
Setiap Nabi dan Wali selalu bermula dari substansi Rasulullah Saw. Karena diantara para Wali itu ada yang menyaksikan dengan pandangannya, dan sebagian mereka yang ada yang tersembunyikan pandangan dan substansi materinya. Mereka malah fana’ dalam anugerah yang turun padanya dan tidak tersibukkan dengan mencari substansi materi ruhaniyahnya itu, bahkan, mereka itu tenggelam dalam anugerah ruhani (haal) sampai tidak lagi melihat selain waktunya belaka.
Diantara mereka ada yang terlimpahi melalui Nur Ilahi, sehingga mereka dapat memandang melalui cahayaNya itu, dan mengenal urusannya secara nyata. Dan yang demikian itu merupakan karomah bagi mereka, yang tidak bisa diingkari kecuali oleh mereka yang memang mengingkari karomah para Wali. Kita semua mohon perlindungan dari keingkaran terhadap sesuatu setelah kita mengenal sesuatu itu. Mereka itu menempuh Thariqat yang tidak ditempuh oleh yang lainnya.
Sebab jalan penempuhan (Thariqat) itu ada dua. Thariqat bagi kalangan Khos, dan Thariqat bagi kalangan publik thariqah (umum).
Dimaksud dengan Thariqat Khos itu, adalah jalan yang ditempuh oleh kalangan yang Dicintai Allah (al-Mahbubin), yang merupakan Abdal para Rasul. Sedangkan Thariqat Umum adalah Thariqat yang ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin), yaitu Abdal para Nabi. Semoga Salam Sejahtera bagi mereka semua.
Thariqat Khos adalah Thariqat yang sangat khusus yang sulit dicerna akal biasa, dan langka sekali yang mampu menguraikan substansinya. Bagi Anda cukup dengan Thariqat Umum, yaitu jalan penempuhan melalui satu tahap ke tahap lainnya yang lebih luhur hingga sampai pada suatu tahap tertentu, yaitu , “tempat duduk yang benar di sisi Raja Yang Maha Berkuasa”.
Jejak pertama yang harus dtempuh oleh seorang pecinta (al-Muhibb) adalah menaiki suatu tahap ke tahap yang lebih tinggi, yaitu diawali dengan riyadhoh Nafsu.
Ia tersibukkan oleh sebab akibat di sana dan bagaimana seseorang mengolah (riyadhoh) nafsunya (mengendalikannya) sampai tangga kema’rifatan.
Manakala ia telah mencapai tahap ma’rifat dan meraih hakikat di sana, ia akan mendapatkan pencerahan cahaya di tahap kedua, yaitu Qalbu.
Dalam tahap ini ia berada dalam kesibukan “bersiasat” (aturan) dalam dunia ma’rifatnya qalbu. Manakala tidak ada lagi yang tersisa tahapannya, ia menaiki tangga ketiga, yaitu Ruh.
Lalu ia bersibuk diri dengan Siasat Ruh dan kema’rifatannya. Apabila ma’rifatnya sudah sempurna maka sedikit demi sedikit mengalirlah cahaya-cahaya yaqin, sampai pandangannya lupa dengan luapan-luapan cahaya itu, sampai yakinnya benar-benar jelas, sehingga ia tidak lagi mampu berfikir terhadap pencahayaan tiga tahap yang secelumnya itu.
Maka disanalah ia bebas berhasrat sesuai dengan kehendak Allah . Lalu Allah melimpahkan melalui Nur Akaly yang asli dalam Nur Yaqin. Lalu ia menyaksikan Maujud tanpa batas dan pangkal akhir, jika disandarkan pada si hamba tersebut. Sehingga lenyaplah seluruh jagad ini didalamnya.
Kadang-kadang seperti tabung yang terlihat di udara melalui cahaya matahari, maka, ketika cahaya matahari itu membakar, tabung itu tidak lagi tampak bekasnya.
”Matahari” itu ibarat akal langsung, yang bisa memperlihatkan obyek, setelah terpenuhi oleh materi cahaya yaqin. Apabila seluruh cahaya itu lenyap, maka seluruh jagad itu sirna pula, dan yang ada hanyalah yang maujud ini. Kadang tampak ada, kadang sirna, sampai ketika ia menghendaki kesempurnaan, ia dipanggil oleh panggilan yang lembut, tanpa suara, yang hanya bisa difahami saja. Hanya saja yang bisa menyaksikan selain Allah, tiada sesuatu yang lain selain Allah. Maka, disitulah ia bangun dan sadar dari “mabuk”nya. Lalu bermunajat, “Oh Tuhan, tolonglah daku…., Duh Gusti, tolonglah aku…sungguh aku telah musnah…”
Dari sana ia tahu dengan seyakin-yakinnya, bahwa siapapun tidak bisa selamat dari lautan itu melainkan karena pertolongan Allah Swt. Disaat seperti itu dikatakan padanya, “Maujud ini adalah Akal, seperti yang disabdakan Rasulullah Saw, bahwa yang pertamakali diciptakan oleh Allah adalah akal.” Pada hadits lain dijelaskan, “Allah berfirman pada akal itu, ‘Menghadaplah!’ dan akal itu pun menghadap.”
Hamba ini lantas dianugerahi rasa hina dan keselamatan melalui Cahaya Maujud itu, sebab batas dan ukurannya tiada terkira, sehingga ia tak mampu mengenalnya. Dikatakan padanya, “Betapa jauhnya, batas itu tidak bisa dikenal kecuali bersama Allah.”
Lantas Allah Yang Maha Agung nan Luhur memberikan petunjuk melalui Cahaya Asma’-Nya, muncullah bagai sekelebat kedipan mata, atau seperti yang dikehendaki-Nya (Kami mengangkat derajat orang yang Kami kehendaki), kemudian Allah melimpahkannya melalui Cahaya Ruh Rabbany, lalu ia pun mengenal Maujud ini. Hamba tadi naik ke medan Ruh Rabbany, tiba-tiba sirna seluruh riasan keindahan yang menyertainya, lalu secara otomatis ia tersunyikan, tinggalah segala yang ada ini menjadi Maujud.
Kemudian Allah menghidupkannya melalui Cahaya Sifat-sifatNya, lalu dengan kehidupan itu Allah menaikkan ke dalam pengenalan Maujud Rabbany itu.
Ketika hamba terurai dari dasar-dasar SifatNya, hampir-hampir ia sebut “Dialah Allah”. Tiba-tiba ia ditemui oleh Pertolongan Azaly, lalu muncul panggilan, “Ingatlah! Bahwa maujud itu adalah yang tiada boleh disifati oleh siapa pun, tidak boleh pula dimengerti melalui ibarat apa pun melalui Sifat-sifatNya kecuali hanya oleh ahlinya, namun melalui cahaya lain untuk mengenalnya.”
Kemudian Allah Swt, melimpahkannya melalui Cahaya Sirr Ruh (rahasia batin Ruh), tiba-tiba ia sudah duduk di pintu medan Sirr. Hasratnya mengembang untuk mengenal Maujud itu yang tidak lain adalah Sirr itu sendiri. Namun, ia telah buta untuk mengenalnya, lalu seluruh sifat-sifatnya sirna, seakan-akan tak ada sesuatu pun padanya. Kemudian Allah Swt, melimpahkan Cahaya DzatNya, dengan limpahan Kehidupan Keabadian yang tiada hingga.
Semua yang diketahui memandang dengan Cahaya Kehidupan ini, lantas seluruh penghuni Maujud ini menjadi Cahaya yang memancar pada segala yang ada, tidak lagi ada yang bisa disaksikan selain Dia. Muncullah panggilan dari jarak yang sangat dekat saat itu: “Janganlah terpedaya dalam menuju Allah, karena yang Dicintai justru yang terhijab dari Allah, dengan Allah. Sebab mustahil Allah dihijabi oleh selain Allah.”
Lalu ia hidup dengan kehidupan yang dititipkan oleh Allah di dalamnya. Hamba itu lalu berkata, “Duh, Gusti….BesertaMu, DariMu, KepadaMu, betapa tak berdayanya daku. Sesungguhnya aku memohon perlindungan padaMu dariMu, sampai aku tidak melihat lagi selain DiriMu.”
Itulah jalan yang tanjakan menuju Hadirat Allah Yang Luhur, yaitu jalan ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin), sebagai para Badal Nabi. Sedangkan yang dianugerahkan pada salah seorang dari mereka setelah itu, tak satu pun orang yang bisa mengukur atau mendeskripsikannya. Segala Puji hanya bagi Allah, atas segala nikmat-nikmatNya, dan shalawat serta salam semoga terlimpah pada Kanjeng Nabi Muhammad pengunci para NabiNya.
Sedangkan Thariqat kalangan Mahbubin (mereka yang dicintai-Nya) adalah langsung dari Allah, kepada Allah. Sebab mencapai jalan ini mustahil selain dari Allah Sendiri. Pijakan pertamanya, adalah tanpa pijakan itu sendiri, untuk mendapatkan Cahaya DzatNya. Mereka ini disembunyikan dari hamba-hamba-Nya, karena ia dianugerahi rasa cinta terhadap ketersembunyian. Segala amal-amal yang shaleh sangat kecil di matanya, sementara yang terlihat agung adalah Tuhannya bumi dan langit.
Ketika dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba mereka mendapati dirinya berpakaian baju ilmu. Lalu mereka memandang, tetapi yang tampak, mereka itu bukan mereka. Lantas ia tertimpa suatu kegelapan yang menyembunyikan pandangan mereka, bahkan wahananya menjadi wahana tiada, tanpa sebab-akibat. Seluruh aturan sebab akibat terhempas, dan seluruh yang disebut sebagai yang baru sirna tanpa sesuatu yang baru, bahkan tak ada wujud lagi.
Yang jelas justru tiada lagi, kecuali hanya Ketiadaan Murni itu sendiri, tanpa sebab dan akibat. Dan segala yang tanpa sebab langsung, berarti tidak ada obyek yang bisa dikenalnya. Segala yang yang bisa diketahui telah sirna, dan segala rumus telah musnah, sirna yang tidak diketahui kenapa dan bagaimana. Yang ada hanyalah “Substansi” yang ditunjukkan, bahwa Dia tiada bisa disifati dan tiada Sifat itu sendiri, bahkan tiada lagi Dzat. Segala Predikat, Asma’ dan Sifat telah sirna, maka tiada Nama, tiada Sifat dan tiada Dzat. Maka, muncullah “Yang” senantiasa Muncul, tiada sebab-akibat. Tetapi Dia menampakkan Rasia BatinNya, bagi DzatNya di dalam DzatNya, melalui pemunculan yang tiada awalnya. Namun Dia memandang dari DzatNya, bagi DzatNya, dengan DzatNya di dalam DzatNya.
Para hamba itu hidup melalui PemunculanNya dengan kehidupan yang tiada sebab-akibat di dalamnya. Lalu tampillah dengan seluruh Sifat-sifat yang Indah, yang tiada tahu mengapa dan bagaimana. Jadilah ia yang pertama muncul, tiada kemunculan sebelumnya. Lantas menemukan segala sesuatu bersama Sifat-sifat-Nya, kemudian muncullah cahayaNya di dalam cahayaNya.
Pertama-tama yang muncul adalah SirrNya (rahasia batin), lalu muncullah (melalui Sirr itu) qalbuNya, lantas muncul AmarNya melalui SirrNya di dalam SirrNya. Lalu muncullah segala dzat melaui AmarNya di dalam Cahaya al-Qalam melalui Cahaya al-Qalam.
Kemudian muncullah Akalnya dengan AmarNya dalam AmarNya, dan muncullah (dengan itu) ArasyNya di dalam Cahaya LauhNya dengan Cahaya Lauh itu sendiri. Lantas muncullah Ruhnya melalui Akalnya, dan melalui Ruhnya muncullah KursiNya di dalam Cahaya ArasyNya melalui Cahaya Arasy itu sendiri.
Lalu muncul nafsunya melalui qalbunya, lalu muncullah melalui nafsunyanya, orbit bagi kebajikan dan keburukan di dalam Cahaya HijabNya melalui Cahaya Hijab itu sendiri. Lalu muncul Jisim melalui nafsunya di dalam nafsunya, maka muncullulah melalui Jisim itu seluruh Jisim Alam Kasar baik di bumi maupun di langit.
Kesimpulannya, setiap alam kasar berada dalam Cahaya orbit melalui Cahaya orbit. Sehingga pijakan pertamanya bagi hamba tercinta yang sunyi ini adalah membuang diri pada ketiadaan, yaitu pembuangan dalam wahana tiada sebab akibat. Yaitu menghadap pada ketiadaan melalui pengguguran sifat awwaliyah, akhiriyah, dzahiriyah dan bathiniyah. Sehingga yang terjadi adalah menghadapkan sifat ketiadaan pada ketiadaan itu sendiri.
Arti sifat ketiadaan bagi ketiadaan itu adalah segala hal yang berakhir pada pangkal tiada aksioma sebab akibat. Yaitu menyaksikan Allah Ta’ala seperti tiada penyaksian yang berhubungan, tetapi tidak terpisah. Penyaksiaan yang tiada sedikitpun adanya peluang kealpaan, dimana dalil pembuktiannya tidak ada aksioma sebab akibat di dalamnya maupun baginya, yaitu penyaksian Ketiadaan Murni.
Arti dari tidak adanya pembuktian sebab akibat yaitu kelaziman tiadanya penyaksiaan terhadap makhluk-makhluk yang bisa disaksikan, kemudian secara berurutan, dari ketiadaan murni itu, yaitu Mabuk dalam Lupa yang abadi, bahkan lupa terhadap kehidupan yang ditunjukkan dalam wacana pada posisi ini.
Ternyata, jalan hamba ini adalah Jalan Luhur, atau apa yang disebut dengan terlempar ke dalam Lautan Dzat, lantas ia tiada, lalu dihidupkan dengan kehidupan yang baik, kemudian dipindahkan —tanpa harus pindah— ke Lautan Sifat, kemudian Lautan Amar Rabbany, kemudian Lautan Sirri, lalu Lautan al-Qalam yang masih asli, lantas Lautan Ruh, kemudian Lautan Qalbu, lalu Lautan Nafsu, lantas Lautan Kebajikan , kemudian ia ditemukan dengan Lautan Sirri, lalu dilempar ke Lautan Qolamiyah, lalu Lautan Lauhiyah, kemudian Lautan Arsyiyah, lantas Lautan Kursy, kemudian Lautan Hijabiyah, kemudian Lautan Falakiyah.
Ia dipertemukan dengan Lautan Sirri yang meliputi, kemudian dilempar ke Lautan Mulkiyah, lalu ke Lautan Abalisah (keiblisan), kemudian Lautan Jinsiyah, baru ke Lautan Unsiyah. Disana ia bertemu dengan Lautan Sirri, lalu dilemparkan ke Lautan Syurgawi, lalu Lautan Nirani (kenerakaan), kemudian dilempar ke Lautan Ihathah (keseluruhan yang meliputi) yaitu Lautan Sirri, lalu tenggelamlah di sana dalam ketenggelaman yang tidak keluar lagi selama-lamanya kecuali atas Izin-Nya. Bila Allah menghendaki ia diutus sebagai Abdal dari Rasul yang menghidupkan para hambaNya. Jika Dia berkehendak lain, Dia menutupinya. Dia bertindak sesuai dengan kehendakNya.
Setiap Lautan dari Lautan-lautan itu, meliputi berbagai Lautan di sana, dimana jika orang yang Shaleh Badal Rasul masuk di dalam Lautan paling kecil saja dari Lautan-lautan itu, pasti ia tenggelam di dalamnya dan tidak akan selamat lagi (mentas).
Semua itu merupakan gambaran Thariqat Umum dan Khusus. Hanya Allah Sendiri yang Terpuji.
Menyingkap Murid tamat berguru
Murid yang Tamat Berguru
Berikut adalah cerita sufi tentang seorang murid yang telah tamat berguru. Cerita ini seringkali disampaikan oleh Guru saya kepada murid-muridnya. Biasanya cerita ini disampaikan kepada murid-murid yang masih tinggal bersama Beliau di Surau.
Suatu ketika anak surau yang berjumlah 35 orang itu dikumpulkan. Maklum, para pengabdi itu pun sudah dewasa dan mereka juga memikirkan ujung pengabdian. Mereka harus ke mana, mereka harus hidup berumah tangga, mencari pekerjaan dan lain-lain. Guru bila bercerita sangat menarik, mempesona dan membuat pendengar tak bergerak. Guru berkata, “Ada murid yang baru tamat berguru lalu ia pulang ke rumahnya. Di tengah jalan dilihatnya ada seorang putri raja yang aduhai cantiknya, sang putri sedang duduk di depan rumahnya yang indah. Si murid ini sangat terpesona dan tertarik dengan paras cantik putri itu. Dalam hatinya ia berkata, “Alangkah eloknya jika ia jadi istri dan pendamping hidup saya…?”
Terangan-angan paras gadis sampai di rumahnya, ia berkata kepada ibunya, “Ibu, anak gadis yang saya jumpai di rumah indah di pinggir jalan itu apa sudah ada yang punya?” Ibu menjawab, “Apa maksudnya?” ujar ibu menimpali pertanyaan anaknya. Anaknya berkata, “Kalau belum ada yang punya, tolong ibu lamarkan untuk saya.” “Sadar nak” begitu sergah ibunya. “Dia putri raja, kaya raya, sedangkan engkau anak orang biasa dan miskin.”
Untuk tidak mengecewakan anaknya yang baru lulus berguru dan pantas menikah itu. Sebagai ibu yang bijaksana, sang ibu pergi mencoba bertanya. Ia pergi ke rumah gadis tersebut. Maka ibu mengetok pintu sambil mengucap salam “Assalamu’alaikum!” “Wa’alaikum salam”, jawab tuan rumah. “Ada apa bu?” kata tuan rumah. “Ini anak saya kemarin lewat di depan rumah raja kebetulan dilihatlah olehnya seorang gadis manis putri raja dan ia merasa tertarik. Si anak baru tamat berguru pada wali Allah (tidak disebut nama si wali), dan maksud kedatangan hamba kemari ingin melamar anak gadis raja itu, bila raja berkenan dan bila putri itu belum ada yang punya!”
