HAKIKAT RUH PENDAMPING
+ Ibumu meninggal ya?
-Ya. Sudah dua bulan lalu ibu saya meninggal. Kamu kok tahu?
+Apakah ibumu orangnya kecil pendek, suka mengenakan jarik dan masih sehat meski usianya 89 tahun?
-Kamu kok bisa tahu siapa yang memberitahumu? Kau kan nggak pernah ke desaku bertemu ibuku?
+ …….(diam sedang melihat ruh seorang perempuan tua di samping tersebut)
-ya saya anak tertua dan paling dekat dengan ibu saya
+Berarti yang memberi tahu saya tadi adalah ibumu yang sekarang jadi ruh pendampingmu.
-Oh, gitu ya? Saya masih mencintai ibu
+Itulah yang membuat ibumu juga betah untuk mendampingimu
-Setiap ibadah, saya usahakan selalu berdoa agar ibu dan bapak almarhum mendapatkan perlindugan Tuhan.
+Itulah keharusan agar kamu juga selalu diberi petuah dan didoakan olehnya.
-Matur nuwun
Bagi sebagian kalangan yang mendalami kebatinan, kemampuan untuk melihat ruh sudah bukan hal yang aneh. Termasuk juga kemampuan untuk bersahabat akrab dan saling membantu. Pada diri manusia yang paling inti, ada ruh. Dialah diri sejati yang menjadi guru sejati dari akal dan tubuh fisik kita. Kalau kita biasa mengatakan “dengarkan hati nuranimu” itu artinya dengarkanlah suara ruh(ani) mu.
Hakikat keberadaan ruh sebenarnya juga bisa dinalar dengan ilmu pengetahuan. Sejak lama, para ilmuwan mengamati bahwa obyek-obyek makro di angkasa atau disebut bintang adalah satu pusat dengan sekumpulan planet. Planet itu juga dikelilingi lagi satelit-satelit. Sebagaimana sistem tata surya, matahari dikelilingi 9 planet. Begitu pula dengan obyek-obyek ukuran mikro seperti atom. Di satu butir atom, terdapat pula nukleus yang dikelilingi oleh eketron-elektron yang bergerak.
Sudah lama diketahui pula oleh kalangan ahli kebatinan Barat dan Timur termasuk para Yogi, bahwa ruh manusia adalah ruh utama yang dikelilingi oleh ruh-ruh lain yang disebut dengan ruh pendamping (di jawa konsep ruh pendamping itu disebut: sedulur papat, sementara di Arab merujuk pada malaikat.atau mungkin disebut dengan jin pendamping?). Jadi setiap sistem ruh pada satu diri manusia terdiri dari lima ruh.
Dari lima ruh itu, setidaknya ada empat kemungkinan kombinasi yang terjadi. Pertama, ruh utama adalah pria dan keempat ruh pendamping adalah pria. Kedua, ruh utama adalah wanita dan keempat ruh pendamping adalah wanita.Ketiga, ruh utama adalah pria dan ruh pendampingnya adalah 2 pria 2 wanita. Keempat, ruh utama adalah wanita dan ruh pendampingnya adalah 1 wanita dan 3 pria.
Terdapat kemungkinan adanya lebih dari satu atau kurang dari 4 ruh pendamping. Para ruh pendamping ini bisa saja berganti. Misalnya seseorang mungkin tadinya mempunyai ruh pendamping pria tetapi setelah beberapa lama, ruh pendamping pria ini pergi dan digantikan oleh seorang ruh wanita. Perubahan seperti ini akan mengakibatkan perubahan emosi, mental dan kondisi spiritual ruh utama yang bersangkutan.
Ahli-ahli kebatinan percaya bahwa baik ruh utama maupun ruh pendamping memiliki kehidupan yang otonom/mandiri/independen. Ruh sama seperti matahari dan bulan keduanya terpisah secara otonom dalam garis edar hidupnya masing-masing. Perbedaan antara ruh utama dan ruh pendamping adalah bahwa tingkat kemampuannya. Ruh utama akan mempengaruhi ruh-ruh pendampingnya, sedangkan tingkat kemampuan ruh pendamping hanya akan mempengaruhi diri mereka sendiri dan sangat sedikit untuk mampu mempengaruhi ruh utama.
Secara umum ruh pendamping adalah ruh yang mempunyai hubungan pribadi yang sangat erat dengan ruh utama. Bila bukan anggota keluarganya, juga para leluhurnya, atau bahkan teman-teman dekatnya. Ruh-ruh pendamping adalah ruh-ruh yang mengawasi ruh utama. Para ahli kebatinan yang melakukan penyelidikan mengenai karakter dan nasib seseorang berdasarkan pengamatan mereka tentang ruh-ruh pendmping orang yang bersangkutan. Semakin tinggi kemampuan ruh pendamping, semakin tinggi pula kemampuan ruh utama. Semakin rendah dan lemah kemampuan ruh pendamping maka semakin lemah pula kemampuan ruh utama untuk mencapai hidup yang lurus dan sukses.
Bila dikatakan bahwa ruh utama sebagai nukleus dari atom dan ruh pendamping sebagai elektron-elektron, maka perubahan jumlah elektron kan mengubah secara dramatis sifat atom itu sendiri. Hukum kegaiban sesungguhnya sama dengan prinsip fisika yaitu bergerak menuruti aturan yang sah dan berlaku sebagai derivat dari hukum Tuhan.
Banyak orang yang tidak menyadari adanya ruh pendamping mereka. Bahkan yangtragis, banyak pula yang menolak keberadaan ruh-ruh pendamping mereka sendiri. Mereka hanya memahami manusia hanyalah materi fisiknya dan tidak percaya adanya ruh. Padahal di dalam agama apapun, pasti ada konsep tentang ruh ini. Kalau kita mempelajari secara metafisis, berbagai tradisi yang sudah dijalani oleh para nenek moyang dulu sebenarnya sangat memperhatikan keberadaan ruh pendamping ini. Berbagai tradisi slametan, misalnya, selain berdimensi sosial (horizontal) namun juga untuk menghormati dan rasa berterima kasih kepada para ruh pendamping yang demikian setia untuk menemani kita selama hidup.
Namun bila saran ruh pendamping (para leluhur kita dulu) ini diabaikan bahkan cenderung ditolak dan bahkan kepercayaan adanya mereka dituduh sebagai bid’ah/takhayul maka mereka akan pergi dan diganti dengan ruh-ruh pendamping yang lebih kasar bahkan bisa jadi ruh pendamping yang jahat. Nah, sekarang mana yang kita pilih? Berteman dengan ruh pedamping kita dengan cara menghormati dan menyayangi mereka atau sebaliknya, memusuhi dan mengusir mereka dari hidup kita? Semua berpulang pada keyakinan masing-masing.
Friday, November 24, 2023
ILMU KESEMPURNAAN MENGGAPAI KESADARAN RUH
ILMU KESEMPURNAAN MENGGAPAI KESADARAN RUH
Seperti rerumputan, aku tumbuh berkali-kali ditepian
sungai yang deras mengalir
Selama ribuan tahun aku hidup, berkarya
Dan berusaha dalam beraneka ragam tubuh
Waktu melaju tiada henti-hentinya,
seperti setetes air aku menyatu dengan lautan
Tapi saksikanlah bagaimana aku menyatu dari situ
Sebagaimana embun aku melayang-layang
diatas samudera keabadian
Dan muncul sebagai gelombang yang menderu dilautan
-Mansyur Al Hallaj-
Manusia yang sudah bisa mengendalikan kerja akal dan hati akan lebih mudah mengenal tuhan daripada mereka yang masih terkungkung pada diri yang hanya berorientasi pada fisik semata. Lebih tinggi lagi, sebagian manusia yang sudah bisa mengaktifkan kerja akal Fikr sebagaimana firman Allah ta’ala: afala tatafakkaruun. Dengan fikr ini manusia sudah mampu menjangkau hal-hal yang tidak tampak di dunia ini. Mari kita bedah hal ini secara lebih detail dengan tujuan agar kita bisa bertambah wawasan sekaligus berani mencoba untuk meluruskan NIAT DAN LAKU MENEMBUS ALAM MIKRAJ….
Sangat banyak faktor yang dapat menghambat evolusi jiwa/ruhani kita dalam pencapaian tingkat yang lebih sempurna. Agar di dalam menghadap menuju Sang Sumber penuh dengan kepasrahan untuk menyatu ke dalam relung-relung keabadian. Faktor penghambat itu antara lain adalah gambaran, khayalan, lamunan atau anggapan-anggapan yang merintangi dan menghalangi atau mengganggu diri kita dalam mencapai derajat tinggi disisiNya. Haruslah segala rintangan itu dibuang jauh-jauh, harus disingkirkan. Segala emosi yang melekat pada diri kita disaat berinteraksi dengan keduniaan, hapuslah semuanya. Supaya jiwa kita dan semangat kita berkembang dengan teguh serta bebas sehingga dapat memantapkan kepercayaan kepada diri pribadi kita sebagaimana yang telah kita saksikan di alam Mi’raj.
Adapun yang sering menimbulkan halangan itu adalah berasal dari diri sendiri, yaitu perasaan kita yang sering merasa kecewa, marah, ragu, merasa rendah, dhaif, merasa bodoh, bimbang, khawatir, suka, duka dan gembira yang selalu mudah untuk dikuasai oleh emosi kita. Hal ini merintangi diri kita dalam penyaksian terhadap NUR ILAHI yang sangat jauh dari cacat dan kekurangan sedikitpun. Buanglah jauh-jauh pikiran yang menganggap remeh apa yang telah kita saksikan, memang setiap individu berbeda-beda kadar penyaksiannya, tetapi bagi kita yang belum mencapai tingkat penyaksian yang sempurna atau sedikitnya tawhid (menyatu) terhadap Cahaya yang kita saksikan untuk memasuki lorong NURUN ALA NURRIN dalam gilang-gemilang kemegahan Cahaya-Nya, jangan lantas berpikir Cahaya yang ada di dalam diri kita itu kalah dengan Cahaya yang ada di luar.