Raja memang bijaksana, untuk menolak dengan terang-terangan dan supaya tidak menyakiti hati sebagian rakyatnya ia menjawab, “Oh, ibu mau melamar untuk anak ibu. Begini bu, saya tidak bisa memutuskan sendiri, apakah lamaran itu diterima atau tidak. Karena ini adalah masalah Negara maka saya akan panggil dan mengumpulkan semua menteri untuk memutuskan hal ini. Dan ibu sebaiknya pulang dulu dan barang seminggu sudah ada keputusan.”
Sesampainya di rumah, si anak bertanya “Bagaimana bu, beritanya?” “Oh tunggu seminggu lagi nak, karena raja tidak bisa memutuskan seorang diri maka raja akan panggil menteri-menterinya untuk membahas masalah ini.” Raja memanggil menteri-menteri dan memberitahukan bahwa anak si ibu yang bernama Fulana telah datang menemui raja dengan maksud ingin melamarkan si anak pada putri raja dan bagaimana caranya supaya lamaran di tolak, dengan tidak menyakiti hati ibunya.” “Ah itu mudah raja” jawab menteri. “Buat saja persyaratan yang berat kepadanya yang sekiranya tidak dapat dipenuhi.” “Nah apa itu?” kata raja. “Minta saja tujuh buah mutiara sebesar telur, pasti ia tidak akan bisa memenuhi dan karena itu persyaratan untuk mempersunting putri raja menjadi gagal.” “Wah pandai kau menteri. Aku setuju dengan caramu itu, nanti akan aku katakan pada ibu si anak itu jika ia datang ke sini untuk menanyakan keputusan raja.” Benar saja seminggu kemudian pintu raja terketuk dan terdengar “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam”, pintu dibukakan dan si ibu pun dipersilakan masuk untuk menanyakan bagaimana kabar beritanya. “Begini, lamaran ibu diterima asalkan anak ibu menyiapkan tujuh butir mutiara sebesar telur lalu diserahkan pada raja. Itu persyaratannya.” jelas raja. “Kalau begitu saya beritahukan pada anak saya, sanggup atau tidak.” jawab ibu. “Oh ya, ya silakan.”
Si ibu pun pulang dari rumah raja, di pintu dia sudah disambut oleh anak itu sambil bertanya, ”Bagaimana kabarnya bu?” ”Aduh itu nak, tujuh turunan dari kakek sampai anak cucu, mencari duit untuk tidak dibuat makan, tatapi dibuat untuk membeli tujuh butir mutiara sebesar telur ayam itu tidak akan bisa terkumpul.” “Oh itu rupanya yang menjadi persyaratan diterimanya lamaran saya Bu?” “Betul nak, itu mana mungkin.” “Ah, Itu soal kecil, Bu!” tanggap anaknya. “Ha, soal kecil?” ibunya terheran. “Allah Ta’ala kan kaya bu” kata si anak, dan si ibu dibuat bingung mendengarnya. Si anak berkata, “Mutiara sebesar dan sebanyak itu hanya ada di Laut Cina Selatan.”
Diam-diam si anak keluar dengan membawa tempurung kelapa dan pergi ke Laut Cina Selatan. Dia kuras laut itu dengan batok kelapa (tempurung kelapa) sambil membaca: laa ilaaha illa Allah pada tiap kurasan, sehingga hampir habis air laut itu(secara gaib). Tiba-tiba geger penghuni-penghuni laut, berupa jin-jin penjaga laut itu dan mereka berteriak, “Stop…stop…! jangan kau teruskan nanti kering laut ini dan matilah anak buah kami. Sebenarnya apa yang engkau cari?” “Saya akan mencari tujuh butir mutiara sebesar telur ayam dan mutiara itu hanya ada di laut ini. Karena itu saya harus menguras dan mengeringkan laut ini.” begitu kata si murid wali itu dengan tegas.
Panglima jin penghuni laut itu berkata, “Kalau soal itu gampang, nanti saya akan memerintahkan anak buahku untuk mencari mutiara-mutiara itu dengan menyelami laut ini, dan tidak usah kau teruskan untuk menguras laut.” “Nah kalau kau sudah menjamin begitu, baiklah akan saya hentikan menguras laut ini.” Sesaat kemudian anak buah penghuni Laut Cina Selatan itu diperintahkan menyelam ke dasar laut sampai ditemukan ketujuh batu mutiara, lalu oleh penghulu jin mutiara itu disampaikan pada anak tadi dan ketujuh butir mutiara itu dibawa pulang oleh anak tadi.
Sesampainya di rumah, ibu menyapa “Sudah datang nak?” “Ya sudah datang dan ini tujuh buah mutiara yang diminta raja” kata anaknya. Oleh ibunya ketujuh butir mutiara itu di ambil dan ditimang-timang, dibalik-balik setengah tidak percaya. Lalu si anak menyeletuk, “Itu mutiara asli, bukan batu atau plastik bu!” meyakinkan pada ibunya. Sang ibu pun terdiam.
Esok harinya si ibu mengantarkan ketujuh butir mutiara itu kehadapan raja.” Assalamu’alaiku” “Wa’alaikum salam. Apa kabar bu?” “Kabar baik, dan ini tujuh butir mutiara yang raja minta dari anak saya, saya disuruh untuk mengantarkannya ke hadapan raja dan menyerahkannya.
Ketujuh butir mutiara itu pun diterima oleh raja, si raja terbelalak kedua matanya, terheran-heran hampir tidak percaya, seolah-olah dalam mimpi saja. Di balik-balik mutiara-mutiara itu, terheran melebihi kehendaknya. Raja terkagum diam. lalu si ibu berkata, “Tak usah khawatir raja, itu asli mutiara, bukan palsu, batu, atau plastik mainan, kata anak saya.” Raja pun terhentak dan akhirnya perkawinan pun dilaksanakan.
Berikut adalah cerita sufi tentang seorang murid yang telah tamat berguru. Cerita ini seringkali disampaikan oleh Guru saya kepada murid-muridnya. Biasanya cerita ini disampaikan kepada murid-murid yang masih tinggal bersama Beliau di Surau.
Suatu ketika anak surau yang berjumlah 35 orang itu dikumpulkan. Maklum, para pengabdi itu pun sudah dewasa dan mereka juga memikirkan ujung pengabdian. Mereka harus ke mana, mereka harus hidup berumah tangga, mencari pekerjaan dan lain-lain. Guru bila bercerita sangat menarik, mempesona dan membuat pendengar tak bergerak. Guru berkata, “Ada murid yang baru tamat berguru lalu ia pulang ke rumahnya. Di tengah jalan dilihatnya ada seorang putri raja yang aduhai cantiknya, sang putri sedang duduk di depan rumahnya yang indah. Si murid ini sangat terpesona dan tertarik dengan paras cantik putri itu. Dalam hatinya ia berkata, “Alangkah eloknya jika ia jadi istri dan pendamping hidup saya…?”
Terangan-angan paras gadis sampai di rumahnya, ia berkata kepada ibunya, “Ibu, anak gadis yang saya jumpai di rumah indah di pinggir jalan itu apa sudah ada yang punya?” Ibu menjawab, “Apa maksudnya?” ujar ibu menimpali pertanyaan anaknya. Anaknya berkata, “Kalau belum ada yang punya, tolong ibu lamarkan untuk saya.” “Sadar nak” begitu sergah ibunya. “Dia putri raja, kaya raya, sedangkan engkau anak orang biasa dan miskin.”
Untuk tidak mengecewakan anaknya yang baru lulus berguru dan pantas menikah itu. Sebagai ibu yang bijaksana, sang ibu pergi mencoba bertanya. Ia pergi ke rumah gadis tersebut. Maka ibu mengetok pintu sambil mengucap salam “Assalamu’alaikum!” “Wa’alaikum salam”, jawab tuan rumah. “Ada apa bu?” kata tuan rumah. “Ini anak saya kemarin lewat di depan rumah raja kebetulan dilihatlah olehnya seorang gadis manis putri raja dan ia merasa tertarik. Si anak baru tamat berguru pada wali Allah (tidak disebut nama si wali), dan maksud kedatangan hamba kemari ingin melamar anak gadis raja itu, bila raja berkenan dan bila putri itu belum ada yang punya!”
Raja memang bijaksana, untuk menolak dengan terang-terangan dan supaya tidak menyakiti hati sebagian rakyatnya ia menjawab, “Oh, ibu mau melamar untuk anak ibu. Begini bu, saya tidak bisa memutuskan sendiri, apakah lamaran itu diterima atau tidak. Karena ini adalah masalah Negara maka saya akan panggil dan mengumpulkan semua menteri untuk memutuskan hal ini. Dan ibu sebaiknya pulang dulu dan barang seminggu sudah ada keputusan.”
Sesampainya di rumah, si anak bertanya “Bagaimana bu, beritanya?” “Oh tunggu seminggu lagi nak, karena raja tidak bisa memutuskan seorang diri maka raja akan panggil menteri-menterinya untuk membahas masalah ini.” Raja memanggil menteri-menteri dan memberitahukan bahwa anak si ibu yang bernama Fulana telah datang menemui raja dengan maksud ingin melamarkan si anak pada putri raja dan bagaimana caranya supaya lamaran di tolak, dengan tidak menyakiti hati ibunya.” “Ah itu mudah raja” jawab menteri. “Buat saja persyaratan yang berat kepadanya yang sekiranya tidak dapat dipenuhi.” “Nah apa itu?” kata raja. “Minta saja tujuh buah mutiara sebesar telur, pasti ia tidak akan bisa memenuhi dan karena itu persyaratan untuk mempersunting putri raja menjadi gagal.” “Wah pandai kau menteri. Aku setuju dengan caramu itu, nanti akan aku katakan pada ibu si anak itu jika ia datang ke sini untuk menanyakan keputusan raja.” Benar saja seminggu kemudian pintu raja terketuk dan terdengar “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam”, pintu dibukakan dan si ibu pun dipersilakan masuk untuk menanyakan bagaimana kabar beritanya. “Begini, lamaran ibu diterima asalkan anak ibu menyiapkan tujuh butir mutiara sebesar telur lalu diserahkan pada raja. Itu persyaratannya.” jelas raja. “Kalau begitu saya beritahukan pada anak saya, sanggup atau tidak.” jawab ibu. “Oh ya, ya silakan.”
Si ibu pun pulang dari rumah raja, di pintu dia sudah disambut oleh anak itu sambil bertanya, ”Bagaimana kabarnya bu?” ”Aduh itu nak, tujuh turunan dari kakek sampai anak cucu, mencari duit untuk tidak dibuat makan, tatapi dibuat untuk membeli tujuh butir mutiara sebesar telur ayam itu tidak akan bisa terkumpul.” “Oh itu rupanya yang menjadi persyaratan diterimanya lamaran saya Bu?” “Betul nak, itu mana mungkin.” “Ah, Itu soal kecil, Bu!” tanggap anaknya. “Ha, soal kecil?” ibunya terheran. “Allah Ta’ala kan kaya bu” kata si anak, dan si ibu dibuat bingung mendengarnya. Si anak berkata, “Mutiara sebesar dan sebanyak itu hanya ada di Laut Cina Selatan.”
Diam-diam si anak keluar dengan membawa tempurung kelapa dan pergi ke Laut Cina Selatan. Dia kuras laut itu dengan batok kelapa (tempurung kelapa) sambil membaca: laa ilaaha illa Allah pada tiap kurasan, sehingga hampir habis air laut itu(secara gaib). Tiba-tiba geger penghuni-penghuni laut, berupa jin-jin penjaga laut itu dan mereka berteriak, “Stop…stop…! jangan kau teruskan nanti kering laut ini dan matilah anak buah kami. Sebenarnya apa yang engkau cari?” “Saya akan mencari tujuh butir mutiara sebesar telur ayam dan mutiara itu hanya ada di laut ini. Karena itu saya harus menguras dan mengeringkan laut ini.” begitu kata si murid wali itu dengan tegas.
Panglima jin penghuni laut itu berkata, “Kalau soal itu gampang, nanti saya akan memerintahkan anak buahku untuk mencari mutiara-mutiara itu dengan menyelami laut ini, dan tidak usah kau teruskan untuk menguras laut.” “Nah kalau kau sudah menjamin begitu, baiklah akan saya hentikan menguras laut ini.” Sesaat kemudian anak buah penghuni Laut Cina Selatan itu diperintahkan menyelam ke dasar laut sampai ditemukan ketujuh batu mutiara, lalu oleh penghulu jin mutiara itu disampaikan pada anak tadi dan ketujuh butir mutiara itu dibawa pulang oleh anak tadi.
Sesampainya di rumah, ibu menyapa “Sudah datang nak?” “Ya sudah datang dan ini tujuh buah mutiara yang diminta raja” kata anaknya. Oleh ibunya ketujuh butir mutiara itu di ambil dan ditimang-timang, dibalik-balik setengah tidak percaya. Lalu si anak menyeletuk, “Itu mutiara asli, bukan batu atau plastik bu!” meyakinkan pada ibunya. Sang ibu pun terdiam.
Esok harinya si ibu mengantarkan ketujuh butir mutiara itu kehadapan raja.” Assalamu’alaiku” “Wa’alaikum salam. Apa kabar bu?” “Kabar baik, dan ini tujuh butir mutiara yang raja minta dari anak saya, saya disuruh untuk mengantarkannya ke hadapan raja dan menyerahkannya.
Ketujuh butir mutiara itu pun diterima oleh raja, si raja terbelalak kedua matanya, terheran-heran hampir tidak percaya, seolah-olah dalam mimpi saja. Di balik-balik mutiara-mutiara itu, terheran melebihi kehendaknya. Raja terkagum diam. lalu si ibu berkata, “Tak usah khawatir raja, itu asli mutiara, bukan palsu, batu, atau plastik mainan, kata anak saya.” Raja pun terhentak dan akhirnya perkawinan pun dilaksanakan.
MURSYID DALAM TAREKAT
Mursyid Dalam Tarekat
Allah Swt. berfirman:
"Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid" (Al-Qur´an).
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur´an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya´rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.
Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah "dunia ilmu", yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma´rifat itu sendiri.
Jalan ma´rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: "Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan".
Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.
Sebagaimana ayat al-Qur´an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma´rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.
Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.
Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.
Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha´at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur´an disebutkan:
"Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah."
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.
Dalam kitab Al-Mafaakhirul ´Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ´Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya´ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak - minimal -ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan - ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, "Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu."
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, "Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah".
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.
Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.
Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.
Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara´ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba´ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana´ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.
Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra´ dan Mi´raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya´rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam "Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma´rifati Qawa´idus Shufiyah".
Allah Swt. berfirman:
"Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid" (Al-Qur´an).
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur´an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya´rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.
Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah "dunia ilmu", yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma´rifat itu sendiri.
Jalan ma´rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: "Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan".
Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.
Sebagaimana ayat al-Qur´an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma´rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.
Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.
Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.
Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha´at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur´an disebutkan:
"Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah."
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.
Dalam kitab Al-Mafaakhirul ´Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ´Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya´ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak - minimal -ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan - ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, "Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu."
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, "Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah".
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.
Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.
Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.
Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara´ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba´ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana´ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.
Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra´ dan Mi´raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya´rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam "Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma´rifati Qawa´idus Shufiyah".
ORANG SUFI ANTI SURGA DAN TIDAK TAKUT NERAKA
ORANG SUFI ANTI SURGA DAN TIDAK TAKUT NERAKA
Diantara tuduhan yang dilontarkan kepada kaum Sufi, bahwa dalam tasawuf, seorang Sufi itu tidak mau syurga dan tidak takut neraka. Padahal Rasulullah pernah berharap syurga dan dihindarkan dari neraka. Rasulullah paripurna saja masih demikian, kenapa kaum Sufi enggan dengan syurga dan tidak takut neraka?
Tuduhan dan pertanyaan berikutnya seputar syurga dan neraka, bahwa kaum Sufi dalam tujuannya untuk beribadah hanya kepada Allah, tidak menuju syurga dan tidak menghindar dari neraka, dianggap sebagai akidah yang salah. Padahal dalam ayat Al-Qur’an disebutkan, “Makan dan minumlah (di syurga) dengan nikmat yang disebabkan oleh amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari yang lampau….” (al-Haaqqah, 24) . Jadi kaum Sufi pandangannya bertentangan dengan ayat tersebut.
JAWABAN
Dalam Al-Qur’an dan Hadits soal syurga dan neraka disebut berkali-kali dalam berbagai ayat dan surat. Tentu saja, sebagai janji dan peringatan Allah swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits Nabi saw, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar formalisme ayat atau teks hadits saja.
Contoh soal rasa takut. Dalam Al-Qur’an disebut beberapa kali bentuk takut itu. Ada yang menggunakan kata Taqwa, ada yang menggunakan kata Khauf dan ada pula Khasyyah, dan berbagai bentuk kata yang ditampilkan Allah Ta’ala yang memiliki hubungan erat dengan bentuk takut itu sendiri, sesuai dengan kapasitas hamba dengan Allah Ta’ala. Makna takut dengan penyebutan yang berbeda-beda itu pasti memiliki dimensi yang berbeda pula, khususnya dalam responsi psikhologi keimanan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, berkaitan dengan frekwensi dan derajat keimanan seseorang.
Begitu juga kata Jannah dan Naar, syurga dan neraka. Penekanan-penekanan kata Naar dalam Al-Qur’an juga memiliki struktur hubungan yang berbeda. Naar disebutkan untuk orang kafir, memiliki tekanan berbeda dengan orang munafik, orang fasik, dan orang beriman yang ahli maksiat. Itu berarti berhubungan dengan kata Naar, yang disandarkan pada macam-macam ruang neraka: Ada Neraka Jahim, Neraka Jahanam, Neraka Sa’ir, Neraka Saqar, Neraka Abadi, dan penyebutan kata Naar yang tidak disandarkan pada sifat dan karakter neraka tertentu.
Jika Naar kita maknai secara gradual, justru menjadi zalim, karena faktanya tidak demikian. Hal yang sama jika para Sufi memahami Naar dari segi hakikatnya neraka, juga tidak bisa disalahkan. Apalagi jika seseorang memahami neraka itu sebagai api yang berkobar.