Itu adalah suatu hal yang amat buruk dan keburukannya (akibatnya) akan menimpa dirinya sendiri. Berusahalah dengan kesungguhan yang mantap memperkuat karep (tekad) kita dalam mengikuti kehendak Tuhan, dengan tuntunan kitab yang ada dalam diri pribadi kita masing-masing. Muliakanlah, Agungkanlah, sanjunglah dan hormatilah sebagai barang yang amat berharga yang ada pada diri pribadi kita. Tebalkanlah keyakinan kita dan sentausakanlah Iman kita serta pergunakan kejujuran hati kita untuk menghindari perbuatan yang sesat. Usahakanlah agar kita selalu ingat dan waspada, bijaksana dan selalu berbuat kebajikan. Perhatikan hasil dan keuntungan yang keluar dari prosesnya pikiran pribadi yang baik (Positive Thingking), disertai dengan laku yang benar. Berdasarkan pada kesopanan dan kesantunan serta kejujuran, menggunakan pikiran yang tajam, jernih dan merdeka.
Singkirkanlah sifat-sifat yang buruk, yaitu menuruti hawa nafsu yang rendah dan juga hilangkanlah sifat-sifat yang mementingkan diri sendiri serta pandangan yang keliru dan picik. Bertindaklah untuk mengikuti jalan utama. Sempurnakanlah dalam memelihara keimanan yang teguh untuk mendekati dan memegang kesempurnaannya. Agar nanti kita tidak akan kekurangan penerangan dalam perjalanan menuju ketentraman dimana kita akan menerima warisan keberkahan yang abadi. Maka tiada lain bagi kita yang masih baru dalam mengenal dan berusaha akrab dengan diri pribadi kita, haruslah melatih diri dengan pekerti luhur, memberi dorongan kepada tujuan yang semestinya. Beruzlah atau Tafakur untuk berusaha membuang (melepaskan) beban sampah dikepala. Berkonsentrasi, kemudian mencurahkan segenap cipta kearah sasaran yang sering kita sebut RUPA SEJATI, sebagaimana kita semua saksikan.
Hendaklah TAFAKUR itu dilakukan dengan rutin dan dengan penuh kesungguhan dalam melewati fase-fase untuk mencapai tafakur sempurna yang penuh dengan kenikmatan. Karena telah mampu mengalahkan diri sendiri dari tabiat-tabiatnya kearah negatif (Nafsu rendah) dan membawa ke dalam pimpinan yang telah disinari Cahaya Keluhuran (Cahaya Nur Muhammad) Sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an, bahwa dalam diri setiap manusia ada rasul yang harus dijadikan panutan. “Ketahuilah bahwa pada engkau ada Rasul Allah, Dia dalam banyak urusan selalu mengikuti engkau, tetapi jika engkau tidak mengikuti dia tentulah engkau akan mendapat kesusahan, maka Allah menjadikan engkau Cinta kepada keimanan dan menjadikan Iman suatu hiasan dalam hatimu, dan menjadikan engkau benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Yang demikian itulah orang-orang yang mengikuti Jalan lurus.” (QS. Al Hujarat , 49 ayat 7 )
Untuk itulah, bagi para penempuh jalan spiritual harus terus-menerus istiqomah memperbaiki diri, meningkatkan kadar pencerahan ruhani kita agar evolusi ruhani kita semakin maju ketingkat/maqam yang lebih baik, dari hari kehari. Sehingga kita tidak mengalami stagnasi/berhenti ditempat atau bahkan mundur dan melupakan amanat yang telah diberikan, yaitu Cahaya yang ada pada diri kita masing-masing.
SIFAT 20
Sasaran evolusi ruhami manusia sesungguhnya adalah meningkatkan kemampuan sifat 20 yang dimiliki oleh Ruhani kita. Diri kita akan semakin peka dan sensitif apabila kita semakin sering berlatih, bertafakur, meditasi dan sering melakukan Laku Mi’raj. Diri sejati yang didiami oleh sifat Allah antara lain sifat Ilmu dan bashar, akan memberikan petunjuk kepada kita terhadap permasalahan yang kita hadapi. Sehingga petunjuk yang kita dapatkan menjadi solusi dan jalan keluar terhadap permasalahan kita. Apabila kita tertidur kemampuan dari Jiwa/ruhani kita akan lebih dominan atau bangkit.
Hal ini terjadi dikarenakan ruhani kita terlepas dari pengaruh fisik yang selama seharian selalu lebih dominan mempengaruhi hidup keseharian kita. Beliau juga menjelaskan perbedaan antara Mati, Tidur dan Tafakur serta Laku Mi’raj sangat tipis sekali perbedaannya. Perkara Mati, Tidur dan Tafakur (Mi’raj) sama-sama mengalami disfungsi pengaruh fisik. Mulai dari panca indra dan fungsi fa’al dalam diri kita. Perbedaan yang mencolok hanya pada proses mengalami SADAR atau tidak SADAR saat melepaskan pengaruh fisik dan fa’al pada diri kita.
Bila pengaruh fisik kita melemah, secara otomatis pengaruh ruhani kita akan menguat. Pengaruh ruhani inilah yang sering disebut dengan kemampuan Sifat 20. Ada sekitar 8 kemampuan/sifat yang muncul saat ruhani kita bangkit. Sifat ini adalah 8 dari 20 sifat yang kita kenal dalam pembahasan sifat 20. Sifat itu adalah sebagai berikut : Wujud (sifat 1), Baqa (kekal-sifat 3), Mukhalafah lil Hawadis (Tidak ada sama dengan apapun-sifat 4), Iradat (Kehendak/karsa-sifat 8), Hayat (Hidup-sifat 10), Sama’ (Mendengar-sifat 11) Bashar (Melihat-sifat 12), Qalam (Bersabda-sifat 13). Inilah kemampuan/sifat yang harus terus dipupuk sehingga semakin peka dan sensitif. Sehingga kita bisa untuk selalu ingat, Sabar dan Waspada terhadap segala ketentuan yang Allah tetapkan.
Dalam pandangan para Wali tanah Jawa, Roh manusia itu mengandung sifat dua puluh. Jadi sifat dua puluh hakikatnya diperuntukkan kepada manusia, karena sifat dari Maha Roh tidaklah terbatas, bukan terbatas hanya dua puluh sifat saja. Penjelasan sifat dua puluh menurut para Wali tanah Jawa, dapat diuraikan dengan penjelasan bahwa Sifat dua puluh dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu Wujud, yang dimasukkan dalam bagian Nafsiah, yang berarti kepribadian yang ditiupkan Allah kepada manusia. Qidam, Baqa, Mukhalafatu lil hawadits, Qiyamuhu bi nafsihi dan Wahdaniyah, yang dimasukkan dalam bagian Salbiyah, yang berarti keterangan dari kepribadian yang ditiupkan Allah kepada manusia. Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Qalam, yang dimasukkan dalam bagian Ma’nawi, yang berarti kemampuan dari kepribadian yang ditiupkan Allah kepada manusia. Qadiran, Muridan, ‘Alimun, Hayum, Sami’an, Bashiran dan Mutaqaliman, yang dimasukkan dalam bagian Ma’nawiyah, yang berarti keistimewaan dari kepribadian yang ditiupkan kepada Allah kepada manusia.
Jadi berdasarkan pembagian sifat dua puluh seperti tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Roh manusia itu ada Wujudnya, yaitu berupa Cahaya Yang Terang Benderang. Hal ini dikarenakan Roh manusia adalah bagian dari Maha Roh ( Allah ) dan kita telah membahas di awal tulisan ini, bahwa hakikat sesungguhnya dari Wujud Allah adalah Cahaya Diatas Cahaya atau Nurun ‘ala Nurin, sehingga Roh manusia yang merupakan bagian dari Maha Roh (Allah), Wujudnyapun adalah Cahaya. Dengan kata lain Roh manusia adalah percikan (emanasi) dari Cahaya Allah. Dalam doktrin tasawuf, Roh manusia sering disebut dengan istilah Nur Insan, sedangkan Allah sering disebut dengan Nur Allah. Nur Insan adalah percikan dari Nur Allah. Nur Insan (Roh manusia) ini mempunyai empat ciri (salbiyah) yaitu Qidam (tidak berawal dan berakhir), Baqa (kekal), Mukhalafatu lil hawadits (tidak serupa dengan apapun), Qiyamuhu bi nafsihi (bangkit dengan sendirinya), dan Wahdaniyah (tunggal).
Nur Insan (Roh manusia) ini juga mempunyai tujuh kemampuan (ma’nawi) yaitu Qudrat (kuasa), Iradat (kehendak), Ilmu (pengetahuan), Hayat (hidup), Sama’ (mendengar), Bashar (melihat) dan Qalam (berkata). Kemudian Nur Insan (Roh manusia) mempunyai tujuh keistimewaan (ma’nawiyah) yang diberikan oleh Maha Roh (Allah) yaitu Qadiran (Maha Kuasa), Muridan (Maha Berkehendak), ‘Aliman (Maha Berpengetahuan), Hayum (Maha Hidup), Sami’an (Maha Mendengar), Bashiran (Maha Melihat) dan Mutaqaliman (Maha Berkata). Keistimewaan tersebut diberikan Allah kepada manusia dengan syarat Roh manusia itu selalu berhubungan kepada-Nya. Keistimewaan ini bersifat “TANAZUL TARAQI” (turun naik) artinya keistimewaan tersebut hanyalah kehendak Allah semata dan biasanya keistimewaan ini muncul apabila Allah ingin memperlihatkan kekuasaannya kepada para makhluk-Nya.
Keberadaan Roh-Ku dalam jasmani manusia bersifat transenden dan imanen, artinya disatu sisi Roh-Ku tersebut berada dan menyatu dalam jasmani, disisi lain Roh-Ku tersebut berada di luar dan tidak menyatu dengan jasmani manusia. Inilah salah satu kelebihan Roh-Ku yang ditiupkan Allah kepada manusia. Ketika Roh-Ku ditiupkan ke dalam jasmani maka kedua bangunan itu saling berinteraksi, yang melahirkan kemampuan akal. Kata “Akal” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu “Iqal” yang berarti ikatan atau belengu. Akal merupakan suatu kemampuan dari tiga unsur ikatan yaitu cipta, rasa dan karsa.
TANAZUL(MENURUN)
Dzat Tuhan yang tidak bernama, karena tidak ada satu nama pun yang mampu mewakili keberadaanya. Maka ia di sebut Aku. Inilah tuhan sejati, hidup sejati, sebagaimana diidam-idamkan oleh syekh siti jenar. Inilah martabat ahadiyah dalam tataran martabat tujuh. Tuhan sejati atau Aku ini berdiri sendiri tiada berawal dan berakhir, serta maha esa. Dia sendiri dan ingin di kenal, namun tidak ada yang dapat mengenalnya karena tidak ada yang lain selain dirinya. Dia berkeinginan menciptakan makhluk agar makhluk tersebut mengenal-nya.
Tuhan menciptakan suatu makhluk dengan bahan dirinya, karena tidak ada bahan lain. Jadi makhluk yang akan dia ciptakan itu berasal dari dirinya sendiri, atau dengan kata lain makhluk itu bukan barang baru namun hanya penampakan lain dari rupa diri tuhan. Sebagaimana dijelaskan ibnu arabi awal penciptaan dimulai dengan iradah dari Allah Ta’ala. Sebagaimana firmanNya idza araada syai’an an yaqulalahu kun fayakun (jika dia telah berkehendak terhadap sesuatu, cukup dia mengatakan jadi’maka jadilah ia) segala sesuatu di alam semesta ini menjadi ada karena irodat atau kehendak Tuhan.
Penampakan tuhan dalam kualitas menurun agar lebih mudah di kenal. Dzat Tuhan terlalu suci untuk dikenal, dan nama Allah merupakan jembatan atau jalan tengah agar dia dapat lebih mudah dikenal. Tahapan ini biasa disebut dengan Martabat Wahdah.
Tuhan turun agar semakin mudah dikenali yakni Nur Muhammad. Nur Muhammad pada tahapan ini bersifat mendua, yakni selalu berpasang-pasangan sebagai cikal bakal penciptaan alam semesta. Tahapan ini biasa di sebut Martabat Wahidiyat. Bahan penciptaan alam semesta berasal dari Nur Muhammad pada martabat ini. Semuanya terkumpul menjadi satu.
Dari Nur Muhammad yang telah bersifat kemakhlukan ini, terurai menjadi bagian-bagian halus yang belum nampak. Itulah roh-roh atau alam arwah. Roh merupakan sumber kehidupan bagi tiap-tiap benda. Roh ini berasal langsung dari Tuhan, ibarat diembuskan dari dirinya. Kehidupan syarat mutlak bagi makhluk untuk dapat mengenal Tuhan, maka dia menjadikan roh-roh ini sebagai sumber kehidupan. Hidup makhluk ini berasal dari roh-roh ini.
Sumber kehidupan berupa roh ini tidak akan mampu mewakili keinginan Tuhan jika tidak disertai sarana atau wadah. Untuk itu, Tuhan menjadikan wadah bagi kehidupan tersebut. Nur Muhammad yang bersifat makhluk itu terurai menjadi bagian-bagian terpisah yang masih halus. Inilah alam misal. Di dalamnya terkumpul berbagai jenis makhluk, seperti Malaikat, jin, iblis, jiwa manusia , surga, neraka, dan sebagainya. Dalam Alam misal ini manusia sudah ada namun masih berbentuk jiwa. Ia belum memiliki raga. Selanjutnya Tuhan menampakkan Dzatnya sebagai wadah perbuatan, nama, dan sifatnya, sehingga muncullah alam ajsam.
Pada alam ajsam ini, Tuhan menampakkan diri secara menyeluruh. Raga adalah perwujudan rupa dirinya. Perbuatan, nama dan sifat alam semesta adalah wajahnya. Semua itu terbungkus dalam sifat kemakhlukan yang serba mendua, ada hitam dan putih, ada baik dan buruk, ada senang ada sedih. Jadi, hidup sebagai makhluk selalu diliputi sifat ketidaksempurnaan. Lain halnya Dzat Tuhan yang mandiri, langgeng, tunggal, tidak tersentuh rasa lapar, ngantuk, sakit dan sedih.
Setelah mengetahui hakikat diri secara menurun ini, maka tahulah bahwa alam semesta ini pada hakikatnya adalah gambaran rupa Tuhan. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, karena dibekali kemampuan untuk mendaki dan menyatu dengan Dzat maulana wajibul wujud hingga menjadikan dirinya sebagai wakil tuhan di dunia. Inilah manusia sempurna, manusia yang telah sampai pada hakikat dirianya, yakni Dzat yang sempurna. Hidup Sejati sebagaimana yang di ajarkan oleh para Wali, yang bermuara pada penyatuan kepada NYA.
TARAQI(MENDAKI)
Kehidupan yang di lihat orang-orang ini adalah kehidupan paling luar, fisik semata. padahal fisik atau jasmani ini adalah hijab atau penghalang Tuhan yang paling luar. Kebanyakan orang tertipu oleh penampakan jasmani ini. Manusia yang hidupnya hanya beroientasi pada fisik semata, ia tidak lebih seperti bangkai. Fisik manusia tidak ada bedanya dengan fisik hewan, tumbuhan, dan benda-benda bumi lainya.
Semuanya berasal dari unsur tanah, air, api, udara, kenyataanya hampir semua orang saat ini lebih disibukkan dengan urusan fisik ini. Menjadikan fisik ini sebagai tolak ukur dalam hidupnya. Banyak sekali contoh yang bisa di lihat dalam kehidupan sehari-hari kita. Maka lengkaplah kebanyakan manusia lebih disibukkan dengan urusan-urusan fisik semata sehingga semakin tebal dinding untuk dapa melihat Tuhan.
Manusia adalah makhluk yang berjiwa ia di beri anugerah akal untuk dapat berpikir. Inilah yang membedakan derajat manusia dengan makhluk yang lain. Manusia juga di beri anugerah hati agar dapat merasakan. Manusia yang telah mampu mengaktifkan akal dan hatinya berarti ia telah selangkah lebih maju di bandingkan manusia yang sekedar mengandalkan kelebihan fisik semata. Ia telah mampu menggunakan akal dan hatinya namun Tuhan memberikan akal dan hati inipun rupanya bertingkat-tingkat.
Kerja akal manusia yang paling bawah adalah ‘aql atau akal, sebagaimana di sebutkan dalam alqur’ANAFALAA TA’QILUN. Kerja akal ini adalah memikirkan segala sesuatu yang bersifat kealaman. Dengan menggunakan akal ini akan ditemukan kebenaran dan kesalahan serta kebaikan dan keburukan, dalam perspektif duniawi. Demikian pula dengan kerja hati ia juga memiliki beberapa tingkatan, yang terendah adalah qalb atau hati yang selalu berbolak-balik, kadang baik kadang buruk. Manusia yang hanya menggunakan kerja ‘aql dan qalb ini cenderung akan serakah pada dunia. Ia akan rakus mencari uang. Kalaupun berbuat baik, lebih sering hal tersebut di sertai dengan pamrih lainya.
Inilah hijab Tuhan yang lebih tipis dibandingkan dengan fisik. Setidaknya manusia yang sudah bisa mengendalikan kerja akal dan hati yang pertama ini akan lebih mudah mengenal tuhan daripada mereka yang masih terkungkung pada diri yang hanya berorientasi pada fisik semata. Lebih tinggi lagi, sebagian manusia yang sudah bisa mengaktifkan kerja akal kedua, yakni Fikr sebagaimana firman Allah ta’ala: afala tatafakkaruun. Dengan fikr ini manusia sudah mampu menjangkau hal-hal yang tidak tampak di dunia ini namun nyata kebenarannya seperti”: surga, neraka, malaikat, setan, pahala, dosa dan sebagainya.
Agama Islam diturunkan dengan membawa kabar gembira tentang adanya surga beserta kenikmatanya yang ada didalamnya. Juga membawa peringatan kepada manusia tentang adanya siksa yang pedih di akhirat kelak. Kebanyakan manusia sulit untuk dapat mengenal tuhan secara sempurna, maka Nabi Muhammad SAW diutus untuk memberikan jalan tengah agar mereka menyembah Tuhan sesuai kemampuanya.