Kalimat Naar tanpa disandari oleh Azab, juga berbeda dengan Neraka yang ansickh belaka. Misalnya kalimat dalam ayat di surat Al-Baqarah, “Wattaqun Naar al-llaty waquduhannaasu wal-Hijarah” dengan ayat yang sering kita baca, “Waqinaa ‘adzaban-Naar,” memiliki dimensi berbeda. Ayat pertama, menunjukkan betapa pada umumnya manusia, karena didahului dengan panggilan Ilahi ”Wahai manusia”. Maka Allah langsung membuat ancaman serius dengan menyebutkan kata Naar. Tetapi pada doa seorang beriman, “Lindungi kami dari siksa neraka,” maknanya sangat berbeda. Karena yang terakhir ini berhubungan dengan kualifikasi keimanan hamba kepada Allah, bahwa yang ditakuti adalah Azabnya neraka, bukan apinya. Sebab api tanpa azab, jelas tidak panas, seperti api yang membakar Ibrahim as.
Oleh sebab itu, jika seorang Sufi menegaskan keikhlasan ubudiyahnya hanya kepada Allah, memang demikian perintah dan kehendak Allah. Bahwa seorang mukmin menyembah Allah dengan harapan syurga dan ingin dijauhkan neraka, dengan perpekstifnya sendiri, tentu kualifikasi keikhlasannya di bawah yang pertama. Dalam berbagai ayat mengenai Ikhlas, sebagai Ruh amal, disebutkan agar kita hanya menyembah Lillahi Ta’ala. Tetapi kalau punya harapan lain selain Allah termasuk di sana harapan syurga dan neraka, sebagai bentuk kenikmatan fisik dan siksa fisik, itu juga diterima oleh Allah. Namun, kualifikasinya adalah bentuk responsi mukmin pada syurga dan neraka paling rendah.
Semua mengenal bagaimana Allah membangun contoh dan perumpamaan, baik untuk menjelaskan dirinya, syurga maupun neraka. Kaum Sufi memilih perumpamaan paling hakiki, karena perumpamaan neraka yang paling rendah sudah dilampauinya. Sebagaimana kualitas moral seorang pekerja di perusahaan juga berbeda-beda, walau pun teknis dan cara kerjanya sama.
Orang yang bekerja hanya mencari uang dan untung, tidak boleh mencaci dan mengecam orang yang bekerja dengan motivasi mencintai pekerjaan dan mencintai direktur perusahaan tersebut. Walau pun cara bekerjanya sama, namun kualitas moral dan etos kerjanya yang berbeda. Bagi seorang direktur yang bijaksana, pasti ia lebih mencintai pekerja yang didasari oleh motivasi cinta yang luhur pada pekerjaan, perusahaan dan mencintai dirinya, disbanding para pekerja yang hanya mencari untung be laka, sehingga mereka bekerja tanpa ruh dan spirit yang luhur.
Karena itu syurga pun demikian. Persepsi syurga bagi kaum Sufi memiliki kualifikasi ruhani dan spiritual yang berbeda dengan persepsi syurga kaum awam biasa. Hal yang sama persepsi mengenai bidadari. Bagi kaum Sufi bidadari yang digambarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, adalah Tajalli (penampakan) sifat-sfat dan Asma Kemahaindahan Ilahi, yang tentu saja berbeda dengan kaum awam yang dipersepsi sebagai kenikmatan bilogis seksual-hewani.
Syurga bagi kaum Sufi adalah Ma’rifatullah dengan derajat kema’rifatan yang berbeda-beda. Karena nikmat tertinggi di syurga adalah Ma’rifat Dzatullah. Jadi kalimat Rabi’ah Adawiyah tentang ibadah tanpa keinginan syurga adalah syurga fisik dengan kenikmatan fisik yang selama ini kita persepsikan. Dan hal demikian memang bisa menjadi penghalang (hijab) antara hamba dengan Allah dalam prosesi kema’rifatan.
Bahkan Allah pun membagi-bagi syurga dengan symbol berbeda-beda, ada Jannatul Ma’wa, Jannatul Khuldi, Jannatun Na’im, Jannatul Firdaus, yang tentu saja menunjukkan kualifikasi yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah. Bagi orang beriman yang masih bergelimang dengan nafsunya, maka perspesi tentang nikmat syurga, adalah pantulan nafsu hewaninya dan syahwatnya, lalu persepsi kesenangan duniawi ingin dikorelasikan dengan rasa nikmat syurgawi yang identik dengan syahwatiyah.
Rabi’ah Adawiyah dan para Sufi lainnya ingin membersihkan jiwa dan hatinya dari segala bentuk dan motivasi selain Allah yang bisa menghambat perjalanan menuju kepada Allah. Dengan bahasa seni yang indah dan tajam, mereka hanya menginginkan Allah, bukan menginginkan makhluk Allah. Amaliyah di dunia sebagi visa syurga hanyalah untuk menentukan kualifikasi kesyurgawiannya, bukan sebagai kunci masuk syurganya. Karena hanya Fadhal dan RahmatNya saja yang menyebabkan kita masuk syurga. “karena Fadhal dan Rahmat itulah kamu sekalian bergembira…” Demikian dalam Al-Qur’an. Bukan gembira karena syurgaNya.
Syurga dan neraka adalah makhluk Allah. Apakah seseorang bisa wushul (sampai kepada) Allah, manakala perjalanannya dari makhluk menuju makhluk? Apakah itu tidak lebih dari sapi atau khimar yang menjalankan roda gilingan, yang berputar-putar terus menerus tanpa tujuan?
Nah anda bisa merenungkan sendiri, betapa tudingan-tudingan mereka yang anti tasawuf soal persepsi syurga dan neraka ini, bisa terbantahkan dengan sendirinya, tanpa harus berdebat lebih panjang.
Hanya mereka yang tolol dan bodoh saja, jika ada ucapan seperti ini dikecam habis, “Tuhanku, hanya engkau tujuanku, dan hanya ridloMulah yang kucari. Limpahkan Cinta dan Ma’rifatMu kepadaku…” Ucapan yang menjadi munajat para Sufi. Lalu mereka mengecam ucapan ini, sebagai bentuk anti syurga dan tak takut neraka?
Nasehat Guru,“Kalian Jangan Hanya Sekedar Menjadi Aksesoris!”
Suatu hari, menjelang pembukaan suluk, saya bersama 2 teman duduk menemani sambil melayani Guru makan. Hal yang menggembirakan bagi kami murid bisa menemani dan melayani Guru makan, mengatur makanan dan segela kebutuhan Beliau selama makan. Kami biasanya duduk dibawah memandang wajah Guru yang selalu memancarkan semangat. Menyenangkan karena kami diberi kesempatan untuk bisa berbuat kepada Beliau, Guru yang kami sayang dan kami cintai yang telah memberikan banyak kepada kami terutama telah mencerahkan ruhani dan pikiran kami. Seperti biasanya selesai makan Guru suka cerita dan memberikan nasehat baik mengenai Tasawuf maupun tentang kehidupan sehari-hari. Guru sering menanyakan kami satu persatu, tentang kerja, bisnis, keluarga dan lain-lain, kemudian Beliau memberikan nasehat dan jalan keluarnya.
Hari itu wajah Guru kelihatan gembira dan Beliau selesai makan cerita hal-hal yang menyenangkan termasuk cerita lucu yang membuat kami semakin senang. Ketika Guru selesai cerita, suasana hening. Teman seperguran saya memberikan diri bertanya kepada Guru.
“Mohon Ampun Guru, saya mau menanyakan sesuatu..”.
“Silahkan, apa yang mau kau tanyakan” kata Guru.
“Saya heran Guru, orang masuk (belajar) tarekat itu banyak, namun kenapa hanya sedikit orang yang benar-benar ber-iman dan bertahan di tarekat?”.
Sudah menjadi kebiasaan, Guru saya selalu memberikan jawaban yang bijaksana terhadap pertanyaan-pertanyaan muridnya. Dalam pandangan saya, bagi Guru tidak ada pertanyaan yang sulit, hal paling rumitpun dibuat menjadi mudah. Beliau diam sejenak, kemudian berkata :
“Kamu tahu aksesoris, hiasan atau pernak pernik untuk menghias dan memperindah sesuatu?”.
Serempak kami bertiga menjawab, “Tahu Guru!”.
Beliau melanjutkan, “Ambil contoh mobil, disana ada aksesoris, hiasan-hiasan yang membuat mobil itu lebih indah tampilannya dan aksesoris itu biasanya tergantung musim dan mengikuti tren, kalau zaman berubah maka aksesoris itu pun diganti oleh pemiliknya mengikuti musim dan zaman pula”.
Kami bertiga mengangguk-angguk, memang ini kebiasaan dalam tarekat sebagai bagian dari hadap mendengarkan petuah Guru, apakah dipahami atau tidak kami tetap mengangguk. Saya sendiri belum paham sepenuh apa yang dibicarakan Guru, hanya menduga-duga saja dan saya melirik ke teman disamping saya, sepertinya mereka juga mengangguk sebagai bagian hadap bukan karena sudah mengerti.
Kemudian Guru melanjutkan,”Menurut kalian apakah aksesoris itu perlu?”
“Perlu Guru!” jawab kami
“Ya, perlu untuk menambah keindahan, tapi apakah tanpa aksesoris mobil bisa jalan?” Tanya Guru.
“Bisa Guru” jawab kami.
“Benar, tanpa mesin, oli, minyak, ban atau mesin mobil maka mobil itu dipastikan tidak bisa jalan karena itu hal yang pokok dalam mobil”. Kata Guru. Beliau melanjutkan..
“Nah, orang-orang yang menekuni tarekat hanya beberapa hari, ada yang cuma suluk 1 kali atau beberapa kali kemudian menghilang atau bahkan ada hari ini dia belajar kemudian langsung menghilang adalah aksesoris untuk memperindah tarekat, tanpa adanya itu tarekat tetap jalan dan berkembang”.
Kami bertiga diam dan tertunduk, ada perasaan takut dalam hati, apakah saya ini hanya sebagai aksesoris saja yang kemudian hilang ditelan musim? Saya sendiri selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan kesempatan kepada saya untuk tetap bisa bertahan di jalan-Nya yang lurus ini, jalan yang telah dilimpahkan rahmat dan karunia-Nya, jalan para Nabi, Para Wali dan orang-orang shaleh.
Teman saya menangis, kemudian dia berkata kepada Guru, “Guru, tolong diakan kami agar tidak menjadi hanya sekedar aksesoris.”. Guru menjawab, “Kalau kalian kawatir tentang itu menandakan bahwa kalian mencintai Jalan ini dan hampir semua orang yang sampai ketujuan adalah orang yang selalu merasa kawatir sehingga dia selalu waspada, aku selalu berdoa agar kalian bisa dipakai oleh Tuhan”.
“Berdoalah selalu kepada Allah agar kalian “dipakai” oleh Dia, “diper-alat” untuk mengembangkan agama Islam yang mulia ini, untuk apa hidup didunia kalau tidak “dipakai” Tuhan?”
“Jalan yang kalian tempuh ini bukanlah jalan biasa, sudah banyak orang gugur dijalan ini, diperlukan kesabaran dan kesungguhan agar bisa mencapai tujuan. Dan harus kalian ingat bahwa Makrifat itu bukan akhir dari perjalanan, tapi itu hanya hanya AWAL. Kalau Makrifat sebagai ukuran kemenangan, kalian harus ingat bahwa Iblis di zamannya adalah sosok yang paling bermakrifat kepada Allah, namun dia tersingkirkan karena kesombongannya”.
“Hanya burung-burung yang mempunyai sayap lebar yang mampu terbang tinggi, sementara burung kecil hanya bisa terbang rendah dan tidak pernah kemana-mana”.
“Ingat, awal manusia menempuh jalan ini (Thareqat) akan diberi rahmat karunia yang berlimpah, keajaiban-keajiban diluar kemampuan manusia dan bahkan tak pernah terpikirkan. Kemudian ketika hamba telah senang, Tuhan akan mengujinya dengan derita-derita agar si hamba tidak terlena dengan keajaiban dan kemegahan alam rohani sehingga tetap fokus kepada Allah SWT”.
“Ingatlah firman Allah, ‘Jangan kau katakan dirimu beriman sebelum Ku coba’. Suatu saat kalian akan diberi cobaan yang tidak pernah terlintas dalam pikiran dan halayan kalian, seakan-akan Tuhan meninggalkan kalian dan doapun menjadi tumpul. Aku beri nasehat kepada kalian, jangan pernah kalian menyalahkan atau mencaci Guru ketika kalian mengalami itu semua”.
Kejadian ini sudah lama terjadi akan tetapi nasehat-nasehat yang diberikan Guru begitu berbekas di hati kami seakan-akan baru tadi Beliau ucapkan dan begitulah sifat Wali Allah itu kalau memberikan pengajaran akan berbekas di hati para muridnya. Setelah memberikan nasehat dan wejangan kepada kami, Beliau berjalan menuju kamar untuk istirahat. Antara ruang makan dan kamar tidur Beliau berhenti sejenak dan berpaling kepada kami, kemudian berkata, “Kalian jangan hanya sekedar menjadi aksesoris!”. Kami bertiga mengangguk sambil menangis dan berdoa kepada Allah agar sepanjang hidup kami terus bisa melayani Guru dengan baik. Semoga Allah Yang Maha Mendengar mengabulkan doa kami, Amin!.
Diantara tuduhan yang dilontarkan kepada kaum Sufi, bahwa dalam tasawuf, seorang Sufi itu tidak mau syurga dan tidak takut neraka. Padahal Rasulullah pernah berharap syurga dan dihindarkan dari neraka. Rasulullah paripurna saja masih demikian, kenapa kaum Sufi enggan dengan syurga dan tidak takut neraka?
Tuduhan dan pertanyaan berikutnya seputar syurga dan neraka, bahwa kaum Sufi dalam tujuannya untuk beribadah hanya kepada Allah, tidak menuju syurga dan tidak menghindar dari neraka, dianggap sebagai akidah yang salah. Padahal dalam ayat Al-Qur’an disebutkan, “Makan dan minumlah (di syurga) dengan nikmat yang disebabkan oleh amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari yang lampau….” (al-Haaqqah, 24) . Jadi kaum Sufi pandangannya bertentangan dengan ayat tersebut.
JAWABAN
Dalam Al-Qur’an dan Hadits soal syurga dan neraka disebut berkali-kali dalam berbagai ayat dan surat. Tentu saja, sebagai janji dan peringatan Allah swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits Nabi saw, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar formalisme ayat atau teks hadits saja.
Contoh soal rasa takut. Dalam Al-Qur’an disebut beberapa kali bentuk takut itu. Ada yang menggunakan kata Taqwa, ada yang menggunakan kata Khauf dan ada pula Khasyyah, dan berbagai bentuk kata yang ditampilkan Allah Ta’ala yang memiliki hubungan erat dengan bentuk takut itu sendiri, sesuai dengan kapasitas hamba dengan Allah Ta’ala. Makna takut dengan penyebutan yang berbeda-beda itu pasti memiliki dimensi yang berbeda pula, khususnya dalam responsi psikhologi keimanan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, berkaitan dengan frekwensi dan derajat keimanan seseorang.
Begitu juga kata Jannah dan Naar, syurga dan neraka. Penekanan-penekanan kata Naar dalam Al-Qur’an juga memiliki struktur hubungan yang berbeda. Naar disebutkan untuk orang kafir, memiliki tekanan berbeda dengan orang munafik, orang fasik, dan orang beriman yang ahli maksiat. Itu berarti berhubungan dengan kata Naar, yang disandarkan pada macam-macam ruang neraka: Ada Neraka Jahim, Neraka Jahanam, Neraka Sa’ir, Neraka Saqar, Neraka Abadi, dan penyebutan kata Naar yang tidak disandarkan pada sifat dan karakter neraka tertentu.
Jika Naar kita maknai secara gradual, justru menjadi zalim, karena faktanya tidak demikian. Hal yang sama jika para Sufi memahami Naar dari segi hakikatnya neraka, juga tidak bisa disalahkan. Apalagi jika seseorang memahami neraka itu sebagai api yang berkobar.
Kalimat Naar tanpa disandari oleh Azab, juga berbeda dengan Neraka yang ansickh belaka. Misalnya kalimat dalam ayat di surat Al-Baqarah, “Wattaqun Naar al-llaty waquduhannaasu wal-Hijarah” dengan ayat yang sering kita baca, “Waqinaa ‘adzaban-Naar,” memiliki dimensi berbeda. Ayat pertama, menunjukkan betapa pada umumnya manusia, karena didahului dengan panggilan Ilahi ”Wahai manusia”. Maka Allah langsung membuat ancaman serius dengan menyebutkan kata Naar. Tetapi pada doa seorang beriman, “Lindungi kami dari siksa neraka,” maknanya sangat berbeda. Karena yang terakhir ini berhubungan dengan kualifikasi keimanan hamba kepada Allah, bahwa yang ditakuti adalah Azabnya neraka, bukan apinya. Sebab api tanpa azab, jelas tidak panas, seperti api yang membakar Ibrahim as.
Oleh sebab itu, jika seorang Sufi menegaskan keikhlasan ubudiyahnya hanya kepada Allah, memang demikian perintah dan kehendak Allah. Bahwa seorang mukmin menyembah Allah dengan harapan syurga dan ingin dijauhkan neraka, dengan perpekstifnya sendiri, tentu kualifikasi keikhlasannya di bawah yang pertama. Dalam berbagai ayat mengenai Ikhlas, sebagai Ruh amal, disebutkan agar kita hanya menyembah Lillahi Ta’ala. Tetapi kalau punya harapan lain selain Allah termasuk di sana harapan syurga dan neraka, sebagai bentuk kenikmatan fisik dan siksa fisik, itu juga diterima oleh Allah. Namun, kualifikasinya adalah bentuk responsi mukmin pada syurga dan neraka paling rendah.