SHOLAT
Dalam shalat itu terdapat empat perkara. Pertama, adalah ihram; kedua miraj, ketiga munajat, dan keempat tubadil. Yang dimaksud dengan ihram adalah penglihatan. Miraj adalah di atas penglihatan, yaitu hakikat tunggal. Munajat adalah satu perkataan dari satu penglihatan, yaitu hilangnya tunggal. Tubadil adalah merasakan gerak dirinya itu adalah gerak Tuhan sebagai hakikat tunggal. Jika empat perkara itu sudah terkumpul menjadi satu, maka hamba tersebut telah tenggelam pada zat Allah yang mutlak, dan telah berenang timbul pada sifat Hayyun (Hidup). Menurut Hukum hakikat, jika seseorang yang shalat belum seperti itu, maka termasuk penyembah berhala.
Shalat itu terdiri atas empat macam, yaitu : pertama, shalat syariaat dengan cara melakukan ruku, sujud, dan duduk. Kedua, shalat tarikat dengan cara menjernihkan hati dan perasaan kibir. Ketiga shalat hakikat dengan cara menjernihkan hati dan nafsu lawwamah dan amarah. Keempat, shalat marifat dengan cara hatinya terus menerus melihat Allah, dan meninggalkan selain Allah. Itulah yang disebut dengan shalat daim, yaitu hatinya selalu ingat kepada Allah. Namun tarikat ini tetap mengajarkan shalat sesuai dengan syariat dengan jiwa shalat daim.
MAKRIFAT SYUHUD
Tuhan itu nyata dalam diri hamba tanpa tabir. Untuk melihatnya melalui ruhani dengan proses : Jasad-Rahsa-Allah. Junaidi al-Baghdadi dan Abu Yazid al-Bustami berkata :Artinya : wujud itu sebagai penghalang. Tak lain dan tidak bukan wujudmu yang majazi. Maksudnya, dengan merasakan bahwa hamba itu berwujud, maka akan menjadi penghalang untuk marifat pada Allah. Dengan kata lain, seseorang tidak akan dapat fana jika merasa dirinya berwujud. Untuk itu proses yang ditempuh melaui : Jasad-rahsa (sirr)-Allah. Jasad lebur menjadi nyawa, nyawa lebur menjadi rahsa. Rahsa lebur sirna pulang pada jati dirinya, yaitu hanya Allah yang wujud yang tidak berubah. Hal ini seperti pernyataan Pangeran Giri : Pulang-mati-hilang. Yang mati adalah nafsu, yang pulang adalah rahsa, yang hilang adalah penglihatan jadi lebur pada Allah. Muhammad juga lebur pada Allah. Allah bersabda dalam hadis qudsi : Artinya : Manusia itu adalah rahsa (sirr) Ku, dan Aku adalah sirr manusia. Dari sini nampak bahwa hamba dan Tuhan itu berbeda, di mana sirr manusia digunakan untuk syuhud pada Allah. Setelah manusia mati, sirr kembali kepada Tuhan.
Orang-orang sufi telah membicarakan marifat dan tauhid dalam arti mengenal Tuhan secara langsung dengan pandangan batin yang telah mendapat pencaran-Nya, dan tenggalam dalam keesan-Nya yang mutlak itu sedemikian rupa, sehingga yang dipandang ada hanya Dia (Fariduddin Attar, 1905 : 127). Bagi sufi, nampaknya, Tuhan itu bukan hanya dikenal melalui dalil-dalil dan pembuktian akal atau melalui wahyu yang disampaikan oleh para nabi itu saja; tetapi dapat juga dikenal secara langsung, melalui pengalam ruhani, apabila mata hati yang berada dalam diri manusia itu mendapat pancaran sinar Ilahi -setelah mencapai tingkat kebeningan yang layak untuk menerima anugerah yang tidak ternilai itu. Tetapi, bila pengenalan langsung (marifah) itu telah dicapai, diri yang mengenal lalu kehilangan wujudnya dalam Wujud yang dikenal itu karena dalam pandangan orang arif yang sudah sampai ke sana, yang ada hanya satu saja; Allah. Di antara para sufi ada yang mengungkapkan pengalaman kesufianan seperti itu sebagai persatuan (ittihad) dengan Tuhan dan ada pula yang mengatakan bahwa Tuhan telah bertempat di dalam dirinya (hulul).
SENANTIASA BERDZIKIR
Metode berzikir tujuannya untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kita melakukannya dengan menjalani shalat, puasa, membaca al-Quran, naik haji dan berjihad. menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketis atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan selalu berusaha mensucikan hati. Zikir inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT. Setidaknya ada tujuh macam zikir mukadimah, sebagai pelataran atau tangga yang disesuaikan dengan tujuh nafsu manusia. Ketujuh mcam zikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai kepada Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam zikir itu sebagai berikut :
ZIKIR THAWAF, yaitu zikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan Laa ilaha ( ) sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah ( ) yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat berserangnya nafsu lawwamah.
ZIKIR NAFI ISTBAT, yaitu zikir dengan La ilaha illallah ( ), dengan lebih mengeraskan suara nafinya, La ilaha ( ), ketimbang itsbatnya, illallah ( ), yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam empunya asma Allah.
ZIKIR ITSBAT FAQAT, yaitu berzikit dengan illallah ( ) 3 kali, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
ZIKIR ISMU ZAT, yaitu zikir dengan ; Allah ( ) 3 kali, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
ZIKIR TARAQI, yaitu zikir ; Allah- Hu ( ), 2 kali. Zikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Zikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
ZIKIR TANAZUL, yaitu zikir Hu- Allah ( ) 2 kali. Zikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Zikir ini dimaksudkan agar seorang salik selalu memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
ZIKIR ISIM GHAIB, yaitu zikir Hu, Hu, Hu ( ), dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah ke dalam rasa
Ketujuh macam zikir di atas didasarkan kepada firman Allah ; Artinya : Dan sesungguhnya kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit), dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan Kami (Q.S 23 : 17).
Demikian apa yang bisa disampaikan pada kesempatan yang mulia ini. Semoga ada manfaatnya untuk kita semua….
Dalam ruang iman dan kebijaksanaan,
Kematian tubuh berarti kehidupan jiwa
Korbankanlah nafsu tubuh,
Hingga kau bisa tinggal dalam kesadaran alam ruh
Seperti rerumputan, aku tumbuh berkali-kali ditepian
sungai yang deras mengalir
Selama ribuan tahun aku hidup, berkarya
Dan berusaha dalam beraneka ragam tubuh
Waktu melaju tiada henti-hentinya,
seperti setetes air aku menyatu dengan lautan
Tapi saksikanlah bagaimana aku menyatu dari situ
Sebagaimana embun aku melayang-layang
diatas samudera keabadian
Dan muncul sebagai gelombang yang menderu dilautan
-Mansyur Al Hallaj-
Manusia yang sudah bisa mengendalikan kerja akal dan hati akan lebih mudah mengenal tuhan daripada mereka yang masih terkungkung pada diri yang hanya berorientasi pada fisik semata. Lebih tinggi lagi, sebagian manusia yang sudah bisa mengaktifkan kerja akal Fikr sebagaimana firman Allah ta’ala: afala tatafakkaruun. Dengan fikr ini manusia sudah mampu menjangkau hal-hal yang tidak tampak di dunia ini. Mari kita bedah hal ini secara lebih detail dengan tujuan agar kita bisa bertambah wawasan sekaligus berani mencoba untuk meluruskan NIAT DAN LAKU MENEMBUS ALAM MIKRAJ….
Sangat banyak faktor yang dapat menghambat evolusi jiwa/ruhani kita dalam pencapaian tingkat yang lebih sempurna. Agar di dalam menghadap menuju Sang Sumber penuh dengan kepasrahan untuk menyatu ke dalam relung-relung keabadian. Faktor penghambat itu antara lain adalah gambaran, khayalan, lamunan atau anggapan-anggapan yang merintangi dan menghalangi atau mengganggu diri kita dalam mencapai derajat tinggi disisiNya. Haruslah segala rintangan itu dibuang jauh-jauh, harus disingkirkan. Segala emosi yang melekat pada diri kita disaat berinteraksi dengan keduniaan, hapuslah semuanya. Supaya jiwa kita dan semangat kita berkembang dengan teguh serta bebas sehingga dapat memantapkan kepercayaan kepada diri pribadi kita sebagaimana yang telah kita saksikan di alam Mi’raj.
Adapun yang sering menimbulkan halangan itu adalah berasal dari diri sendiri, yaitu perasaan kita yang sering merasa kecewa, marah, ragu, merasa rendah, dhaif, merasa bodoh, bimbang, khawatir, suka, duka dan gembira yang selalu mudah untuk dikuasai oleh emosi kita. Hal ini merintangi diri kita dalam penyaksian terhadap NUR ILAHI yang sangat jauh dari cacat dan kekurangan sedikitpun. Buanglah jauh-jauh pikiran yang menganggap remeh apa yang telah kita saksikan, memang setiap individu berbeda-beda kadar penyaksiannya, tetapi bagi kita yang belum mencapai tingkat penyaksian yang sempurna atau sedikitnya tawhid (menyatu) terhadap Cahaya yang kita saksikan untuk memasuki lorong NURUN ALA NURRIN dalam gilang-gemilang kemegahan Cahaya-Nya, jangan lantas berpikir Cahaya yang ada di dalam diri kita itu kalah dengan Cahaya yang ada di luar.
Itu adalah suatu hal yang amat buruk dan keburukannya (akibatnya) akan menimpa dirinya sendiri. Berusahalah dengan kesungguhan yang mantap memperkuat karep (tekad) kita dalam mengikuti kehendak Tuhan, dengan tuntunan kitab yang ada dalam diri pribadi kita masing-masing. Muliakanlah, Agungkanlah, sanjunglah dan hormatilah sebagai barang yang amat berharga yang ada pada diri pribadi kita. Tebalkanlah keyakinan kita dan sentausakanlah Iman kita serta pergunakan kejujuran hati kita untuk menghindari perbuatan yang sesat. Usahakanlah agar kita selalu ingat dan waspada, bijaksana dan selalu berbuat kebajikan. Perhatikan hasil dan keuntungan yang keluar dari prosesnya pikiran pribadi yang baik (Positive Thingking), disertai dengan laku yang benar. Berdasarkan pada kesopanan dan kesantunan serta kejujuran, menggunakan pikiran yang tajam, jernih dan merdeka.
Singkirkanlah sifat-sifat yang buruk, yaitu menuruti hawa nafsu yang rendah dan juga hilangkanlah sifat-sifat yang mementingkan diri sendiri serta pandangan yang keliru dan picik. Bertindaklah untuk mengikuti jalan utama. Sempurnakanlah dalam memelihara keimanan yang teguh untuk mendekati dan memegang kesempurnaannya. Agar nanti kita tidak akan kekurangan penerangan dalam perjalanan menuju ketentraman dimana kita akan menerima warisan keberkahan yang abadi. Maka tiada lain bagi kita yang masih baru dalam mengenal dan berusaha akrab dengan diri pribadi kita, haruslah melatih diri dengan pekerti luhur, memberi dorongan kepada tujuan yang semestinya. Beruzlah atau Tafakur untuk berusaha membuang (melepaskan) beban sampah dikepala. Berkonsentrasi, kemudian mencurahkan segenap cipta kearah sasaran yang sering kita sebut RUPA SEJATI, sebagaimana kita semua saksikan.
Hendaklah TAFAKUR itu dilakukan dengan rutin dan dengan penuh kesungguhan dalam melewati fase-fase untuk mencapai tafakur sempurna yang penuh dengan kenikmatan. Karena telah mampu mengalahkan diri sendiri dari tabiat-tabiatnya kearah negatif (Nafsu rendah) dan membawa ke dalam pimpinan yang telah disinari Cahaya Keluhuran (Cahaya Nur Muhammad) Sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an, bahwa dalam diri setiap manusia ada rasul yang harus dijadikan panutan. “Ketahuilah bahwa pada engkau ada Rasul Allah, Dia dalam banyak urusan selalu mengikuti engkau, tetapi jika engkau tidak mengikuti dia tentulah engkau akan mendapat kesusahan, maka Allah menjadikan engkau Cinta kepada keimanan dan menjadikan Iman suatu hiasan dalam hatimu, dan menjadikan engkau benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Yang demikian itulah orang-orang yang mengikuti Jalan lurus.” (QS. Al Hujarat , 49 ayat 7 )
Untuk itulah, bagi para penempuh jalan spiritual harus terus-menerus istiqomah memperbaiki diri, meningkatkan kadar pencerahan ruhani kita agar evolusi ruhani kita semakin maju ketingkat/maqam yang lebih baik, dari hari kehari. Sehingga kita tidak mengalami stagnasi/berhenti ditempat atau bahkan mundur dan melupakan amanat yang telah diberikan, yaitu Cahaya yang ada pada diri kita masing-masing.
SIFAT 20
Sasaran evolusi ruhami manusia sesungguhnya adalah meningkatkan kemampuan sifat 20 yang dimiliki oleh Ruhani kita. Diri kita akan semakin peka dan sensitif apabila kita semakin sering berlatih, bertafakur, meditasi dan sering melakukan Laku Mi’raj. Diri sejati yang didiami oleh sifat Allah antara lain sifat Ilmu dan bashar, akan memberikan petunjuk kepada kita terhadap permasalahan yang kita hadapi. Sehingga petunjuk yang kita dapatkan menjadi solusi dan jalan keluar terhadap permasalahan kita. Apabila kita tertidur kemampuan dari Jiwa/ruhani kita akan lebih dominan atau bangkit.
Hal ini terjadi dikarenakan ruhani kita terlepas dari pengaruh fisik yang selama seharian selalu lebih dominan mempengaruhi hidup keseharian kita. Beliau juga menjelaskan perbedaan antara Mati, Tidur dan Tafakur serta Laku Mi’raj sangat tipis sekali perbedaannya. Perkara Mati, Tidur dan Tafakur (Mi’raj) sama-sama mengalami disfungsi pengaruh fisik. Mulai dari panca indra dan fungsi fa’al dalam diri kita. Perbedaan yang mencolok hanya pada proses mengalami SADAR atau tidak SADAR saat melepaskan pengaruh fisik dan fa’al pada diri kita.
Bila pengaruh fisik kita melemah, secara otomatis pengaruh ruhani kita akan menguat. Pengaruh ruhani inilah yang sering disebut dengan kemampuan Sifat 20. Ada sekitar 8 kemampuan/sifat yang muncul saat ruhani kita bangkit. Sifat ini adalah 8 dari 20 sifat yang kita kenal dalam pembahasan sifat 20. Sifat itu adalah sebagai berikut : Wujud (sifat 1), Baqa (kekal-sifat 3), Mukhalafah lil Hawadis (Tidak ada sama dengan apapun-sifat 4), Iradat (Kehendak/karsa-sifat 8), Hayat (Hidup-sifat 10), Sama’ (Mendengar-sifat 11) Bashar (Melihat-sifat 12), Qalam (Bersabda-sifat 13). Inilah kemampuan/sifat yang harus terus dipupuk sehingga semakin peka dan sensitif. Sehingga kita bisa untuk selalu ingat, Sabar dan Waspada terhadap segala ketentuan yang Allah tetapkan.
Dalam pandangan para Wali tanah Jawa, Roh manusia itu mengandung sifat dua puluh. Jadi sifat dua puluh hakikatnya diperuntukkan kepada manusia, karena sifat dari Maha Roh tidaklah terbatas, bukan terbatas hanya dua puluh sifat saja. Penjelasan sifat dua puluh menurut para Wali tanah Jawa, dapat diuraikan dengan penjelasan bahwa Sifat dua puluh dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu Wujud, yang dimasukkan dalam bagian Nafsiah, yang berarti kepribadian yang ditiupkan Allah kepada manusia. Qidam, Baqa, Mukhalafatu lil hawadits, Qiyamuhu bi nafsihi dan Wahdaniyah, yang dimasukkan dalam bagian Salbiyah, yang berarti keterangan dari kepribadian yang ditiupkan Allah kepada manusia. Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Qalam, yang dimasukkan dalam bagian Ma’nawi, yang berarti kemampuan dari kepribadian yang ditiupkan Allah kepada manusia. Qadiran, Muridan, ‘Alimun, Hayum, Sami’an, Bashiran dan Mutaqaliman, yang dimasukkan dalam bagian Ma’nawiyah, yang berarti keistimewaan dari kepribadian yang ditiupkan kepada Allah kepada manusia.
Jadi berdasarkan pembagian sifat dua puluh seperti tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Roh manusia itu ada Wujudnya, yaitu berupa Cahaya Yang Terang Benderang. Hal ini dikarenakan Roh manusia adalah bagian dari Maha Roh ( Allah ) dan kita telah membahas di awal tulisan ini, bahwa hakikat sesungguhnya dari Wujud Allah adalah Cahaya Diatas Cahaya atau Nurun ‘ala Nurin, sehingga Roh manusia yang merupakan bagian dari Maha Roh (Allah), Wujudnyapun adalah Cahaya. Dengan kata lain Roh manusia adalah percikan (emanasi) dari Cahaya Allah. Dalam doktrin tasawuf, Roh manusia sering disebut dengan istilah Nur Insan, sedangkan Allah sering disebut dengan Nur Allah. Nur Insan adalah percikan dari Nur Allah. Nur Insan (Roh manusia) ini mempunyai empat ciri (salbiyah) yaitu Qidam (tidak berawal dan berakhir), Baqa (kekal), Mukhalafatu lil hawadits (tidak serupa dengan apapun), Qiyamuhu bi nafsihi (bangkit dengan sendirinya), dan Wahdaniyah (tunggal).
Nur Insan (Roh manusia) ini juga mempunyai tujuh kemampuan (ma’nawi) yaitu Qudrat (kuasa), Iradat (kehendak), Ilmu (pengetahuan), Hayat (hidup), Sama’ (mendengar), Bashar (melihat) dan Qalam (berkata). Kemudian Nur Insan (Roh manusia) mempunyai tujuh keistimewaan (ma’nawiyah) yang diberikan oleh Maha Roh (Allah) yaitu Qadiran (Maha Kuasa), Muridan (Maha Berkehendak), ‘Aliman (Maha Berpengetahuan), Hayum (Maha Hidup), Sami’an (Maha Mendengar), Bashiran (Maha Melihat) dan Mutaqaliman (Maha Berkata). Keistimewaan tersebut diberikan Allah kepada manusia dengan syarat Roh manusia itu selalu berhubungan kepada-Nya. Keistimewaan ini bersifat “TANAZUL TARAQI” (turun naik) artinya keistimewaan tersebut hanyalah kehendak Allah semata dan biasanya keistimewaan ini muncul apabila Allah ingin memperlihatkan kekuasaannya kepada para makhluk-Nya.