Semua mengenal bagaimana Allah membangun contoh dan perumpamaan, baik untuk menjelaskan dirinya, syurga maupun neraka. Kaum Sufi memilih perumpamaan paling hakiki, karena perumpamaan neraka yang paling rendah sudah dilampauinya. Sebagaimana kualitas moral seorang pekerja di perusahaan juga berbeda-beda, walau pun teknis dan cara kerjanya sama.
Orang yang bekerja hanya mencari uang dan untung, tidak boleh mencaci dan mengecam orang yang bekerja dengan motivasi mencintai pekerjaan dan mencintai direktur perusahaan tersebut. Walau pun cara bekerjanya sama, namun kualitas moral dan etos kerjanya yang berbeda. Bagi seorang direktur yang bijaksana, pasti ia lebih mencintai pekerja yang didasari oleh motivasi cinta yang luhur pada pekerjaan, perusahaan dan mencintai dirinya, disbanding para pekerja yang hanya mencari untung be laka, sehingga mereka bekerja tanpa ruh dan spirit yang luhur.
Karena itu syurga pun demikian. Persepsi syurga bagi kaum Sufi memiliki kualifikasi ruhani dan spiritual yang berbeda dengan persepsi syurga kaum awam biasa. Hal yang sama persepsi mengenai bidadari. Bagi kaum Sufi bidadari yang digambarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, adalah Tajalli (penampakan) sifat-sfat dan Asma Kemahaindahan Ilahi, yang tentu saja berbeda dengan kaum awam yang dipersepsi sebagai kenikmatan bilogis seksual-hewani.
Syurga bagi kaum Sufi adalah Ma’rifatullah dengan derajat kema’rifatan yang berbeda-beda. Karena nikmat tertinggi di syurga adalah Ma’rifat Dzatullah. Jadi kalimat Rabi’ah Adawiyah tentang ibadah tanpa keinginan syurga adalah syurga fisik dengan kenikmatan fisik yang selama ini kita persepsikan. Dan hal demikian memang bisa menjadi penghalang (hijab) antara hamba dengan Allah dalam prosesi kema’rifatan.
Bahkan Allah pun membagi-bagi syurga dengan symbol berbeda-beda, ada Jannatul Ma’wa, Jannatul Khuldi, Jannatun Na’im, Jannatul Firdaus, yang tentu saja menunjukkan kualifikasi yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah. Bagi orang beriman yang masih bergelimang dengan nafsunya, maka perspesi tentang nikmat syurga, adalah pantulan nafsu hewaninya dan syahwatnya, lalu persepsi kesenangan duniawi ingin dikorelasikan dengan rasa nikmat syurgawi yang identik dengan syahwatiyah.
Rabi’ah Adawiyah dan para Sufi lainnya ingin membersihkan jiwa dan hatinya dari segala bentuk dan motivasi selain Allah yang bisa menghambat perjalanan menuju kepada Allah. Dengan bahasa seni yang indah dan tajam, mereka hanya menginginkan Allah, bukan menginginkan makhluk Allah. Amaliyah di dunia sebagi visa syurga hanyalah untuk menentukan kualifikasi kesyurgawiannya, bukan sebagai kunci masuk syurganya. Karena hanya Fadhal dan RahmatNya saja yang menyebabkan kita masuk syurga. “karena Fadhal dan Rahmat itulah kamu sekalian bergembira…” Demikian dalam Al-Qur’an. Bukan gembira karena syurgaNya.
Syurga dan neraka adalah makhluk Allah. Apakah seseorang bisa wushul (sampai kepada) Allah, manakala perjalanannya dari makhluk menuju makhluk? Apakah itu tidak lebih dari sapi atau khimar yang menjalankan roda gilingan, yang berputar-putar terus menerus tanpa tujuan?
Nah anda bisa merenungkan sendiri, betapa tudingan-tudingan mereka yang anti tasawuf soal persepsi syurga dan neraka ini, bisa terbantahkan dengan sendirinya, tanpa harus berdebat lebih panjang.
Hanya mereka yang tolol dan bodoh saja, jika ada ucapan seperti ini dikecam habis, “Tuhanku, hanya engkau tujuanku, dan hanya ridloMulah yang kucari. Limpahkan Cinta dan Ma’rifatMu kepadaku…” Ucapan yang menjadi munajat para Sufi. Lalu mereka mengecam ucapan ini, sebagai bentuk anti syurga dan tak takut neraka?
Nasehat Guru,“Kalian Jangan Hanya Sekedar Menjadi Aksesoris!”
Suatu hari, menjelang pembukaan suluk, saya bersama 2 teman duduk menemani sambil melayani Guru makan. Hal yang menggembirakan bagi kami murid bisa menemani dan melayani Guru makan, mengatur makanan dan segela kebutuhan Beliau selama makan. Kami biasanya duduk dibawah memandang wajah Guru yang selalu memancarkan semangat. Menyenangkan karena kami diberi kesempatan untuk bisa berbuat kepada Beliau, Guru yang kami sayang dan kami cintai yang telah memberikan banyak kepada kami terutama telah mencerahkan ruhani dan pikiran kami. Seperti biasanya selesai makan Guru suka cerita dan memberikan nasehat baik mengenai Tasawuf maupun tentang kehidupan sehari-hari. Guru sering menanyakan kami satu persatu, tentang kerja, bisnis, keluarga dan lain-lain, kemudian Beliau memberikan nasehat dan jalan keluarnya.
Hari itu wajah Guru kelihatan gembira dan Beliau selesai makan cerita hal-hal yang menyenangkan termasuk cerita lucu yang membuat kami semakin senang. Ketika Guru selesai cerita, suasana hening. Teman seperguran saya memberikan diri bertanya kepada Guru.
“Mohon Ampun Guru, saya mau menanyakan sesuatu..”.
“Silahkan, apa yang mau kau tanyakan” kata Guru.
“Saya heran Guru, orang masuk (belajar) tarekat itu banyak, namun kenapa hanya sedikit orang yang benar-benar ber-iman dan bertahan di tarekat?”.
Sudah menjadi kebiasaan, Guru saya selalu memberikan jawaban yang bijaksana terhadap pertanyaan-pertanyaan muridnya. Dalam pandangan saya, bagi Guru tidak ada pertanyaan yang sulit, hal paling rumitpun dibuat menjadi mudah. Beliau diam sejenak, kemudian berkata :
“Kamu tahu aksesoris, hiasan atau pernak pernik untuk menghias dan memperindah sesuatu?”.
Serempak kami bertiga menjawab, “Tahu Guru!”.
Beliau melanjutkan, “Ambil contoh mobil, disana ada aksesoris, hiasan-hiasan yang membuat mobil itu lebih indah tampilannya dan aksesoris itu biasanya tergantung musim dan mengikuti tren, kalau zaman berubah maka aksesoris itu pun diganti oleh pemiliknya mengikuti musim dan zaman pula”.
Kami bertiga mengangguk-angguk, memang ini kebiasaan dalam tarekat sebagai bagian dari hadap mendengarkan petuah Guru, apakah dipahami atau tidak kami tetap mengangguk. Saya sendiri belum paham sepenuh apa yang dibicarakan Guru, hanya menduga-duga saja dan saya melirik ke teman disamping saya, sepertinya mereka juga mengangguk sebagai bagian hadap bukan karena sudah mengerti.
Kemudian Guru melanjutkan,”Menurut kalian apakah aksesoris itu perlu?”
“Perlu Guru!” jawab kami
“Ya, perlu untuk menambah keindahan, tapi apakah tanpa aksesoris mobil bisa jalan?” Tanya Guru.
“Bisa Guru” jawab kami.
“Benar, tanpa mesin, oli, minyak, ban atau mesin mobil maka mobil itu dipastikan tidak bisa jalan karena itu hal yang pokok dalam mobil”. Kata Guru. Beliau melanjutkan..
“Nah, orang-orang yang menekuni tarekat hanya beberapa hari, ada yang cuma suluk 1 kali atau beberapa kali kemudian menghilang atau bahkan ada hari ini dia belajar kemudian langsung menghilang adalah aksesoris untuk memperindah tarekat, tanpa adanya itu tarekat tetap jalan dan berkembang”.
Kami bertiga diam dan tertunduk, ada perasaan takut dalam hati, apakah saya ini hanya sebagai aksesoris saja yang kemudian hilang ditelan musim? Saya sendiri selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan kesempatan kepada saya untuk tetap bisa bertahan di jalan-Nya yang lurus ini, jalan yang telah dilimpahkan rahmat dan karunia-Nya, jalan para Nabi, Para Wali dan orang-orang shaleh.
Teman saya menangis, kemudian dia berkata kepada Guru, “Guru, tolong diakan kami agar tidak menjadi hanya sekedar aksesoris.”. Guru menjawab, “Kalau kalian kawatir tentang itu menandakan bahwa kalian mencintai Jalan ini dan hampir semua orang yang sampai ketujuan adalah orang yang selalu merasa kawatir sehingga dia selalu waspada, aku selalu berdoa agar kalian bisa dipakai oleh Tuhan”.
“Berdoalah selalu kepada Allah agar kalian “dipakai” oleh Dia, “diper-alat” untuk mengembangkan agama Islam yang mulia ini, untuk apa hidup didunia kalau tidak “dipakai” Tuhan?”
“Jalan yang kalian tempuh ini bukanlah jalan biasa, sudah banyak orang gugur dijalan ini, diperlukan kesabaran dan kesungguhan agar bisa mencapai tujuan. Dan harus kalian ingat bahwa Makrifat itu bukan akhir dari perjalanan, tapi itu hanya hanya AWAL. Kalau Makrifat sebagai ukuran kemenangan, kalian harus ingat bahwa Iblis di zamannya adalah sosok yang paling bermakrifat kepada Allah, namun dia tersingkirkan karena kesombongannya”.
“Hanya burung-burung yang mempunyai sayap lebar yang mampu terbang tinggi, sementara burung kecil hanya bisa terbang rendah dan tidak pernah kemana-mana”.
“Ingat, awal manusia menempuh jalan ini (Thareqat) akan diberi rahmat karunia yang berlimpah, keajaiban-keajiban diluar kemampuan manusia dan bahkan tak pernah terpikirkan. Kemudian ketika hamba telah senang, Tuhan akan mengujinya dengan derita-derita agar si hamba tidak terlena dengan keajaiban dan kemegahan alam rohani sehingga tetap fokus kepada Allah SWT”.
“Ingatlah firman Allah, ‘Jangan kau katakan dirimu beriman sebelum Ku coba’. Suatu saat kalian akan diberi cobaan yang tidak pernah terlintas dalam pikiran dan halayan kalian, seakan-akan Tuhan meninggalkan kalian dan doapun menjadi tumpul. Aku beri nasehat kepada kalian, jangan pernah kalian menyalahkan atau mencaci Guru ketika kalian mengalami itu semua”.
Kejadian ini sudah lama terjadi akan tetapi nasehat-nasehat yang diberikan Guru begitu berbekas di hati kami seakan-akan baru tadi Beliau ucapkan dan begitulah sifat Wali Allah itu kalau memberikan pengajaran akan berbekas di hati para muridnya. Setelah memberikan nasehat dan wejangan kepada kami, Beliau berjalan menuju kamar untuk istirahat. Antara ruang makan dan kamar tidur Beliau berhenti sejenak dan berpaling kepada kami, kemudian berkata, “Kalian jangan hanya sekedar menjadi aksesoris!”. Kami bertiga mengangguk sambil menangis dan berdoa kepada Allah agar sepanjang hidup kami terus bisa melayani Guru dengan baik. Semoga Allah Yang Maha Mendengar mengabulkan doa kami, Amin!.
NASEHAT GURU TENTANG ILMU HAKEKAT
Nasehat Guru,“Ilmu ini (Hakikat) turun dengan Kasih Sayang”
Islam adalah agama damai, sejuk, indah, memberi keselamatan kepada pemeluknya dunia dan akhirat serta menjadi rahmat bagi seluruh alam. Siapapun yang menyentuh Islam akan ikut bahagia lahir dan bathin. Islam adalah agama yang mengajarkan pemeluknya untuk berakhlak yang baik dan bekasih sayang antara satu dengan lain. Junjungan kita Rasulullah SAW memberikan contoh akhlak yang baik itu dan membimbing para sahabat dan ummat zaman itu untuk berakhlak yang baik, saling sayang menyayangi dan saling mencintai satu sama lain. Begitu mendalam dan berbekas pengajaran akhlak dari Nabi kepada sahabat sehingga mereka bahkan lebih mencintai saudaranya dari mencintai diri sendiri.
Bukan hanya terhadap ummat, kepada musuhpun Nabi menunjukkan kasih sayang, memberikan maaf kepada orang yang menyakiti Beliau bahkan terhadap orang yang pernah ingin membunuh Beliau. Power kasih sayang yang tulus itulah yang menyebabkan Beliau bisa diterima oleh segala lapisan masyarakat Arab yang terpecah menjadi banyak kabilah dan suku.
Dalam Hadist Qudsi Allah berfirman :
“Kasih sayang-Ku pasti Ku berikan kepada mereka yang saling berkasih sayang di jalan-Ku, saling berkumpul memenuhi panggilan-Ku, saling memberi pada jalan-Ku dan saling berziarah berkunjung karena aku”. (HR. Ahmad, Hakim, Thabrani, Ibnu Hibban, dan Baihaqi dari Mu’az).
Apabila kita ingin dicintai oleh Allah, maka tebarkanlah kasih sayang kepada semua manusia di muka bumi ini terlebih lagi kepada kekasih-Nya. Selain dari Guru Mursyid, kita tidak tahu siapa diantara manusia yang berjalan dimuka bumi ini yang dekat dengan Tuhan dan makbul doanya sehingga tidak ada salahnya kalau kita berbuat baik dan menghargai semua orang sebagai bagian dari ajaran Rasulullah SAW. Bisa jadi orang yang kita lihat secara zahir bisa-biasa saja ternyata dialah orang yang paling dekat dengan Allah.
Berbuat baik dan menebarkan kasih sayang itu ibarat menam tanaman yang baik, semakin lama akan menuai hasil yang baik pula. Sebaliknya, berbuat jahat dan kemungkaran seperti menebarkan api yang akan bisa membakar dan memusnahkan diri sendiri.
Guru saya yang mulia memberikan nasehat, “Jangan pernah kau mendokan orang dengan doa yang buruk, karena kedudukanmu akan buruk pula di mata Tuhan”. Guru sangat melarang kita untuk mendoakan orang agar kena bala atau mendapat musibah, walaupun orang tersebut telaah berbuat jahat kepada kita. “Jika ada orang yang berbuat tidak adil kepada engkau, serahkan kepada Tuhan karena Dia lebih mengetahui hal yang tidak kau ketahui”, demikian nasehat Guru kepada saya.
Cara Nabi membina ummat Beliau zaman dulu kemudian diteruskan oleh para ulama pewaris Beliau sampai sekarang, sehingga tidak mengherankan kita lihat di kalangan pengamal Tarekat terutama yang masih satu Guru, diantara sesama murid benar-benar akrab secara lahir dan bathin. Mereka saling berkasih sayang, saling menghargai satu sama lain. Kedekatan dan keakraban semasa murid Guru bahkan melebihi kedekatan dengan saudara kandung. Memang para murid secara jasmani dilahirkan dari ibu yang berbeda akan tetapi secara rohani mereka “dilahirkan” dari Guru yang sama.
Sesama murid Guru, pada hakikatnya kedudukan kita sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah walaupun dalam pandangan zahir terkadang dibedakan dari tahun masuk tarekat, tahun dituakan atau jumlah suluk yang pernah di ikuti. Biarlah Guru dan Allah SWT yang memberikan penilaian terhadap kedudukan kita, sementara tugas kita hanya memperkuat tali persaudaraan sehingga rahmat Allah akan selalu mengalir kepada kita semua. Begitu tingginya nilai persaudaraan dan persahabatan sehingga Allah menjadi orang ketiga diantara dua orang yang bersahabat sebagaimana Firman Allah :
“Aku adalah yang ketiga dari antara dua orang yang bersahabat selama salah seorang diantaranya tidak berkhianat. Bila salah seorang berkhianat kepada temannya, maka aku keluar diantara keduanya.” (HR. Abu Daud dan Hakim dari Abu Hurairah).
Saya mengakhiri tulisan singkat ini dengan mengutip ucapan Guru, “Ilmu ini (Hakikat) hanya bisa turun dengan Kasih Sayang dan kau pun menyampaikannya dengan kasih sayang, tanpa kasih sayang maka ilmu ini tidak akan bisa turun (tidak bisa diajarkan)”. Maknanya, ilmu-ilmu hakikat yang sangat tinggi nilainya hanya bisa turun (mengalir) dari Guru kepada para murid dan dari murid kepada orang lain harus dengan kasih sayang. Itulah sebabnya dalam terekat yang diutamakan bukan zikir atau ibadah akan tetapi Hadap (sopan santun) kepada Guru karena itu merupakan kunci turunnya seluruh ilmu dan karunia Allah SWT.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat hendaknya!
Islam adalah agama damai, sejuk, indah, memberi keselamatan kepada pemeluknya dunia dan akhirat serta menjadi rahmat bagi seluruh alam. Siapapun yang menyentuh Islam akan ikut bahagia lahir dan bathin. Islam adalah agama yang mengajarkan pemeluknya untuk berakhlak yang baik dan bekasih sayang antara satu dengan lain. Junjungan kita Rasulullah SAW memberikan contoh akhlak yang baik itu dan membimbing para sahabat dan ummat zaman itu untuk berakhlak yang baik, saling sayang menyayangi dan saling mencintai satu sama lain. Begitu mendalam dan berbekas pengajaran akhlak dari Nabi kepada sahabat sehingga mereka bahkan lebih mencintai saudaranya dari mencintai diri sendiri.
Bukan hanya terhadap ummat, kepada musuhpun Nabi menunjukkan kasih sayang, memberikan maaf kepada orang yang menyakiti Beliau bahkan terhadap orang yang pernah ingin membunuh Beliau. Power kasih sayang yang tulus itulah yang menyebabkan Beliau bisa diterima oleh segala lapisan masyarakat Arab yang terpecah menjadi banyak kabilah dan suku.