Keberadaan Roh-Ku dalam jasmani manusia bersifat transenden dan imanen, artinya disatu sisi Roh-Ku tersebut berada dan menyatu dalam jasmani, disisi lain Roh-Ku tersebut berada di luar dan tidak menyatu dengan jasmani manusia. Inilah salah satu kelebihan Roh-Ku yang ditiupkan Allah kepada manusia. Ketika Roh-Ku ditiupkan ke dalam jasmani maka kedua bangunan itu saling berinteraksi, yang melahirkan kemampuan akal. Kata “Akal” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu “Iqal” yang berarti ikatan atau belengu. Akal merupakan suatu kemampuan dari tiga unsur ikatan yaitu cipta, rasa dan karsa.
TANAZUL(MENURUN)
Dzat Tuhan yang tidak bernama, karena tidak ada satu nama pun yang mampu mewakili keberadaanya. Maka ia di sebut Aku. Inilah tuhan sejati, hidup sejati, sebagaimana diidam-idamkan oleh syekh siti jenar. Inilah martabat ahadiyah dalam tataran martabat tujuh. Tuhan sejati atau Aku ini berdiri sendiri tiada berawal dan berakhir, serta maha esa. Dia sendiri dan ingin di kenal, namun tidak ada yang dapat mengenalnya karena tidak ada yang lain selain dirinya. Dia berkeinginan menciptakan makhluk agar makhluk tersebut mengenal-nya.
Tuhan menciptakan suatu makhluk dengan bahan dirinya, karena tidak ada bahan lain. Jadi makhluk yang akan dia ciptakan itu berasal dari dirinya sendiri, atau dengan kata lain makhluk itu bukan barang baru namun hanya penampakan lain dari rupa diri tuhan. Sebagaimana dijelaskan ibnu arabi awal penciptaan dimulai dengan iradah dari Allah Ta’ala. Sebagaimana firmanNya idza araada syai’an an yaqulalahu kun fayakun (jika dia telah berkehendak terhadap sesuatu, cukup dia mengatakan jadi’maka jadilah ia) segala sesuatu di alam semesta ini menjadi ada karena irodat atau kehendak Tuhan.
Penampakan tuhan dalam kualitas menurun agar lebih mudah di kenal. Dzat Tuhan terlalu suci untuk dikenal, dan nama Allah merupakan jembatan atau jalan tengah agar dia dapat lebih mudah dikenal. Tahapan ini biasa disebut dengan Martabat Wahdah.
Tuhan turun agar semakin mudah dikenali yakni Nur Muhammad. Nur Muhammad pada tahapan ini bersifat mendua, yakni selalu berpasang-pasangan sebagai cikal bakal penciptaan alam semesta. Tahapan ini biasa di sebut Martabat Wahidiyat. Bahan penciptaan alam semesta berasal dari Nur Muhammad pada martabat ini. Semuanya terkumpul menjadi satu.
Dari Nur Muhammad yang telah bersifat kemakhlukan ini, terurai menjadi bagian-bagian halus yang belum nampak. Itulah roh-roh atau alam arwah. Roh merupakan sumber kehidupan bagi tiap-tiap benda. Roh ini berasal langsung dari Tuhan, ibarat diembuskan dari dirinya. Kehidupan syarat mutlak bagi makhluk untuk dapat mengenal Tuhan, maka dia menjadikan roh-roh ini sebagai sumber kehidupan. Hidup makhluk ini berasal dari roh-roh ini.
Sumber kehidupan berupa roh ini tidak akan mampu mewakili keinginan Tuhan jika tidak disertai sarana atau wadah. Untuk itu, Tuhan menjadikan wadah bagi kehidupan tersebut. Nur Muhammad yang bersifat makhluk itu terurai menjadi bagian-bagian terpisah yang masih halus. Inilah alam misal. Di dalamnya terkumpul berbagai jenis makhluk, seperti Malaikat, jin, iblis, jiwa manusia , surga, neraka, dan sebagainya. Dalam Alam misal ini manusia sudah ada namun masih berbentuk jiwa. Ia belum memiliki raga. Selanjutnya Tuhan menampakkan Dzatnya sebagai wadah perbuatan, nama, dan sifatnya, sehingga muncullah alam ajsam.
Pada alam ajsam ini, Tuhan menampakkan diri secara menyeluruh. Raga adalah perwujudan rupa dirinya. Perbuatan, nama dan sifat alam semesta adalah wajahnya. Semua itu terbungkus dalam sifat kemakhlukan yang serba mendua, ada hitam dan putih, ada baik dan buruk, ada senang ada sedih. Jadi, hidup sebagai makhluk selalu diliputi sifat ketidaksempurnaan. Lain halnya Dzat Tuhan yang mandiri, langgeng, tunggal, tidak tersentuh rasa lapar, ngantuk, sakit dan sedih.
Setelah mengetahui hakikat diri secara menurun ini, maka tahulah bahwa alam semesta ini pada hakikatnya adalah gambaran rupa Tuhan. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, karena dibekali kemampuan untuk mendaki dan menyatu dengan Dzat maulana wajibul wujud hingga menjadikan dirinya sebagai wakil tuhan di dunia. Inilah manusia sempurna, manusia yang telah sampai pada hakikat dirianya, yakni Dzat yang sempurna. Hidup Sejati sebagaimana yang di ajarkan oleh para Wali, yang bermuara pada penyatuan kepada NYA.
TARAQI(MENDAKI)
Kehidupan yang di lihat orang-orang ini adalah kehidupan paling luar, fisik semata. padahal fisik atau jasmani ini adalah hijab atau penghalang Tuhan yang paling luar. Kebanyakan orang tertipu oleh penampakan jasmani ini. Manusia yang hidupnya hanya beroientasi pada fisik semata, ia tidak lebih seperti bangkai. Fisik manusia tidak ada bedanya dengan fisik hewan, tumbuhan, dan benda-benda bumi lainya.
Semuanya berasal dari unsur tanah, air, api, udara, kenyataanya hampir semua orang saat ini lebih disibukkan dengan urusan fisik ini. Menjadikan fisik ini sebagai tolak ukur dalam hidupnya. Banyak sekali contoh yang bisa di lihat dalam kehidupan sehari-hari kita. Maka lengkaplah kebanyakan manusia lebih disibukkan dengan urusan-urusan fisik semata sehingga semakin tebal dinding untuk dapa melihat Tuhan.
Manusia adalah makhluk yang berjiwa ia di beri anugerah akal untuk dapat berpikir. Inilah yang membedakan derajat manusia dengan makhluk yang lain. Manusia juga di beri anugerah hati agar dapat merasakan. Manusia yang telah mampu mengaktifkan akal dan hatinya berarti ia telah selangkah lebih maju di bandingkan manusia yang sekedar mengandalkan kelebihan fisik semata. Ia telah mampu menggunakan akal dan hatinya namun Tuhan memberikan akal dan hati inipun rupanya bertingkat-tingkat.
Kerja akal manusia yang paling bawah adalah ‘aql atau akal, sebagaimana di sebutkan dalam alqur’ANAFALAA TA’QILUN. Kerja akal ini adalah memikirkan segala sesuatu yang bersifat kealaman. Dengan menggunakan akal ini akan ditemukan kebenaran dan kesalahan serta kebaikan dan keburukan, dalam perspektif duniawi. Demikian pula dengan kerja hati ia juga memiliki beberapa tingkatan, yang terendah adalah qalb atau hati yang selalu berbolak-balik, kadang baik kadang buruk. Manusia yang hanya menggunakan kerja ‘aql dan qalb ini cenderung akan serakah pada dunia. Ia akan rakus mencari uang. Kalaupun berbuat baik, lebih sering hal tersebut di sertai dengan pamrih lainya.
Inilah hijab Tuhan yang lebih tipis dibandingkan dengan fisik. Setidaknya manusia yang sudah bisa mengendalikan kerja akal dan hati yang pertama ini akan lebih mudah mengenal tuhan daripada mereka yang masih terkungkung pada diri yang hanya berorientasi pada fisik semata. Lebih tinggi lagi, sebagian manusia yang sudah bisa mengaktifkan kerja akal kedua, yakni Fikr sebagaimana firman Allah ta’ala: afala tatafakkaruun. Dengan fikr ini manusia sudah mampu menjangkau hal-hal yang tidak tampak di dunia ini namun nyata kebenarannya seperti”: surga, neraka, malaikat, setan, pahala, dosa dan sebagainya.
Agama Islam diturunkan dengan membawa kabar gembira tentang adanya surga beserta kenikmatanya yang ada didalamnya. Juga membawa peringatan kepada manusia tentang adanya siksa yang pedih di akhirat kelak. Kebanyakan manusia sulit untuk dapat mengenal tuhan secara sempurna, maka Nabi Muhammad SAW diutus untuk memberikan jalan tengah agar mereka menyembah Tuhan sesuai kemampuanya.
SHOLAT
Dalam shalat itu terdapat empat perkara. Pertama, adalah ihram; kedua miraj, ketiga munajat, dan keempat tubadil. Yang dimaksud dengan ihram adalah penglihatan. Miraj adalah di atas penglihatan, yaitu hakikat tunggal. Munajat adalah satu perkataan dari satu penglihatan, yaitu hilangnya tunggal. Tubadil adalah merasakan gerak dirinya itu adalah gerak Tuhan sebagai hakikat tunggal. Jika empat perkara itu sudah terkumpul menjadi satu, maka hamba tersebut telah tenggelam pada zat Allah yang mutlak, dan telah berenang timbul pada sifat Hayyun (Hidup). Menurut Hukum hakikat, jika seseorang yang shalat belum seperti itu, maka termasuk penyembah berhala.