Dalam Hadist Qudsi Allah berfirman :
“Kasih sayang-Ku pasti Ku berikan kepada mereka yang saling berkasih sayang di jalan-Ku, saling berkumpul memenuhi panggilan-Ku, saling memberi pada jalan-Ku dan saling berziarah berkunjung karena aku”. (HR. Ahmad, Hakim, Thabrani, Ibnu Hibban, dan Baihaqi dari Mu’az).
Apabila kita ingin dicintai oleh Allah, maka tebarkanlah kasih sayang kepada semua manusia di muka bumi ini terlebih lagi kepada kekasih-Nya. Selain dari Guru Mursyid, kita tidak tahu siapa diantara manusia yang berjalan dimuka bumi ini yang dekat dengan Tuhan dan makbul doanya sehingga tidak ada salahnya kalau kita berbuat baik dan menghargai semua orang sebagai bagian dari ajaran Rasulullah SAW. Bisa jadi orang yang kita lihat secara zahir bisa-biasa saja ternyata dialah orang yang paling dekat dengan Allah.
Berbuat baik dan menebarkan kasih sayang itu ibarat menam tanaman yang baik, semakin lama akan menuai hasil yang baik pula. Sebaliknya, berbuat jahat dan kemungkaran seperti menebarkan api yang akan bisa membakar dan memusnahkan diri sendiri.
Guru saya yang mulia memberikan nasehat, “Jangan pernah kau mendokan orang dengan doa yang buruk, karena kedudukanmu akan buruk pula di mata Tuhan”. Guru sangat melarang kita untuk mendoakan orang agar kena bala atau mendapat musibah, walaupun orang tersebut telaah berbuat jahat kepada kita. “Jika ada orang yang berbuat tidak adil kepada engkau, serahkan kepada Tuhan karena Dia lebih mengetahui hal yang tidak kau ketahui”, demikian nasehat Guru kepada saya.
Cara Nabi membina ummat Beliau zaman dulu kemudian diteruskan oleh para ulama pewaris Beliau sampai sekarang, sehingga tidak mengherankan kita lihat di kalangan pengamal Tarekat terutama yang masih satu Guru, diantara sesama murid benar-benar akrab secara lahir dan bathin. Mereka saling berkasih sayang, saling menghargai satu sama lain. Kedekatan dan keakraban semasa murid Guru bahkan melebihi kedekatan dengan saudara kandung. Memang para murid secara jasmani dilahirkan dari ibu yang berbeda akan tetapi secara rohani mereka “dilahirkan” dari Guru yang sama.
Sesama murid Guru, pada hakikatnya kedudukan kita sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah walaupun dalam pandangan zahir terkadang dibedakan dari tahun masuk tarekat, tahun dituakan atau jumlah suluk yang pernah di ikuti. Biarlah Guru dan Allah SWT yang memberikan penilaian terhadap kedudukan kita, sementara tugas kita hanya memperkuat tali persaudaraan sehingga rahmat Allah akan selalu mengalir kepada kita semua. Begitu tingginya nilai persaudaraan dan persahabatan sehingga Allah menjadi orang ketiga diantara dua orang yang bersahabat sebagaimana Firman Allah :
“Aku adalah yang ketiga dari antara dua orang yang bersahabat selama salah seorang diantaranya tidak berkhianat. Bila salah seorang berkhianat kepada temannya, maka aku keluar diantara keduanya.” (HR. Abu Daud dan Hakim dari Abu Hurairah).
Saya mengakhiri tulisan singkat ini dengan mengutip ucapan Guru, “Ilmu ini (Hakikat) hanya bisa turun dengan Kasih Sayang dan kau pun menyampaikannya dengan kasih sayang, tanpa kasih sayang maka ilmu ini tidak akan bisa turun (tidak bisa diajarkan)”. Maknanya, ilmu-ilmu hakikat yang sangat tinggi nilainya hanya bisa turun (mengalir) dari Guru kepada para murid dan dari murid kepada orang lain harus dengan kasih sayang. Itulah sebabnya dalam terekat yang diutamakan bukan zikir atau ibadah akan tetapi Hadap (sopan santun) kepada Guru karena itu merupakan kunci turunnya seluruh ilmu dan karunia Allah SWT.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat hendaknya!
NUR MUHAMMAD
NUR MUHAMMAD
Pokok dari ajaran agama adalah mengajarkan kepada ummatnya tentang bagaimana berhubungan dengan Tuhan, cara mengenal-Nya dengan sebenar-benar kenal yang di istilahkan dengan makrifat, kemudian baru menyembah-Nya dengan benar pula. Apakah agama Islam, Kristen, Hindu dan lain-lain, semuanya mengajarkan ajaran pokok ini yaitu bagaimana seseorang bisa sampai kehadirat-Nya. Karena itu pula Allah SWT menurunkan para nabi/Rasul untuk menyampaikan metodologi cara berhubungan dengan-Nya, tidak cukup satu Nabi, Allah SWT menurunkan ribuan Nabi untuk meluruskan kembali jalan yang kadangkala terjadi penyimpangan seiring berjalannya waktu.
Nabi Adam as setelah terusir dari syurga bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun bertobat kepada Allah SWT tidak diampuni, setelah Beliau berwasilah (teknik bermunajat) kepada Nur Muhammad barulah dosa-dosa Beliau diampuni oleh Allah SWT, artinya Allah mengampuni Adam as bukan karena ibadahnya akan tetapi karena ada faktor tak terhingga yang bisa menyambungkan ibadah beliau kepada pemilik bumi dan langit. Lewat faktor tak terhingga itulah maka seluruh permohonan Nabi Adam as sampai kehadirat Allah SWT. Faktor tak terhingga itu adalah Nur Muhammad yang merupakan pancaran dari Nur Allah yang berasal dari sisi-Nya, tidak ada satu unsurpun bisa sampai kepada matahari karena semua akan terbakar musnah kecuali unsur dia sendiri yaitu cahayanya, begitupulah dengan Allah SWT, tidak mungkin bisa sampai kehadirat-Nya kalau bukan melalui cahaya-Nya
Nur Muhammad adalah pancaran Nur Allah yang diberikan kepada Para Nabi mulai dari Nabi Adam as sampai dengan Nabi Muhammad SAW, dititipkan dalam dada para Nabi dan Rasul sebagai conductor yang menyalurkan energi Ketuhanan Yang Maha Dasyat dan Maha Hebat. Dengan penyaluran yang sempurna itu pula yang membuat nabi Musa bisa membelah laut, Nabi Isa menghidupkan orang mati dan Para nabi menunjukkan mukjizatnya serta para wali menunjukkan kekeramatannya. Karena Nur Muhammad itu pula yang menyebabkan wajah Nabi Muhammad SAW tidak bisa diserupai oleh syetan.
Setelah Rasulullah SAW wafat apakah Nur Muhammad itu ikut hilang?
Tidak! Nur tersebut diteruskan kepada Saidina Abu Bakar Siddiq ra sebagai sahabat Beliau yang utama sebagaimana sabda Nabi:
“ Tidak melebih Abu Bakar dari kamu sekalian dengan karena banyak shalat dan banyak puasa, tetapi (melebihi ia akan kamu) karena ada sesuatu (rahasia) yang tersimpan pada dadanya”
Pada kesempatan yang lain Rasulullah bersabda pula :
“Tidak ada sesuatupun yang dicurahkan Allah ke dadaku, melainkan seluruhnya kutumpahkan pula ke dada Abu Bakar Siddiq”.
Nur Muhammad akan terus berlanjut hingga akhir zaman, dan Nur itu pula yang terdapat dalam diri seorang Mursyid yang Kamil Mukamil yang wajahnya juga tidak bisa diserupai oleh syetan. Memandang wajah Mursyid hakikatnya adalah memandang Nur Muhammad dan sudah pasti memandang Nur Allah SWT.
Nabi SAW bersabda :
La yadhulunara muslimun ra-ani wal man ra-a man ra-ani wala man ra-a man ra-ani ai walau bisab’ina wasithah, fainnahum khulafa-li fi tablighi wal irsyadi, inistaqamu ala syarii’ati.
“Tidak akan masuk neraka seorang muslim yang melihat aku dan tidak juga (akan masuk neraka) yang melihat orang yang telah melihat aku, dan tidak juga (akan masuk neraka) orang yang melihat orang yang telah melihat aku, sekalipun dengan 70 wasithah (lapisan/antara). Sesungguhnya mereka itu adalah para khalifahku dalam menyampaikan (islam/sunahku) mengasuh dan mendidik (orang ramai), sekiranya mereka itu tetap istiqamah didalam syari’atku” (H.R. Al – Khatib bin Abd.Rahman bin Uqbah).
Makna melihat dalam hadist di atas bukan dalam pengertian melihat secara umum, karena kalau kita maknai melihat itu dengan penglihatan biasa maka Abu Jahal dan musuh-musuh nabi juga melihat beliau akan tetapi tetap masuk Neraka. Melihat yang dimaksud adalah melihat Beliau sebagai sosok nabi yang menyalurkan Nur Allah kepada ummatnya, melihat dalam bentuk rabithah menggabungkan rohani kita dengan rohani beliau.
Darimana kita tahu seseorang itu pernah melihat Nabi dan bersambung sampai kepada Beliau? Kalau melihat dalam pengertian memandang secara awam maka para ahlul bait adalah orang-orang yang sudah pasti punya hubungan melihat karena mereka adalah keturunan Nabi.
Akan tetapi karena pengertian melihat itu lebih kepada rabitah atau hubungan berguru, maka yang paling di jamin punya hubungan melihat adalah Para Ahli Silsilah Thariqat yang saling sambung menyambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Syukurlah bagi orang-orang yang telah menemukan seorang Guru Mursyid yang silsilahnya bersambung kepada Rasulullah SAW, yang selalu memberikan pencerahan dengan menyalurkan Nur Muhammad sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin, bermohon atas namanya niscaya Allah SWT akan mengabulkan do’a dan dari Mursyid lah Firman Nafsani dari Allah terus berlajut dan tersampaikan kepada hamba-Nya yang telah mendapat petunjuk.
Barulah kita tahu kenapa memandang wajah Mursyid itu bisa mengubah akhlak manusia yang paling bejat sekalipun, karena dalam wajah Mursyid itu adalah pintu langsung kepada Allah SWT.
Nabi Adam as diampuni dosanya dengan ber wasilah kepada Nur Muhammad, apa mungkin dosa kita bisa terampuni tanpa Nur Muhammad?
Marilah kita memuliakan Guru Mursyid kita sebagai bhakti kasih kita kepadanya, dari Beliaulah Nur Muhammad itu tersalurkan sehingga bencana sehebat apapun dapat ditunda, sesungguhnya Guru Mursyid itu adalah Guru kita dari dunia sampai ke akhirat kelak, jangan kita dengarkan orang-orang yang melarang memuliakan Guru sebagai Ulama pewaris Nabi sesungguhnya ajaran demikian itu baru muncul di abad ke-18, muncul akibat keberhasilan orang orientalis menghancurkan Islam dari dalam.
Ingat pesan dari Nabi SAW yang mulia :
“Muliakanlah Ulama sesungguhnya mereka adalah pewaris pada nabi, barang siapa memuliakan mereka maka telah memuliakan Allah dan Rasul-Nya” (H.R. Al – Khatib Al – Baghdadi dari Jabir R.A.)
Syukur yang tak terhingga bagi orang-orang yang telah menemukan ulama pewaris Nabi, yang apabila memandang wajahnya sama dengan memandang Nur Muhammad, wajah yang tidak bisa diserupai oleh syetan, dengan wajah itu pula yang bisa menuntun kita dalam setiap ibadah, dalam kehidupan sehari-hari, wajah yang kekal abadi, wajah Nur Muhammad.
Alhamdulillahhirabbil ‘Alamin
Pokok dari ajaran agama adalah mengajarkan kepada ummatnya tentang bagaimana berhubungan dengan Tuhan, cara mengenal-Nya dengan sebenar-benar kenal yang di istilahkan dengan makrifat, kemudian baru menyembah-Nya dengan benar pula. Apakah agama Islam, Kristen, Hindu dan lain-lain, semuanya mengajarkan ajaran pokok ini yaitu bagaimana seseorang bisa sampai kehadirat-Nya. Karena itu pula Allah SWT menurunkan para nabi/Rasul untuk menyampaikan metodologi cara berhubungan dengan-Nya, tidak cukup satu Nabi, Allah SWT menurunkan ribuan Nabi untuk meluruskan kembali jalan yang kadangkala terjadi penyimpangan seiring berjalannya waktu.
Nabi Adam as setelah terusir dari syurga bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun bertobat kepada Allah SWT tidak diampuni, setelah Beliau berwasilah (teknik bermunajat) kepada Nur Muhammad barulah dosa-dosa Beliau diampuni oleh Allah SWT, artinya Allah mengampuni Adam as bukan karena ibadahnya akan tetapi karena ada faktor tak terhingga yang bisa menyambungkan ibadah beliau kepada pemilik bumi dan langit. Lewat faktor tak terhingga itulah maka seluruh permohonan Nabi Adam as sampai kehadirat Allah SWT. Faktor tak terhingga itu adalah Nur Muhammad yang merupakan pancaran dari Nur Allah yang berasal dari sisi-Nya, tidak ada satu unsurpun bisa sampai kepada matahari karena semua akan terbakar musnah kecuali unsur dia sendiri yaitu cahayanya, begitupulah dengan Allah SWT, tidak mungkin bisa sampai kehadirat-Nya kalau bukan melalui cahaya-Nya
Nur Muhammad adalah pancaran Nur Allah yang diberikan kepada Para Nabi mulai dari Nabi Adam as sampai dengan Nabi Muhammad SAW, dititipkan dalam dada para Nabi dan Rasul sebagai conductor yang menyalurkan energi Ketuhanan Yang Maha Dasyat dan Maha Hebat. Dengan penyaluran yang sempurna itu pula yang membuat nabi Musa bisa membelah laut, Nabi Isa menghidupkan orang mati dan Para nabi menunjukkan mukjizatnya serta para wali menunjukkan kekeramatannya. Karena Nur Muhammad itu pula yang menyebabkan wajah Nabi Muhammad SAW tidak bisa diserupai oleh syetan.
Setelah Rasulullah SAW wafat apakah Nur Muhammad itu ikut hilang?
Tidak! Nur tersebut diteruskan kepada Saidina Abu Bakar Siddiq ra sebagai sahabat Beliau yang utama sebagaimana sabda Nabi:
“ Tidak melebih Abu Bakar dari kamu sekalian dengan karena banyak shalat dan banyak puasa, tetapi (melebihi ia akan kamu) karena ada sesuatu (rahasia) yang tersimpan pada dadanya”
Pada kesempatan yang lain Rasulullah bersabda pula :
“Tidak ada sesuatupun yang dicurahkan Allah ke dadaku, melainkan seluruhnya kutumpahkan pula ke dada Abu Bakar Siddiq”.
Nur Muhammad akan terus berlanjut hingga akhir zaman, dan Nur itu pula yang terdapat dalam diri seorang Mursyid yang Kamil Mukamil yang wajahnya juga tidak bisa diserupai oleh syetan. Memandang wajah Mursyid hakikatnya adalah memandang Nur Muhammad dan sudah pasti memandang Nur Allah SWT.
Nabi SAW bersabda :
La yadhulunara muslimun ra-ani wal man ra-a man ra-ani wala man ra-a man ra-ani ai walau bisab’ina wasithah, fainnahum khulafa-li fi tablighi wal irsyadi, inistaqamu ala syarii’ati.
“Tidak akan masuk neraka seorang muslim yang melihat aku dan tidak juga (akan masuk neraka) yang melihat orang yang telah melihat aku, dan tidak juga (akan masuk neraka) orang yang melihat orang yang telah melihat aku, sekalipun dengan 70 wasithah (lapisan/antara). Sesungguhnya mereka itu adalah para khalifahku dalam menyampaikan (islam/sunahku) mengasuh dan mendidik (orang ramai), sekiranya mereka itu tetap istiqamah didalam syari’atku” (H.R. Al – Khatib bin Abd.Rahman bin Uqbah).
Makna melihat dalam hadist di atas bukan dalam pengertian melihat secara umum, karena kalau kita maknai melihat itu dengan penglihatan biasa maka Abu Jahal dan musuh-musuh nabi juga melihat beliau akan tetapi tetap masuk Neraka. Melihat yang dimaksud adalah melihat Beliau sebagai sosok nabi yang menyalurkan Nur Allah kepada ummatnya, melihat dalam bentuk rabithah menggabungkan rohani kita dengan rohani beliau.
Darimana kita tahu seseorang itu pernah melihat Nabi dan bersambung sampai kepada Beliau? Kalau melihat dalam pengertian memandang secara awam maka para ahlul bait adalah orang-orang yang sudah pasti punya hubungan melihat karena mereka adalah keturunan Nabi.
Akan tetapi karena pengertian melihat itu lebih kepada rabitah atau hubungan berguru, maka yang paling di jamin punya hubungan melihat adalah Para Ahli Silsilah Thariqat yang saling sambung menyambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Syukurlah bagi orang-orang yang telah menemukan seorang Guru Mursyid yang silsilahnya bersambung kepada Rasulullah SAW, yang selalu memberikan pencerahan dengan menyalurkan Nur Muhammad sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin, bermohon atas namanya niscaya Allah SWT akan mengabulkan do’a dan dari Mursyid lah Firman Nafsani dari Allah terus berlajut dan tersampaikan kepada hamba-Nya yang telah mendapat petunjuk.
Barulah kita tahu kenapa memandang wajah Mursyid itu bisa mengubah akhlak manusia yang paling bejat sekalipun, karena dalam wajah Mursyid itu adalah pintu langsung kepada Allah SWT.
Nabi Adam as diampuni dosanya dengan ber wasilah kepada Nur Muhammad, apa mungkin dosa kita bisa terampuni tanpa Nur Muhammad?
Marilah kita memuliakan Guru Mursyid kita sebagai bhakti kasih kita kepadanya, dari Beliaulah Nur Muhammad itu tersalurkan sehingga bencana sehebat apapun dapat ditunda, sesungguhnya Guru Mursyid itu adalah Guru kita dari dunia sampai ke akhirat kelak, jangan kita dengarkan orang-orang yang melarang memuliakan Guru sebagai Ulama pewaris Nabi sesungguhnya ajaran demikian itu baru muncul di abad ke-18, muncul akibat keberhasilan orang orientalis menghancurkan Islam dari dalam.