Shalat itu terdiri atas empat macam, yaitu : pertama, shalat syariaat dengan cara melakukan ruku, sujud, dan duduk. Kedua, shalat tarikat dengan cara menjernihkan hati dan perasaan kibir. Ketiga shalat hakikat dengan cara menjernihkan hati dan nafsu lawwamah dan amarah. Keempat, shalat marifat dengan cara hatinya terus menerus melihat Allah, dan meninggalkan selain Allah. Itulah yang disebut dengan shalat daim, yaitu hatinya selalu ingat kepada Allah. Namun tarikat ini tetap mengajarkan shalat sesuai dengan syariat dengan jiwa shalat daim.
MAKRIFAT SYUHUD
Tuhan itu nyata dalam diri hamba tanpa tabir. Untuk melihatnya melalui ruhani dengan proses : Jasad-Rahsa-Allah. Junaidi al-Baghdadi dan Abu Yazid al-Bustami berkata :Artinya : wujud itu sebagai penghalang. Tak lain dan tidak bukan wujudmu yang majazi. Maksudnya, dengan merasakan bahwa hamba itu berwujud, maka akan menjadi penghalang untuk marifat pada Allah. Dengan kata lain, seseorang tidak akan dapat fana jika merasa dirinya berwujud. Untuk itu proses yang ditempuh melaui : Jasad-rahsa (sirr)-Allah. Jasad lebur menjadi nyawa, nyawa lebur menjadi rahsa. Rahsa lebur sirna pulang pada jati dirinya, yaitu hanya Allah yang wujud yang tidak berubah. Hal ini seperti pernyataan Pangeran Giri : Pulang-mati-hilang. Yang mati adalah nafsu, yang pulang adalah rahsa, yang hilang adalah penglihatan jadi lebur pada Allah. Muhammad juga lebur pada Allah. Allah bersabda dalam hadis qudsi : Artinya : Manusia itu adalah rahsa (sirr) Ku, dan Aku adalah sirr manusia. Dari sini nampak bahwa hamba dan Tuhan itu berbeda, di mana sirr manusia digunakan untuk syuhud pada Allah. Setelah manusia mati, sirr kembali kepada Tuhan.
Orang-orang sufi telah membicarakan marifat dan tauhid dalam arti mengenal Tuhan secara langsung dengan pandangan batin yang telah mendapat pencaran-Nya, dan tenggalam dalam keesan-Nya yang mutlak itu sedemikian rupa, sehingga yang dipandang ada hanya Dia (Fariduddin Attar, 1905 : 127). Bagi sufi, nampaknya, Tuhan itu bukan hanya dikenal melalui dalil-dalil dan pembuktian akal atau melalui wahyu yang disampaikan oleh para nabi itu saja; tetapi dapat juga dikenal secara langsung, melalui pengalam ruhani, apabila mata hati yang berada dalam diri manusia itu mendapat pancaran sinar Ilahi -setelah mencapai tingkat kebeningan yang layak untuk menerima anugerah yang tidak ternilai itu. Tetapi, bila pengenalan langsung (marifah) itu telah dicapai, diri yang mengenal lalu kehilangan wujudnya dalam Wujud yang dikenal itu karena dalam pandangan orang arif yang sudah sampai ke sana, yang ada hanya satu saja; Allah. Di antara para sufi ada yang mengungkapkan pengalaman kesufianan seperti itu sebagai persatuan (ittihad) dengan Tuhan dan ada pula yang mengatakan bahwa Tuhan telah bertempat di dalam dirinya (hulul).
SENANTIASA BERDZIKIR
Metode berzikir tujuannya untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kita melakukannya dengan menjalani shalat, puasa, membaca al-Quran, naik haji dan berjihad. menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketis atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan selalu berusaha mensucikan hati. Zikir inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT. Setidaknya ada tujuh macam zikir mukadimah, sebagai pelataran atau tangga yang disesuaikan dengan tujuh nafsu manusia. Ketujuh mcam zikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai kepada Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam zikir itu sebagai berikut :
ZIKIR THAWAF, yaitu zikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan Laa ilaha ( ) sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah ( ) yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat berserangnya nafsu lawwamah.
ZIKIR NAFI ISTBAT, yaitu zikir dengan La ilaha illallah ( ), dengan lebih mengeraskan suara nafinya, La ilaha ( ), ketimbang itsbatnya, illallah ( ), yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam empunya asma Allah.
ZIKIR ITSBAT FAQAT, yaitu berzikit dengan illallah ( ) 3 kali, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
ZIKIR ISMU ZAT, yaitu zikir dengan ; Allah ( ) 3 kali, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
ZIKIR TARAQI, yaitu zikir ; Allah- Hu ( ), 2 kali. Zikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Zikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
ZIKIR TANAZUL, yaitu zikir Hu- Allah ( ) 2 kali. Zikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Zikir ini dimaksudkan agar seorang salik selalu memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
ZIKIR ISIM GHAIB, yaitu zikir Hu, Hu, Hu ( ), dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah ke dalam rasa
Ketujuh macam zikir di atas didasarkan kepada firman Allah ; Artinya : Dan sesungguhnya kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit), dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan Kami (Q.S 23 : 17).
Demikian apa yang bisa disampaikan pada kesempatan yang mulia ini. Semoga ada manfaatnya untuk kita semua….
Dalam ruang iman dan kebijaksanaan,
Kematian tubuh berarti kehidupan jiwa
Korbankanlah nafsu tubuh,
Hingga kau bisa tinggal dalam kesadaran alam ruh
Friday, August 2, 2013
Cara Menyembuh Orang Lumpuh
AYAT-AYAT PENYEMBUH LUMPUH
assalamualaikum w.b.h: Saya adalah hamba Allah s.w.t yg sedikit telah diuji oleh-NYA untuk bersabar dan mendekatkan diri kpd-NYA. Saya mempunyai seorang kakak yg lumpuh akibat kemalangan jalan raya.saya berharap saudara-saudara sekalian dapat sama2 berdoa agar kakak saya disembuhkan oleh-NYa.. semoga Allah s.w.t memberkati dan merahmati kita..amin.
sdr Hafiz yang dirahmati Allah, berikut ada amalan agar penyakit yang diderita kakak Anda segera sembuh atas ijin-NYA. Suatu ketika Ibnu Umar meriwayatkan, Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang membaca 33 ayat-ini setiap malam (nama ayat-ayat tersebut) maka malam itu ia tidak akan diganggu oleh tujuh bahaya, tidak ada pencuri masuk rumah, terjaga keselamatan dirinya keluarga dan hartanya hingga pagi hari.
Hadits ini kemudian didengar oleh Syuaib bin Harb dan ia berkata: Kami menamakan ayat-ayat tersebut sebagai ayat-ayat harb (peperangan) dan di dalamnya mengandung obat penawar dan penyembuh dari segala penyakit, seperti gila, lepra dan sebagainya. Muhammad bin Ali menambahkan “saya membaca ayat-ayat itu kepada guru kami yang lumpuh dan Allah memberikan kesembuhan kepadanya.”
Tiga puluh tiga ayat yang hebat tersebut adalah:
1. EMPAT AYAT PERMULAAN SURAT AL BAQARAH hingga firman Allah Al Muflihun,
2. AYAT KURSI DAN DUA AYAT SESUDAHNYA hingga firman Allah ‘khalidun’ (Al Baqarah 257),
3. TIGA AYAT TERAKHIR SURAT AL BAQARAH, mulai ‘lillahi ma fis samawati wal ardhi’ sampai habis,
4. TIGA AYAT SURAT AL A’RAF mulai ‘Inna rabbakumullah’ (Al A’raf 54) hingga ayat ‘inna rahmatallahi qaribun minal muhsinina’ (Al Araf 56),
5. AYAT TERAKHIR DARI SURAT BANI ISRAIL ‘qulid’ullaha awid’ur rahman (Al Isra 110),
6. AYAT TERAKHIR SURAT AL HASYR, mulai ‘lau anzalna hadzal Qur’ana ‘ala jabalin’ hingga ayat terakhir,
7. DUA AYAT DARI SURAT JIN mulai ‘qul uhiya ilayya’ hingga ayat ‘syathatha’.
Demikian semoga ada manfaatnya. Salam.
Wednesday, July 31, 2013
Fenomena Mendatangkan Uang Gaib
MENJAWAB FENOMENA MENDATANGKAN UANG GAIB LEWAT RITUAL GAIB
Fenomena uang gaib memang sesuatu yang nyaris sulit dipercaya. Sudah sejak lama orang berputar-putar pada sebuah pertanyaan: “Benarkah uang gaib ini ada dan bisa didatangkan?”
Memang, tak mudah menjawab pertanyaan tersebut, terlebih ketika kita menganalisis masalah uang gaib ini dari sudut logika. Tentu yang ada hanya kebuntuan belaka. Bagaimana mungkin ada tumpukan uang di alam nun jauh di seberang sana? Lalu, siapa yang memilikinya, dan bagaimana uang tersebut bisa tersedia? Yang paling membingungkan, dengan cara seperti apa uang itu bisa dihadirkan ke dunia nyata?
Semua pertanyaan tersebut bisa membuat kita pusing tujuh keliling memikirkannya. Jangankan mencari jawabannya, untuk membayangkannya saja bisa membuat kita senewen.
Namun, kesenewenan itu juga yang membuat fenomena ini selalu menyedot perhatian. Terlebih di zaman krisis ekonomi seperti sekarang ini. Buktinya, ketika Misteri memuat artikel tentang Ritual Mendatangkan Uang di Bawah Sajadah, maka staf redaksi kami kewalahan menjawab telepon, belum lagi faks dan email. Semua pertanyaan dan surat yang masuk bernada sama dan sebangun, yakni: “Benarkah ritual tersebut bisa dibuktikan?”