Ingat pesan dari Nabi SAW yang mulia :
“Muliakanlah Ulama sesungguhnya mereka adalah pewaris pada nabi, barang siapa memuliakan mereka maka telah memuliakan Allah dan Rasul-Nya” (H.R. Al – Khatib Al – Baghdadi dari Jabir R.A.)
Syukur yang tak terhingga bagi orang-orang yang telah menemukan ulama pewaris Nabi, yang apabila memandang wajahnya sama dengan memandang Nur Muhammad, wajah yang tidak bisa diserupai oleh syetan, dengan wajah itu pula yang bisa menuntun kita dalam setiap ibadah, dalam kehidupan sehari-hari, wajah yang kekal abadi, wajah Nur Muhammad.
Alhamdulillahhirabbil ‘Alamin
SILSILAH THAREKAT NAQSYABANDIYAH
SILSILAH THAREQAT NAQSYABANDIYAH
“Ati’ullaha wa ati’ur rasula wa ulil amri minkum” (An-Nisa’ 59).
Ta’atilah Allah dan Rasulullah serta para pemimpin kalian.
Dengan mematuhi Rasulullah SAW, berarti kita mematuhi Allah . Oleh sebab itu jagalah agar Tuhan dan Rasulullah selalu berada dalam hatimu, dan bila kalian mematuhi gurumu, berarti kalian mematuhi Rasulullah SAW
Keberadaan seorang guru sangat penting dan setiap orang harus mempunyai seorang guru. Tanpa guru, tak seorang pun dapat mengalami kemajuan dan tak seorang pun bisa menemukan jejak dan jalur yang harus dituju. Bahkan Rasulullah SAW dan seluruh Rasul yang diutus Allah SWT ke dunia ini juga mempunyai guru. Rasulullah SAW mendapat bimbingan Jibril AS dalam proses pencarian Tuhan. Itulah sebabnya kita harus mempunyai seorang guru yang akan menunjukkan jalan kepada Rasulullah SAW dan seterusnya kepada Allah SWT. Jangan berpikir bahwa kita dapat mencapai suatu tempat tanpa seorang guru, mustahil. Bila kita menempuh jalan sendiri, kita tidak akan mencapai suatu tempat karena jika kita kehilangan jejak, akan benar-benar tersesat. Oleh sebab itu gunakanlah seorang pemandu yang mengetahui jalan yang kalian tempuh, yaitu orang yang pernah melalui jalan itu sebelumnya, sehingga dia menjadi berpengalaman. Dia akan mengantarmu dan membimbingmu langsung menuju tujuanmu tanpa pergi ke sana ke mari, atau ke suatu tempat yang bisa menyesatkanmu.
Itulah sebabnya mengapa seluruh Tarikat mempunyai Silsilah yang merupakan mata rantai Guru-Guru yang sambung-menyambung dan kembali secara langsung, tanpa interupsi kepada Rasulullah SAW. Inilah yang kita butuhkan, suatu jalinan langsung. Kita tidak menginginkan suatu mata rantai yang terputus di suatu tempat. Suatu pipa yang tertanam di dalam tanah dan membawa air dari satu desa ke desa yang lain harus benar-benar terjalin dengan baik. Jika terdapat satu lubang di suatu tempat, air itu tidak akan sampai. Jika mata rantai Wali itu terputus, kita tidak akan sampai kepada Rasulullah SAW.
Jika kita bertanya kepada seluruh manusia di muka bumi apa Agama anda, mereka mengatakan, “Kami adalah pemeluk Budha, Hindu, Kristen, Judaisme, atau Yoga,” atau suatu bentuk agama dan kepercayaan lainnya. Jika kita bertanya kepada mereka, “Siapa guru kalian?” Mereka akan menjawab, “si Anu dan Anu,” lalu siapa guru dari si Anu dan Anu tadi?
Sekarang kita bukannya ingin menentang suatu agama atau kepercayaan, karena semuanya itu akan mengantarkan kalian menuju tujuan masing-masing, tetapi mengertilah apa yang kami tanyakan, siapa guru dari guru kalian tadi? Orang itu tidak akan tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Seseorang mungkin akan menjawab, “Kepercayaannya berasal dari ajaran mistik dari leluhur mereka yang telah berusia 2.000, 3.000, atau 6.000 tahun.” Lalu bagaimana kondisi “pipanya” dalam kurun waktu ribuan tahun itu? Siapa guru-guru yang membentuknya, guru-guru dan Guru Besar yang meneruskannya? Tidak ada yang mengetahuinya, mereka hanya mengenal dua, tiga atau empat guru, setelah itu tidak ada lagi.
Sebuah pohon yang tidak berakar tidak akan menghasilkan buah. Pohon yang perakarannya tidak kuat akan mudah diterpa angin karena pondasinya sangat lemah. Seorang guru tidak boleh “mencantelkan diri,” begitu saja tanpa orang-orang mengetahui siapa gurunya, siapa guru-guru sebelumnya sampai guru yang mendirikan jalur tersebut. Itulah sebabnya guru-guru Sufi merupakan guru-guru yang saling terhubung dan merupakan guru-guru terkuat di dunia, mereka mempunyai hubungan yang benar, mereka mengetahui para leluhur mereka. Jika anda tidak mengetahui leluhur anda, maka anda tidak akan terhubung ke mana-mana atau tidak mengetahui ke mana anda terhubung.
Dari Budha hingga sekarang, bisakah seseorang menghitung jumlah guru-gurunya? Atau dalam agama Hindu? Bagaimana dengan agama Sikh? Atau filosofi China? Jelaskan mengenai Silsilah guru-guru mereka, atau paling tidak sebutkan nama-nama mereka sejak 3.000 tahun yang lalu. Kami menginginkan mata rantai yang tidak terputus, tanpa ada satu yang hilang. Kalian tidak akan menemukan mata rantai seperti itu, bahkan dalam spiritualitas Kristen atau filosofi Yahudi, kita hanya bisa menemukannya dalam Sufisme. Dan tanpa mata rantai seperti itu kita tidak bisa pergi ke mana-mana,Karenanya setiap orang membutuhkan guru Sufi untuk mengantarkannya menuju tujuan masing-masing.
Ini adalah pengetahuan yang diambil dari hati Sayyidina Muhammad SAW dan dibawakan melalui Silsilah guru-guru tersebut. Anda tidak bisa menemukannya di buku apa pun.
Rasulullah SAW menerima tiga Atribut dari Allah SWT, yaitu: pertama, beliau dibersihkan dengan Air Kehidupan dan diberikan kehidupan yang abadi. Kedua, beliau menerima Cahaya Ilahi. Pada saat itu, sebagaima yang telah kami katakan, beliau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh setiap orang dan berada dalam hati setiap orang. Itulah arti dari ayat, “Wa’lamuu anna fikum rasuulullah,” “Ketahuilah bahwa Rasulullah ada bersamamu, di antara kamu dan dalam dirimu” (al-Hujurat 7), karena beliau telah disandangkan dengan Cahaya Ilahi tersebut. Itulah sebabnya Rasulullah dapat mengetahui apa yang kita rasakan, bagaimana masa depan kita, apa yang kalian lakukan, dan apa yang akan terjadi baik di sini maupun di hari kemudian.
Yang ketiga, Rasulullah SAW menerima Kekuatan Ilahi dari Samudra Kekuatan Ilahi. Semua ini bersumber pada suatu pengetahuan tingkat tinggi dan harus dipahami dengan seksama. Itu adalah atribut dari “Bahrul Qudra,” Samudra Kekuatan, yang pernah diminta oleh Nabi Musa u namun tidak diberikan oleh Allah. Nabi Musa AS meminta agar Allah SWT memberinya kekuatan dari Samudra Kekuatan agar bisa berkata kepada sesuatu, “Jadilah!” dan jadilah dia, Allah I berkata, “Tidak, lihatlah gunung itu, Aku akan memberikan cahaya kepada gunung itu. Jika gunung itu tetap berdiri di tempatnya, engkau akan diberikan kekuatan itu, tetapi jika gunung itu melebur atau hancur, engkau tidak bisa menerima kekuatan itu, karena engkau pun akan hancur.” Dan ketika Allah SWT mengirimkan cahaya ke gunung itu, gunung itu menjadi hancur lebur, Nabi Musa AS pun jatuh pingsan (al-A’raf 143). Itulah sebabnya Allah I mengatakan bahwa kekuatan itu bukan untuknya melainkan untuk Rasul terakhir.
Allah SWT telah memberi Rasulullah SAW Samudra Kekuatan itu sehingga beliau bisa mengucapkan “Jadilah!” Maka jadilah dia—tanpa perlu meminta izin kepada Allah SWT karena beliau telah berenang dalam Samudra Kekuatan itu. Rasulullah SAW bersabda, “Maa shabballahu fii shadrii syay-an ilaa wa shababtuhu fi shadri Abii Bakri,” “Apa pun yang Allah berikan ke dalam hatiku, telah kuberikan pula ke dalam hati Abu Bakar Ash-Shiddiq RA” (Maybudi, Razi, Ajluni, Suyuti), kemudian Abu Bakar As-siddiq menyerahkan semuanya kepada Salman al-Farisi , Salman kepada Qasim , Qasim kepada Imam Jakfar Saddik seterusnya pada Abu Yazid Al Bisthami sampai kepada Syekh Bahauddin Naqsyabandy dan sampai sekarang kepada Guru kita. Inilah yang dinamakan Silsilah.
Bagi seorang Sufi tidak mempunyai jarak dengan nabi Muhammad walau dipisahkan sambung menyambung dengan 36 Ahli Silsilah kerena setiap Ahli Silsilah itu sesungguhnya Rohani mereka bersatu dengan Rohani Rasulullah SAW dan sudah pasti bergabung dengan Allah SWT. Muhammad bin Abdillah selaku manusia telah wafat meninggalkan kita 1400 tahun yang lalu, akan tetapi Nur Muhammad akan tetap abadi sepanjang zaman.
Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi (Ahli Silsilah ke-34) pernah menjelaskan dalam pantunnya :
Bukan Marabah Makan Padi, Marabah makan buah sikaduduk
Bukan di Mekkah tempat nabi, Nabi beserta kita duduk
Begitu dekatnya, begitu akrab dan mesranya para sufi merasakan hubungannya dengan Rasulullah dan Allah SWT
Jangan berpikir bahwa Allah menciptakan makhluk-Nya dan meninggalkannya begitu saja. Allah akan menyandangkan para Wali-Nya dan menyandangkan Rasulullah dengan Atribut dan Cahaya-Nya untuk menghindarkan orang dari penderitaan dan dosa menuju maqam yang tinggi di hari kemudian.
Ketika Salman al-Farisi RA, salah satu Wali terbesar yang muncul setelah Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq dan berasal dari Persia, mengetahui dari buku yang telah dibacanya dan melalui suatu tanda di luar kebiasaan yang muncul di gugusan bintang, yang menandakan bahwa Rasul terakhir akan muncul. Beliau tahu bahwa akan terjadi suatu peristiwa besar di dunia ini. Untuk pergi ke Mekkah, beliau menjual dirinya sebagai budak kepada beberapa orang yang pergi ke Mekkah, dan beliau mengiringi unta milik orang yang membelinya sepanjang 5.000 mil dari Persia ke Mekkah untuk bertemu Rasulullah SAW. Sekarang kita malah enggan untuk menempuh 20 atau 40 mil dengan kendaraan, dan mengatakan bahwa itu terlalu jauh. Lihatlah perjalanan para Wali yang sangat panjang dan jauh untuk bertemu dengan Rasulullah SAW
Kepada Para Wali diberikan Ilmu yang Maha Luas tidak akan habis diminum oleh Milyaran orang, kepada para Ahli Silsilah (Maha Guru) dititipkan Nur Muhammad sebagai faktor tak terhingga untuk menyelamatkan ummat manusia dari kehancuran. Abu Hurairah dalam hadits, “Shabba Rasulullah fii qalbi wi’aanaini fa ammaa ahaduhumaa fa batsats-tuhu bii khalqi wa ammal akhara law batsats-tuhu laquthi’a hadzal bul’uum,” “Rasulullah telah meletakkan dua jenis ilmu pengetahuan dalam hatiku. Satu pengetahuan telah kusebarkan kepada orang-orang, tetapi bila pengetahuan yang lainnya kukatakan, mereka akan memotong leherku” (Bukhari).
Allah membasuh hati Rasulullah dengan “Bismillah al-‘azhim,” Nama yang Terbesar. Sampai sekarang setiap Wali mencoba untuk mengetahui Nama Allah yang Terbesar, tetapi tidak ada yang mengetahuinya, karena rahasia itu belum dibukakan kepada seseorang, kecuali Rasulullah endiri yang telah menerima rahasia tersebut di dalam hatinya. Semua sekat dihilangkan dari hati Rasulullah tatkala Allah membasuh hatinya dengan air sungai Khawtsar, sebuah sungai di Surga yang diberikan kepada Rasulullah SAW manakala Allah SWT berfirman, “Innaa a’thaynaakal Khawtsar” (al-Khawtsar 1). Jika seseorang mandi di dalamnya, hatinya tidak akan pernah mati. Inilah sebabnya Rasulullah e bersabda, “Ana hayyun thariyyun fii qabri,” “Aku hidup dan tetap segar dalam kuburku” (Suyuti).
Ketika beliau baru berusia 1 jam, Rasulullah SAW bertanya kepada Allah SWT seolah-oleh beliau melihat-Nya, “Wahai Tuhanku, bagaimana dengan ummatku? Apakah Engkau akan membasuh ummatku dengan air dari sungai ini? Jika tidak, aku tidak mau dibasuh sendiri. Aku harus bersama ummatku, aku tidak bisa meninggalkan mereka.” Menurut Rasulullah SAW, ketika beliau meminta hal ini kepada Allah, Allah membasuh seluruh ummatnya dengan air dari Sungai Kehidupan itu. Allah I membasuh dan membersihkan hati mereka sampai menjadi bersih dan transparan seperti yang dimiliki Rasulullah, kemudian Allah menyerahkan mereka kepadanya, “Aku menyerahkan ummatmu dalam keadaaan bersih, suci, lemah lembut, pemurah, rendah hati, saling mencintai dan menghormati sesamanya. Apakah engkau menerimanya?” Rasulullah yang melihat mereka semua dalam keadaan bersih dan suci lalu berkata, “Aku menerimanya.” Ketika beliau mengatakan akan membawa mereka, Allah menunjukkan kepadanya bagaimana mereka akan membuat banyak dosa ketika diturunkan ke dunia ini. Rasulullah bersabda, “Wahai Tuhanku, apa yang telah Kau lakukan?” Allah menjawab, “Lupakan saja, cahaya tidak akan musnah dari dalam hati mereka. Mereka akan menutupi cahaya itu dengan kegelapan, tetapi itu akan seperti lap, dan Aku akan memberimu Awliya yang akan menjadi pembantumu agar mereka dapat membersihkan dan mengkilapkan hati mereka.”
Setelah Rasulullah menerima ummatnya dengan cahaya mereka, dan setelah Allah menunjukkan dosa-dosa yang akan mereka lakukan, Rasulullah meminta beberapa pembantu. Dengan segera Allah memberinya 7.007 Wali Naqsybandi untuk membantu beliau membersihkan ummatnya. Di antara mereka terdapat 313 Wali yang tingkatannya tinggi. Dan di antara mereka terdapat 36 Guru Besar dari Ahli Silsilah, jalan kita menuju Rasulullah SAW. Mereka hidup disetiap zaman apabila satu orang berlindung kehadirat Allah SWT maka akan digantikan oleh penerusnya sehingga seluruh Ilmu Rasulullah tersampaikan kepada ummatnya walau terbentang jarak ribuan tahun. Ketigapuluh Enam Guru Besar mencoba melakukan yang terbaik untuk membersihkan setiap orang dari dosa-dosanya melalui cahaya yang telah diberikan Allah ke dalam hati mereka. Beruntunglah bahwa kita berada di tangan salah satu Guru Besar tersebut—Guru Besar terakhir dalam silsilah ini, Maha Guru yang ketigapuluh Enam yang sangat Keramat.
“Ati’ullaha wa ati’ur rasula wa ulil amri minkum” (An-Nisa’ 59).
Ta’atilah Allah dan Rasulullah serta para pemimpin kalian.
Dengan mematuhi Rasulullah SAW, berarti kita mematuhi Allah . Oleh sebab itu jagalah agar Tuhan dan Rasulullah selalu berada dalam hatimu, dan bila kalian mematuhi gurumu, berarti kalian mematuhi Rasulullah SAW
Keberadaan seorang guru sangat penting dan setiap orang harus mempunyai seorang guru. Tanpa guru, tak seorang pun dapat mengalami kemajuan dan tak seorang pun bisa menemukan jejak dan jalur yang harus dituju. Bahkan Rasulullah SAW dan seluruh Rasul yang diutus Allah SWT ke dunia ini juga mempunyai guru. Rasulullah SAW mendapat bimbingan Jibril AS dalam proses pencarian Tuhan. Itulah sebabnya kita harus mempunyai seorang guru yang akan menunjukkan jalan kepada Rasulullah SAW dan seterusnya kepada Allah SWT. Jangan berpikir bahwa kita dapat mencapai suatu tempat tanpa seorang guru, mustahil. Bila kita menempuh jalan sendiri, kita tidak akan mencapai suatu tempat karena jika kita kehilangan jejak, akan benar-benar tersesat. Oleh sebab itu gunakanlah seorang pemandu yang mengetahui jalan yang kalian tempuh, yaitu orang yang pernah melalui jalan itu sebelumnya, sehingga dia menjadi berpengalaman. Dia akan mengantarmu dan membimbingmu langsung menuju tujuanmu tanpa pergi ke sana ke mari, atau ke suatu tempat yang bisa menyesatkanmu.
Itulah sebabnya mengapa seluruh Tarikat mempunyai Silsilah yang merupakan mata rantai Guru-Guru yang sambung-menyambung dan kembali secara langsung, tanpa interupsi kepada Rasulullah SAW. Inilah yang kita butuhkan, suatu jalinan langsung. Kita tidak menginginkan suatu mata rantai yang terputus di suatu tempat. Suatu pipa yang tertanam di dalam tanah dan membawa air dari satu desa ke desa yang lain harus benar-benar terjalin dengan baik. Jika terdapat satu lubang di suatu tempat, air itu tidak akan sampai. Jika mata rantai Wali itu terputus, kita tidak akan sampai kepada Rasulullah SAW.
Jika kita bertanya kepada seluruh manusia di muka bumi apa Agama anda, mereka mengatakan, “Kami adalah pemeluk Budha, Hindu, Kristen, Judaisme, atau Yoga,” atau suatu bentuk agama dan kepercayaan lainnya. Jika kita bertanya kepada mereka, “Siapa guru kalian?” Mereka akan menjawab, “si Anu dan Anu,” lalu siapa guru dari si Anu dan Anu tadi?
Sekarang kita bukannya ingin menentang suatu agama atau kepercayaan, karena semuanya itu akan mengantarkan kalian menuju tujuan masing-masing, tetapi mengertilah apa yang kami tanyakan, siapa guru dari guru kalian tadi? Orang itu tidak akan tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Seseorang mungkin akan menjawab, “Kepercayaannya berasal dari ajaran mistik dari leluhur mereka yang telah berusia 2.000, 3.000, atau 6.000 tahun.” Lalu bagaimana kondisi “pipanya” dalam kurun waktu ribuan tahun itu? Siapa guru-guru yang membentuknya, guru-guru dan Guru Besar yang meneruskannya? Tidak ada yang mengetahuinya, mereka hanya mengenal dua, tiga atau empat guru, setelah itu tidak ada lagi.
Sebuah pohon yang tidak berakar tidak akan menghasilkan buah. Pohon yang perakarannya tidak kuat akan mudah diterpa angin karena pondasinya sangat lemah. Seorang guru tidak boleh “mencantelkan diri,” begitu saja tanpa orang-orang mengetahui siapa gurunya, siapa guru-guru sebelumnya sampai guru yang mendirikan jalur tersebut. Itulah sebabnya guru-guru Sufi merupakan guru-guru yang saling terhubung dan merupakan guru-guru terkuat di dunia, mereka mempunyai hubungan yang benar, mereka mengetahui para leluhur mereka. Jika anda tidak mengetahui leluhur anda, maka anda tidak akan terhubung ke mana-mana atau tidak mengetahui ke mana anda terhubung.
Dari Budha hingga sekarang, bisakah seseorang menghitung jumlah guru-gurunya? Atau dalam agama Hindu? Bagaimana dengan agama Sikh? Atau filosofi China? Jelaskan mengenai Silsilah guru-guru mereka, atau paling tidak sebutkan nama-nama mereka sejak 3.000 tahun yang lalu. Kami menginginkan mata rantai yang tidak terputus, tanpa ada satu yang hilang. Kalian tidak akan menemukan mata rantai seperti itu, bahkan dalam spiritualitas Kristen atau filosofi Yahudi, kita hanya bisa menemukannya dalam Sufisme. Dan tanpa mata rantai seperti itu kita tidak bisa pergi ke mana-mana,Karenanya setiap orang membutuhkan guru Sufi untuk mengantarkannya menuju tujuan masing-masing.
Ini adalah pengetahuan yang diambil dari hati Sayyidina Muhammad SAW dan dibawakan melalui Silsilah guru-guru tersebut. Anda tidak bisa menemukannya di buku apa pun.
Rasulullah SAW menerima tiga Atribut dari Allah SWT, yaitu: pertama, beliau dibersihkan dengan Air Kehidupan dan diberikan kehidupan yang abadi. Kedua, beliau menerima Cahaya Ilahi. Pada saat itu, sebagaima yang telah kami katakan, beliau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh setiap orang dan berada dalam hati setiap orang. Itulah arti dari ayat, “Wa’lamuu anna fikum rasuulullah,” “Ketahuilah bahwa Rasulullah ada bersamamu, di antara kamu dan dalam dirimu” (al-Hujurat 7), karena beliau telah disandangkan dengan Cahaya Ilahi tersebut. Itulah sebabnya Rasulullah dapat mengetahui apa yang kita rasakan, bagaimana masa depan kita, apa yang kalian lakukan, dan apa yang akan terjadi baik di sini maupun di hari kemudian.
Yang ketiga, Rasulullah SAW menerima Kekuatan Ilahi dari Samudra Kekuatan Ilahi. Semua ini bersumber pada suatu pengetahuan tingkat tinggi dan harus dipahami dengan seksama. Itu adalah atribut dari “Bahrul Qudra,” Samudra Kekuatan, yang pernah diminta oleh Nabi Musa u namun tidak diberikan oleh Allah. Nabi Musa AS meminta agar Allah SWT memberinya kekuatan dari Samudra Kekuatan agar bisa berkata kepada sesuatu, “Jadilah!” dan jadilah dia, Allah I berkata, “Tidak, lihatlah gunung itu, Aku akan memberikan cahaya kepada gunung itu. Jika gunung itu tetap berdiri di tempatnya, engkau akan diberikan kekuatan itu, tetapi jika gunung itu melebur atau hancur, engkau tidak bisa menerima kekuatan itu, karena engkau pun akan hancur.” Dan ketika Allah SWT mengirimkan cahaya ke gunung itu, gunung itu menjadi hancur lebur, Nabi Musa AS pun jatuh pingsan (al-A’raf 143). Itulah sebabnya Allah I mengatakan bahwa kekuatan itu bukan untuknya melainkan untuk Rasul terakhir.
Allah SWT telah memberi Rasulullah SAW Samudra Kekuatan itu sehingga beliau bisa mengucapkan “Jadilah!” Maka jadilah dia—tanpa perlu meminta izin kepada Allah SWT karena beliau telah berenang dalam Samudra Kekuatan itu. Rasulullah SAW bersabda, “Maa shabballahu fii shadrii syay-an ilaa wa shababtuhu fi shadri Abii Bakri,” “Apa pun yang Allah berikan ke dalam hatiku, telah kuberikan pula ke dalam hati Abu Bakar Ash-Shiddiq RA” (Maybudi, Razi, Ajluni, Suyuti), kemudian Abu Bakar As-siddiq menyerahkan semuanya kepada Salman al-Farisi , Salman kepada Qasim , Qasim kepada Imam Jakfar Saddik seterusnya pada Abu Yazid Al Bisthami sampai kepada Syekh Bahauddin Naqsyabandy dan sampai sekarang kepada Guru kita. Inilah yang dinamakan Silsilah.
Bagi seorang Sufi tidak mempunyai jarak dengan nabi Muhammad walau dipisahkan sambung menyambung dengan 36 Ahli Silsilah kerena setiap Ahli Silsilah itu sesungguhnya Rohani mereka bersatu dengan Rohani Rasulullah SAW dan sudah pasti bergabung dengan Allah SWT. Muhammad bin Abdillah selaku manusia telah wafat meninggalkan kita 1400 tahun yang lalu, akan tetapi Nur Muhammad akan tetap abadi sepanjang zaman.
Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi (Ahli Silsilah ke-34) pernah menjelaskan dalam pantunnya :
Bukan Marabah Makan Padi, Marabah makan buah sikaduduk
Bukan di Mekkah tempat nabi, Nabi beserta kita duduk
Begitu dekatnya, begitu akrab dan mesranya para sufi merasakan hubungannya dengan Rasulullah dan Allah SWT
Jangan berpikir bahwa Allah menciptakan makhluk-Nya dan meninggalkannya begitu saja. Allah akan menyandangkan para Wali-Nya dan menyandangkan Rasulullah dengan Atribut dan Cahaya-Nya untuk menghindarkan orang dari penderitaan dan dosa menuju maqam yang tinggi di hari kemudian.
Ketika Salman al-Farisi RA, salah satu Wali terbesar yang muncul setelah Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq dan berasal dari Persia, mengetahui dari buku yang telah dibacanya dan melalui suatu tanda di luar kebiasaan yang muncul di gugusan bintang, yang menandakan bahwa Rasul terakhir akan muncul. Beliau tahu bahwa akan terjadi suatu peristiwa besar di dunia ini. Untuk pergi ke Mekkah, beliau menjual dirinya sebagai budak kepada beberapa orang yang pergi ke Mekkah, dan beliau mengiringi unta milik orang yang membelinya sepanjang 5.000 mil dari Persia ke Mekkah untuk bertemu Rasulullah SAW. Sekarang kita malah enggan untuk menempuh 20 atau 40 mil dengan kendaraan, dan mengatakan bahwa itu terlalu jauh. Lihatlah perjalanan para Wali yang sangat panjang dan jauh untuk bertemu dengan Rasulullah SAW
Kepada Para Wali diberikan Ilmu yang Maha Luas tidak akan habis diminum oleh Milyaran orang, kepada para Ahli Silsilah (Maha Guru) dititipkan Nur Muhammad sebagai faktor tak terhingga untuk menyelamatkan ummat manusia dari kehancuran. Abu Hurairah dalam hadits, “Shabba Rasulullah fii qalbi wi’aanaini fa ammaa ahaduhumaa fa batsats-tuhu bii khalqi wa ammal akhara law batsats-tuhu laquthi’a hadzal bul’uum,” “Rasulullah telah meletakkan dua jenis ilmu pengetahuan dalam hatiku. Satu pengetahuan telah kusebarkan kepada orang-orang, tetapi bila pengetahuan yang lainnya kukatakan, mereka akan memotong leherku” (Bukhari).
Allah membasuh hati Rasulullah dengan “Bismillah al-‘azhim,” Nama yang Terbesar. Sampai sekarang setiap Wali mencoba untuk mengetahui Nama Allah yang Terbesar, tetapi tidak ada yang mengetahuinya, karena rahasia itu belum dibukakan kepada seseorang, kecuali Rasulullah endiri yang telah menerima rahasia tersebut di dalam hatinya. Semua sekat dihilangkan dari hati Rasulullah tatkala Allah membasuh hatinya dengan air sungai Khawtsar, sebuah sungai di Surga yang diberikan kepada Rasulullah SAW manakala Allah SWT berfirman, “Innaa a’thaynaakal Khawtsar” (al-Khawtsar 1). Jika seseorang mandi di dalamnya, hatinya tidak akan pernah mati. Inilah sebabnya Rasulullah e bersabda, “Ana hayyun thariyyun fii qabri,” “Aku hidup dan tetap segar dalam kuburku” (Suyuti).
Ketika beliau baru berusia 1 jam, Rasulullah SAW bertanya kepada Allah SWT seolah-oleh beliau melihat-Nya, “Wahai Tuhanku, bagaimana dengan ummatku? Apakah Engkau akan membasuh ummatku dengan air dari sungai ini? Jika tidak, aku tidak mau dibasuh sendiri. Aku harus bersama ummatku, aku tidak bisa meninggalkan mereka.” Menurut Rasulullah SAW, ketika beliau meminta hal ini kepada Allah, Allah membasuh seluruh ummatnya dengan air dari Sungai Kehidupan itu. Allah I membasuh dan membersihkan hati mereka sampai menjadi bersih dan transparan seperti yang dimiliki Rasulullah, kemudian Allah menyerahkan mereka kepadanya, “Aku menyerahkan ummatmu dalam keadaaan bersih, suci, lemah lembut, pemurah, rendah hati, saling mencintai dan menghormati sesamanya. Apakah engkau menerimanya?” Rasulullah yang melihat mereka semua dalam keadaan bersih dan suci lalu berkata, “Aku menerimanya.” Ketika beliau mengatakan akan membawa mereka, Allah menunjukkan kepadanya bagaimana mereka akan membuat banyak dosa ketika diturunkan ke dunia ini. Rasulullah bersabda, “Wahai Tuhanku, apa yang telah Kau lakukan?” Allah menjawab, “Lupakan saja, cahaya tidak akan musnah dari dalam hati mereka. Mereka akan menutupi cahaya itu dengan kegelapan, tetapi itu akan seperti lap, dan Aku akan memberimu Awliya yang akan menjadi pembantumu agar mereka dapat membersihkan dan mengkilapkan hati mereka.”
Setelah Rasulullah menerima ummatnya dengan cahaya mereka, dan setelah Allah menunjukkan dosa-dosa yang akan mereka lakukan, Rasulullah meminta beberapa pembantu. Dengan segera Allah memberinya 7.007 Wali Naqsybandi untuk membantu beliau membersihkan ummatnya. Di antara mereka terdapat 313 Wali yang tingkatannya tinggi. Dan di antara mereka terdapat 36 Guru Besar dari Ahli Silsilah, jalan kita menuju Rasulullah SAW. Mereka hidup disetiap zaman apabila satu orang berlindung kehadirat Allah SWT maka akan digantikan oleh penerusnya sehingga seluruh Ilmu Rasulullah tersampaikan kepada ummatnya walau terbentang jarak ribuan tahun. Ketigapuluh Enam Guru Besar mencoba melakukan yang terbaik untuk membersihkan setiap orang dari dosa-dosanya melalui cahaya yang telah diberikan Allah ke dalam hati mereka. Beruntunglah bahwa kita berada di tangan salah satu Guru Besar tersebut—Guru Besar terakhir dalam silsilah ini, Maha Guru yang ketigapuluh Enam yang sangat Keramat.
Tuesday, July 30, 2013
PENGHUNI SYURGA
Penghuni Surga
Suatu ketika Nabi Muhammad saw. duduk di masjid dan berbincang bincang dengan sahabatnya. Tiba-tiba beliau bersabda: “Sebentar lagi seorang penghuni surga akan masuk kemari.” Semua mata pun tertuju ke pintu masjid dan pikiran para hadirin membayangkan seorang yang luar biasa. “Penghuni surga, penghuni surga,” demikian gumam mereka.
Beberapa saat kemudian masuklah seorang dengan air wudhu yang masih membasahi wajahnya dan dengan tangan menjinjing sepasang alas kaki. Apa gerangan keistimewaan orang itu sehingga mendapat jaminan surga? Tidak seorang pun yang berani bertanya walau seluruh hadirin merindukan jawabannya.
Keesokan harinya peristiwa di atas terulang kembali. Ucapan Nabi dan “si penghuni” surga dengan keadaan yang sama semuanya terulang, bahkan pada hari ketiga pun terjadi hal yang demikian.
Abdullah ibnu ‘Amr tidak tahan lagi, meskipun ia tidak berani bertanya dan khawatir jangan sampai ia mendapat jawaban yang tidak memuaskannya. Maka timbullah sesuatu dalam benaknya. Dia mendatangi si penghuni surga sambil berkata: “Saudara, telah terjadi kesalahpahaman antara aku dan orang-tuaku, dapatkah aku menumpang di rumah Anda selama tiga hari?“
Tentu, tentu…,” jawab si penghuni surga.”
Rupanya, Abdullah bermaksud melihat secara langsung “amalan” si penghuni surga.
Tiga hari tiga malam ia memperhatikan, mengamati bahkan mengintip si penghuni surga, tetapi tidak ada sesuatu pun yang istimewa. Tidak ada ibadah khusus yang dilakukan si penghuni surga. Tidak ada shalat malam, tidak pula puasa sunnah. Ia bahkan tidur dengan nyenyaknya hingga beberapa saat sebelum fajar. Memang sesekali ia terbangun dan ketika itu terdengar ia menyebut nama Allah di pembaringannya, tetapi sejenak saja dan tidurnya pun berlanjut.
Pada siang hari si penghuni surga bekerja dengan tekun. Ia ke pasar, sebagaimana halnya semua orang yang ke pasar. “Pasti ada sesuatu yang disembunyikan atau yang tak sempat kulihat Aku harus berterus terang kepadanya,” demikian pikir Abdullah.
“Apakah yang Anda perbuat sehingga Anda mendapat jaminan surga?” tanya Abdullah.
“Apa yang Anda lihat itulah!” jawab si penghuni surga.
Dengan kecewa Abdullah bermaksud kembali saja ke rumah, tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh si penghuni surga seraya berkata: “Apa yang Anda lihat itulah yang saya lakukan, ditambah sedikit lagi, yaitu saya tidak pernah merasa iri hati terhadap seseorang yang dianugerahi nikmat oleh Tuhan. Tidak pernah pula saya melakukan penipuan dalam segala aktivitas saya.”
Dengan menundukkan kepala Abdullah meninggalkan si penghuni surga sambil berkata: “Rupanya, yang demikian itulah yang menjadikan Anda mendapat jaminan surga.“
Kisah di atas disadur dari buku Faidh Al-Nubuwah. Petunjuknya demikian jelas, sehingga tidak perlu rasanya diberi komentar guna menjadi pelita hati. Saya hanya berkata: “Astaghfirullah, mampu-kah kita mengikuti jejaknya? Wallahu A’lam.[]
Sumber : “Lantera Hati, Kisah dan Hikmah Kehidupan” Karya Quraish ShihabNUR MUHAMMAD
Posted on Juni 24, 2008 by SufiMuda
Pokok dari ajaran agama adalah mengajarkan kepada ummatnya tentang bagaimana berhubungan dengan Tuhan, cara mengenal-Nya dengan sebenar-benar kenal yang di istilahkan dengan makrifat, kemudian baru menyembah-Nya dengan benar pula. Apakah agama Islam, Kristen, Hindu dan lain-lain, semuanya mengajarkan ajaran pokok ini yaitu bagaimana seseorang bisa sampai kehadirat-Nya. Karena itu pula Allah SWT menurunkan para nabi/Rasul untuk menyampaikan metodologi cara berhubungan dengan-Nya, tidak cukup satu Nabi, Allah SWT menurunkan ribuan Nabi untuk meluruskan kembali jalan yang kadangkala terjadi penyimpangan seiring berjalannya waktu.
Nabi Adam as setelah terusir dari syurga bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun bertobat kepada Allah SWT tidak diampuni, setelah Beliau berwasilah (teknik bermunajat) kepada Nur Muhammad barulah dosa-dosa Beliau diampuni oleh Allah SWT, artinya Allah mengampuni Adam as bukan karena ibadahnya akan tetapi karena ada faktor tak terhingga yang bisa menyambungkan ibadah beliau kepada pemilik bumi dan langit. Lewat faktor tak terhingga itulah maka seluruh permohonan Nabi Adam as sampai kehadirat Allah SWT. Faktor tak terhingga itu adalah Nur Muhammad yang merupakan pancaran dari Nur Allah yang berasal dari sisi-Nya, tidak ada satu unsurpun bisa sampai kepada matahari karena semua akan terbakar musnah kecuali unsur dia sendiri yaitu cahayanya, begitupulah dengan Allah SWT, tidak mungkin bisa sampai kehadirat-Nya kalau bukan melalui cahaya-Nya
Nur Muhammad adalah pancaran Nur Allah yang diberikan kepada Para Nabi mulai dari Nabi Adam as sampai dengan Nabi Muhammad SAW, dititipkan dalam dada para Nabi dan Rasul sebagai conductor yang menyalurkan energi Ketuhanan Yang Maha Dasyat dan Maha Hebat. Dengan penyaluran yang sempurna itu pula yang membuat nabi Musa bisa membelah laut, Nabi Isa menghidupkan orang mati dan Para nabi menunjukkan mukjizatnya serta para wali menunjukkan kekeramatannya. Karena Nur Muhammad itu pula yang menyebabkan wajah Nabi Muhammad SAW tidak bisa diserupai oleh syetan.
Setelah Rasulullah SAW wafat apakah Nur Muhammad itu ikut hilang?
Tidak! Nur tersebut diteruskan kepada Saidina Abu Bakar Siddiq ra sebagai sahabat Beliau yang utama sebagaimana sabda Nabi:
“ Tidak melebih Abu Bakar dari kamu sekalian dengan karena banyak shalat dan banyak puasa, tetapi (melebihi ia akan kamu) karena ada sesuatu (rahasia) yang tersimpan pada dadanya”
Pada kesempatan yang lain Rasulullah bersabda pula :
“Tidak ada sesuatupun yang dicurahkan Allah ke dadaku, melainkan seluruhnya kutumpahkan pula ke dada Abu Bakar Siddiq”.
Nur Muhammad akan terus berlanjut hingga akhir zaman, dan Nur itu pula yang terdapat dalam diri seorang Mursyid yang Kamil Mukamil yang wajahnya juga tidak bisa diserupai oleh syetan. Memandang wajah Mursyid hakikatnya adalah memandang Nur Muhammad dan sudah pasti memandang Nur Allah SWT.
Nabi SAW bersabda :
La yadhulunara muslimun ra-ani wal man ra-a man ra-ani wala man ra-a man ra-ani ai walau bisab’ina wasithah, fainnahum khulafa-li fi tablighi wal irsyadi, inistaqamu ala syarii’ati.
“Tidak akan masuk neraka seorang muslim yang melihat aku dan tidak juga (akan masuk neraka) yang melihat orang yang telah melihat aku, dan tidak juga (akan masuk neraka) orang yang melihat orang yang telah melihat aku, sekalipun dengan 70 wasithah (lapisan/antara). Sesungguhnya mereka itu adalah para khalifahku dalam menyampaikan (islam/sunahku) mengasuh dan mendidik (orang ramai), sekiranya mereka itu tetap istiqamah didalam syari’atku” (H.R. Al – Khatib bin Abd.Rahman bin Uqbah).
Makna melihat dalam hadist di atas bukan dalam pengertian melihat secara umum, karena kalau kita maknai melihat itu dengan penglihatan biasa maka Abu Jahal dan musuh-musuh nabi juga melihat beliau akan tetapi tetap masuk Neraka. Melihat yang dimaksud adalah melihat Beliau sebagai sosok nabi yang menyalurkan Nur Allah kepada ummatnya, melihat dalam bentuk rabithah menggabungkan rohani kita dengan rohani beliau.
Darimana kita tahu seseorang itu pernah melihat Nabi dan bersambung sampai kepada Beliau? Kalau melihat dalam pengertian memandang secara awam maka para ahlul bait adalah orang-orang yang sudah pasti punya hubungan melihat karena mereka adalah keturunan Nabi.
Akan tetapi karena pengertian melihat itu lebih kepada rabitah atau hubungan berguru, maka yang paling di jamin punya hubungan melihat adalah Para Ahli Silsilah Thariqat yang saling sambung menyambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Syukurlah bagi orang-orang yang telah menemukan seorang Guru Mursyid yang silsilahnya bersambung kepada Rasulullah SAW, yang selalu memberikan pencerahan dengan menyalurkan Nur Muhammad sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin, bermohon atas namanya niscaya Allah SWT akan mengabulkan do’a dan dari Mursyid lah Firman Nafsani dari Allah terus berlajut dan tersampaikan kepada hamba-Nya yang telah mendapat petunjuk.
Barulah kita tahu kenapa memandang wajah Mursyid itu bisa mengubah akhlak manusia yang paling bejat sekalipun, karena dalam wajah Mursyid itu adalah pintu langsung kepada Allah SWT.
Nabi Adam as diampuni dosanya dengan ber wasilah kepada Nur Muhammad, apa mungkin dosa kita bisa terampuni tanpa Nur Muhammad?
Marilah kita memuliakan Guru Mursyid kita sebagai bhakti kasih kita kepadanya, dari Beliaulah Nur Muhammad itu tersalurkan sehingga bencana sehebat apapun dapat ditunda, sesungguhnya Guru Mursyid itu adalah Guru kita dari dunia sampai ke akhirat kelak, jangan kita dengarkan orang-orang yang melarang memuliakan Guru sebagai Ulama pewaris Nabi sesungguhnya ajaran demikian itu baru muncul di abad ke-18, muncul akibat keberhasilan orang orientalis menghancurkan Islam dari dalam.
Ingat pesan dari Nabi SAW yang mulia :
“Muliakanlah Ulama sesungguhnya mereka adalah pewaris pada nabi, barang siapa memuliakan mereka maka telah memuliakan Allah dan Rasul-Nya” (H.R. Al – Khatib Al – Baghdadi dari Jabir R.A.)
Syukur yang tak terhingga bagi orang-orang yang telah menemukan ulama pewaris Nabi, yang apabila memandang wajahnya sama dengan memandang Nur Muhammad, wajah yang tidak bisa diserupai oleh syetan, dengan wajah itu pula yang bisa menuntun kita dalam setiap ibadah, dalam kehidupan sehari-hari, wajah yang kekal abadi, wajah Nur Muhammad.
Alhamdulillahhirabbil ‘Alamin
Suatu ketika Nabi Muhammad saw. duduk di masjid dan berbincang bincang dengan sahabatnya. Tiba-tiba beliau bersabda: “Sebentar lagi seorang penghuni surga akan masuk kemari.” Semua mata pun tertuju ke pintu masjid dan pikiran para hadirin membayangkan seorang yang luar biasa. “Penghuni surga, penghuni surga,” demikian gumam mereka.
Beberapa saat kemudian masuklah seorang dengan air wudhu yang masih membasahi wajahnya dan dengan tangan menjinjing sepasang alas kaki. Apa gerangan keistimewaan orang itu sehingga mendapat jaminan surga? Tidak seorang pun yang berani bertanya walau seluruh hadirin merindukan jawabannya.
Keesokan harinya peristiwa di atas terulang kembali. Ucapan Nabi dan “si penghuni” surga dengan keadaan yang sama semuanya terulang, bahkan pada hari ketiga pun terjadi hal yang demikian.
Abdullah ibnu ‘Amr tidak tahan lagi, meskipun ia tidak berani bertanya dan khawatir jangan sampai ia mendapat jawaban yang tidak memuaskannya. Maka timbullah sesuatu dalam benaknya. Dia mendatangi si penghuni surga sambil berkata: “Saudara, telah terjadi kesalahpahaman antara aku dan orang-tuaku, dapatkah aku menumpang di rumah Anda selama tiga hari?“
Tentu, tentu…,” jawab si penghuni surga.”
Rupanya, Abdullah bermaksud melihat secara langsung “amalan” si penghuni surga.
Tiga hari tiga malam ia memperhatikan, mengamati bahkan mengintip si penghuni surga, tetapi tidak ada sesuatu pun yang istimewa. Tidak ada ibadah khusus yang dilakukan si penghuni surga. Tidak ada shalat malam, tidak pula puasa sunnah. Ia bahkan tidur dengan nyenyaknya hingga beberapa saat sebelum fajar. Memang sesekali ia terbangun dan ketika itu terdengar ia menyebut nama Allah di pembaringannya, tetapi sejenak saja dan tidurnya pun berlanjut.
Pada siang hari si penghuni surga bekerja dengan tekun. Ia ke pasar, sebagaimana halnya semua orang yang ke pasar. “Pasti ada sesuatu yang disembunyikan atau yang tak sempat kulihat Aku harus berterus terang kepadanya,” demikian pikir Abdullah.
“Apakah yang Anda perbuat sehingga Anda mendapat jaminan surga?” tanya Abdullah.
“Apa yang Anda lihat itulah!” jawab si penghuni surga.
Dengan kecewa Abdullah bermaksud kembali saja ke rumah, tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh si penghuni surga seraya berkata: “Apa yang Anda lihat itulah yang saya lakukan, ditambah sedikit lagi, yaitu saya tidak pernah merasa iri hati terhadap seseorang yang dianugerahi nikmat oleh Tuhan. Tidak pernah pula saya melakukan penipuan dalam segala aktivitas saya.”
Dengan menundukkan kepala Abdullah meninggalkan si penghuni surga sambil berkata: “Rupanya, yang demikian itulah yang menjadikan Anda mendapat jaminan surga.“
Kisah di atas disadur dari buku Faidh Al-Nubuwah. Petunjuknya demikian jelas, sehingga tidak perlu rasanya diberi komentar guna menjadi pelita hati. Saya hanya berkata: “Astaghfirullah, mampu-kah kita mengikuti jejaknya? Wallahu A’lam.[]
Sumber : “Lantera Hati, Kisah dan Hikmah Kehidupan” Karya Quraish ShihabNUR MUHAMMAD
Posted on Juni 24, 2008 by SufiMuda
Pokok dari ajaran agama adalah mengajarkan kepada ummatnya tentang bagaimana berhubungan dengan Tuhan, cara mengenal-Nya dengan sebenar-benar kenal yang di istilahkan dengan makrifat, kemudian baru menyembah-Nya dengan benar pula. Apakah agama Islam, Kristen, Hindu dan lain-lain, semuanya mengajarkan ajaran pokok ini yaitu bagaimana seseorang bisa sampai kehadirat-Nya. Karena itu pula Allah SWT menurunkan para nabi/Rasul untuk menyampaikan metodologi cara berhubungan dengan-Nya, tidak cukup satu Nabi, Allah SWT menurunkan ribuan Nabi untuk meluruskan kembali jalan yang kadangkala terjadi penyimpangan seiring berjalannya waktu.
Nabi Adam as setelah terusir dari syurga bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun bertobat kepada Allah SWT tidak diampuni, setelah Beliau berwasilah (teknik bermunajat) kepada Nur Muhammad barulah dosa-dosa Beliau diampuni oleh Allah SWT, artinya Allah mengampuni Adam as bukan karena ibadahnya akan tetapi karena ada faktor tak terhingga yang bisa menyambungkan ibadah beliau kepada pemilik bumi dan langit. Lewat faktor tak terhingga itulah maka seluruh permohonan Nabi Adam as sampai kehadirat Allah SWT. Faktor tak terhingga itu adalah Nur Muhammad yang merupakan pancaran dari Nur Allah yang berasal dari sisi-Nya, tidak ada satu unsurpun bisa sampai kepada matahari karena semua akan terbakar musnah kecuali unsur dia sendiri yaitu cahayanya, begitupulah dengan Allah SWT, tidak mungkin bisa sampai kehadirat-Nya kalau bukan melalui cahaya-Nya
Nur Muhammad adalah pancaran Nur Allah yang diberikan kepada Para Nabi mulai dari Nabi Adam as sampai dengan Nabi Muhammad SAW, dititipkan dalam dada para Nabi dan Rasul sebagai conductor yang menyalurkan energi Ketuhanan Yang Maha Dasyat dan Maha Hebat. Dengan penyaluran yang sempurna itu pula yang membuat nabi Musa bisa membelah laut, Nabi Isa menghidupkan orang mati dan Para nabi menunjukkan mukjizatnya serta para wali menunjukkan kekeramatannya. Karena Nur Muhammad itu pula yang menyebabkan wajah Nabi Muhammad SAW tidak bisa diserupai oleh syetan.
Setelah Rasulullah SAW wafat apakah Nur Muhammad itu ikut hilang?
Tidak! Nur tersebut diteruskan kepada Saidina Abu Bakar Siddiq ra sebagai sahabat Beliau yang utama sebagaimana sabda Nabi:
“ Tidak melebih Abu Bakar dari kamu sekalian dengan karena banyak shalat dan banyak puasa, tetapi (melebihi ia akan kamu) karena ada sesuatu (rahasia) yang tersimpan pada dadanya”
Pada kesempatan yang lain Rasulullah bersabda pula :
“Tidak ada sesuatupun yang dicurahkan Allah ke dadaku, melainkan seluruhnya kutumpahkan pula ke dada Abu Bakar Siddiq”.
Nur Muhammad akan terus berlanjut hingga akhir zaman, dan Nur itu pula yang terdapat dalam diri seorang Mursyid yang Kamil Mukamil yang wajahnya juga tidak bisa diserupai oleh syetan. Memandang wajah Mursyid hakikatnya adalah memandang Nur Muhammad dan sudah pasti memandang Nur Allah SWT.
Nabi SAW bersabda :
La yadhulunara muslimun ra-ani wal man ra-a man ra-ani wala man ra-a man ra-ani ai walau bisab’ina wasithah, fainnahum khulafa-li fi tablighi wal irsyadi, inistaqamu ala syarii’ati.
“Tidak akan masuk neraka seorang muslim yang melihat aku dan tidak juga (akan masuk neraka) yang melihat orang yang telah melihat aku, dan tidak juga (akan masuk neraka) orang yang melihat orang yang telah melihat aku, sekalipun dengan 70 wasithah (lapisan/antara). Sesungguhnya mereka itu adalah para khalifahku dalam menyampaikan (islam/sunahku) mengasuh dan mendidik (orang ramai), sekiranya mereka itu tetap istiqamah didalam syari’atku” (H.R. Al – Khatib bin Abd.Rahman bin Uqbah).
Makna melihat dalam hadist di atas bukan dalam pengertian melihat secara umum, karena kalau kita maknai melihat itu dengan penglihatan biasa maka Abu Jahal dan musuh-musuh nabi juga melihat beliau akan tetapi tetap masuk Neraka. Melihat yang dimaksud adalah melihat Beliau sebagai sosok nabi yang menyalurkan Nur Allah kepada ummatnya, melihat dalam bentuk rabithah menggabungkan rohani kita dengan rohani beliau.
Darimana kita tahu seseorang itu pernah melihat Nabi dan bersambung sampai kepada Beliau? Kalau melihat dalam pengertian memandang secara awam maka para ahlul bait adalah orang-orang yang sudah pasti punya hubungan melihat karena mereka adalah keturunan Nabi.
Akan tetapi karena pengertian melihat itu lebih kepada rabitah atau hubungan berguru, maka yang paling di jamin punya hubungan melihat adalah Para Ahli Silsilah Thariqat yang saling sambung menyambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Syukurlah bagi orang-orang yang telah menemukan seorang Guru Mursyid yang silsilahnya bersambung kepada Rasulullah SAW, yang selalu memberikan pencerahan dengan menyalurkan Nur Muhammad sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin, bermohon atas namanya niscaya Allah SWT akan mengabulkan do’a dan dari Mursyid lah Firman Nafsani dari Allah terus berlajut dan tersampaikan kepada hamba-Nya yang telah mendapat petunjuk.
Barulah kita tahu kenapa memandang wajah Mursyid itu bisa mengubah akhlak manusia yang paling bejat sekalipun, karena dalam wajah Mursyid itu adalah pintu langsung kepada Allah SWT.
Nabi Adam as diampuni dosanya dengan ber wasilah kepada Nur Muhammad, apa mungkin dosa kita bisa terampuni tanpa Nur Muhammad?
Marilah kita memuliakan Guru Mursyid kita sebagai bhakti kasih kita kepadanya, dari Beliaulah Nur Muhammad itu tersalurkan sehingga bencana sehebat apapun dapat ditunda, sesungguhnya Guru Mursyid itu adalah Guru kita dari dunia sampai ke akhirat kelak, jangan kita dengarkan orang-orang yang melarang memuliakan Guru sebagai Ulama pewaris Nabi sesungguhnya ajaran demikian itu baru muncul di abad ke-18, muncul akibat keberhasilan orang orientalis menghancurkan Islam dari dalam.
Ingat pesan dari Nabi SAW yang mulia :
“Muliakanlah Ulama sesungguhnya mereka adalah pewaris pada nabi, barang siapa memuliakan mereka maka telah memuliakan Allah dan Rasul-Nya” (H.R. Al – Khatib Al – Baghdadi dari Jabir R.A.)
Syukur yang tak terhingga bagi orang-orang yang telah menemukan ulama pewaris Nabi, yang apabila memandang wajahnya sama dengan memandang Nur Muhammad, wajah yang tidak bisa diserupai oleh syetan, dengan wajah itu pula yang bisa menuntun kita dalam setiap ibadah, dalam kehidupan sehari-hari, wajah yang kekal abadi, wajah Nur Muhammad.
Alhamdulillahhirabbil ‘Alamin
Subscribe to:
Posts (Atom)
Rahasia Menyingkap Ilmu Laduni
Menyingkap Rahasia Ilmu (Laduni) Rahasia ahli kitab yang mampu memindahkah kursi Ratu Bilkis sebagaimana di kisahkan Al qur an hingga ...
-
SHOLAWAT NABI KHIDIR Bismillah, saya ijazahkan buat sodara semua sholawat nabi khidir yang kegunaanny multi fungsi. Diamalkan dengan ikhl...