Tentu, kami tidak dapat menjawab “benar” atau “tidak.” Namanya saja hal gaib, pasti tak mudah diberi label “benar” atau “tidak” bila kita belum membuktikannya sendiri, atau setidaknya pernah mendengar kesaksian dari seseorang yang pernah membuktikannya. Sinyalemen terakhir ini, setidaknya cukup menjadi alasan bagi Misteri bahwa ritual tersebut sangat mungkin kebenarannya, namun sudah tentu dengan sederet catatan-catatan.
Deretan catatan tersebut berhubungan dengan si pelaku ritual, juga ketentuan dari ritual dimaksud. Dari sisi si pelaku, tentu dia harus sungguh-sungguh, ikhlas, dan istikomah dalam menjalankan ritualnya. Sementara dari sisi ketentuan ritual, jelas berhubungan dengan aneka macam persyaratan, seperti tempat, saat mustajabah, juga berbagai sesaji yang dibutuhkan. Kalau kedua hal ini dapat terpenuhi dengan baik, maka berdasarkan pengalaman dari sejumlah kesaksian, sudah barang tentu ritual akan membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Memang, tak mudah membuktikan kebenaran di balik ritual mendatangkan uang ini. Ibaratnya, dari seribu orang yang melakukan ritual, barangkali hanya satu orang yang bisa membuktikan kebenarannya. Orang yang berhasil ini bukan semata-mata karena dia menjalankan ritual dengan benar, tapi sangat mungkin karena ada kriteria lain yang menjadi sebab pendorong keberhasilannya. Misalnya saja, orang ini memang memiliki alasan untuk melakukan ritual tersebut karena dia sangat membutuhkan uang untuk membayar utang, atau mencari biaya untuk pengobatan orang tuanya yang sakit keras. Karena jalan lahiriyah sudah buntu, maka jalan batiniah dipilihnya. Dengan sebab ini maka dia memiliki sugesti yang sangat kuat untuk bisa berhasil. Auto power sugesti ini merupakan modal yang sangat kuat baginya untuk berhasil, disamping dengan dukungan kesungguhan dan keikhlasannya dalam melakukan ritual.
Para Ulama Sufi dan Ahli Hikmah memang berkeyakinan bahwa ritual mendatangkan uang gaib ini tidak bisa digunakan untuk tujuan “main-main”. Maksudnya, siapapun yang ingin melakukan ritual ini harus benar-benar memiliki alasan yang kuat dan tepat, bukan hanya dengan maksud ingin mencoba-coba.
“Kalau dilakukan hanya dengan mencoba-coba, maka saya jamin ritual akan gagal!” ungkap Prayoga Gemilang, yang pernah membikin heboh dengan diktat gaibnya tentang upaya mendatangkan uang gaib. Menurutnya, hanya orang yang sungguh-sungguh terdesak oleh suatu kebutuhan, seperti harus segera membayar utang karena nyawanya terancam, yang bisa membuktikan keampuhan ritual ini.
Hal senada juga dikatakan oleh Saipudin. Menurut paranormal muda yang juga pakar Ilmu Hikmah ini, banyak orang yang tergoda melakukan perburuan uang gaib atau melakukan ritual mendatangkan uang gaib, tanpa mengerti esensi yang sebenarnya dari ritual ini. Dia mengatakan, para pelaku ritual umumnya memang mengerjakannya dengan setengah hati, karena di awal mereka sesungguhnya sudah merasa ragu. Keraguan ini sangat mungkin terjadi karena pelaku tidak memiliki modal sugesti yang kuat.
“Padahal, sugesti itu modal utama dalam ritual apa saja, sebab sugestilah yang menuntun ke arah keberhasilan. Walaupun ritualnya ampuh, kalau sugesti pelakunya lemah, maka besar kemungkinan tidak bisa menunjang keberhasilan. Atau, kalaupun berhasil tentu tidak memuaskan,” papar Saipudin, menegaskan.
Untuk membuktikan kebenaran pendapat tersebut, marilah kita simak cerita yang dituturkan oleh Muhi Juhana, tentang seorang sahabatnya yang bernama Surya. Sahabatnya ini, adalah seorang yang melakukan ritual peminjaman uang gaib…:
Ketika ditemui di rumahnya, Surya dengan gamblang menjelaskan bahwa apa yang disebut sebagai Bank Gaib itu memang benar-benar ada.
Dipaparkan oleh Surya, walau dia gagal dalam ritual tersebut, tetapi dia telah mencoba melakukan ritual yang sebenarnya tidak memerlukan biaya besar. Cukup tiga batang lilin merah yang sebelumnya telah diisi oleh seorang Kyai, wewangian dan membakar madat, serta berpakaian bersih saat melakukan ritual.
Sudah barang tentu, sebelumnya Surya diwajibkan untuk melakukan puasa mutih selama tiga hari tiga malam, yang dimulai pada hari Selasa. Tepatnya mulai Selasa, Rabu dan Kamis.
Malam Jum’atnya, dia tidak tidur sama sekali. Ketiga lilin merah itu dibakar dan diletakkan berjajar. Tak lupa Surya juga memakai wewangian dan membakar madat serta membaca amalan tertentu untuk mengundang khodam yang akan mengantarkan uang kepadanya.
Sebelumnya, sang Kyai berpesan kepada Surya, “Ingat, jangan sekali-kali membuka pintu jika terdengar ada yang mengetuk dari luar. Biarkan khodamnya masuk ke kamarmu sambil membawa uangnya!”
Ringkas cerita, saat Surya melakukan ritual di kamar khususnya malam itu, sementara isterinya membantunya dengan melakukan wiridan di kamar yang berbeda, sesuatu yang aneh memang terjadi. Sekitar pukul 02.30 WIB, lamat-lamat terdengar suara derap kaki kuda yang menghela kereta berhenti tepat di depan rumahnya. Dan tak lama kemudian, terdengar gedoran keras pada pintu depan rumah.
Mendengar gedoran yang keras tidak alang kepalang, dengan serta merta Surya pun bangkit karena jengkel. Dia lupa akan pesan sang Kyai. Dan ketika daun pntu dibukanya, dia tak melihat siapa pun. Yang ada hanyalah kegelapan malam. Ketika sadar, Surya pun menyesal. Dia telah melanggar pantangan. Dan uang yang amat diharapkan tidaklah didapatkan
Isteri Surya memberi kesaksian, “Saya melihat dengan jelas seolah tidak ada penghalang tembok sama sekali. Di luar sana, tampak ada seorang wanita cantik turun dari kereta kencana sambil membawa bungkusan yang digendong di belakang dengan kain. Mirip pedagang kain. Dan perempuan itu langsung saja menggedor pintu depan.”
Demikian kisah Muhi Juhana tentang sahabatnnya yang bernama Surya. Pengalaman Surya jelas telah membuktikan betapa Bank Gaib itu benar adanya. Sudah tentu, jika kita mau menjalani ritualnya dengan tulus, tekun dan sabar, maka kita akan mendapatkan uang yang kita harapkan. Namun, seperti yang disinggung Saipudin, kebanyakan orang yang melakukan ritual ini memang setengah hati. Maksudnya, kurang khusyuk dan tidak memiliki modal sugesti yang kuat.
***
Masih ada kisah lain yang tak kalah menawan. Beberapa tahun silam, Misteri mempunyai sahabat bernama dr. Kadarisman yang waktu itu tinggal di dearah Rawamung, Jakarta Timur. Dokter spesialis mata ini dikenal sebagai orang yang zuhud dalam menjalankan agamanya. Sejak masih kanak-kanak sampai kuliah, dia selalu tekun bangun di tengah malam dan sholat Tahajjud.
Sampai suatu ketika saat Kadarisman masih kuliah di Fakultas Kedokteran UI, dia terdesak uang untuk biaya ujian praktek. Jumlahnya waktu itu lumayan besar. Sebagai anak yatim yang sudah mandiri sejak kecil, Kadarisman tentu tidak bisa berharap kiriman uang dari keluarganya.
Di tengah kebingungan itu, Kadarisman bertemu orang tua yang sangat zuhud. Dari orang tua inilah dia memperoleh sebuah ritual yang diperuntukkan sebagai usaha menghadirkan uang dari alam gaib. Dengan kezuhudan dan ketakwaannya, Kadarisman lalu menjalankan ritual yang diperolehnya. Tiga hari menjalankan ritual dimaksud, hasilnya sungguh sangat menakjubkan. Suatu pagi, ketika Kadarisman ingin berganti pakaian, maka di bawah tumpukan pakaiannya terdapat uang kertas yang masih serba baru. Aneh bin ajaib! Jumlahnya sama persis dengan kebutuhannya untuk membayar uang ujian….
Demikianlah kisah menawan yang dialami oleh dr. Kadarisman, sahabat Misteri yang budiman. Menyimak kisah tersebut, maka jelas sekali bahwa uang gaib itu memang ada, tanpa kita perlu menanyakan di mana keberadaannya, sebab masalah gaib itu memang tak pernah bisa terjawab dengan tuntas.
Ditegaskan oleh Saipudin, perkara uang gaib ini sebenarnya tak perlu dipertentangkan lagi. Dalam beberapa kitab Ilmu Hikmah, memang terdapat petunjuk-petunjuk ritual untuk mendatangkan uang dari alam gaib.
“Kalau ritualnya ada, maka secara logika uang gaib itu bisa dinyatakan benar keberadaannya. Karena itu, menurut hemat saya hal ini sudah bukan fenomena lagi, tapi merupakan fakta,” tegas Saipudin. Untuk mendukung tesisnya tersebut, dia membeberkan sebuah ritual untuk menghadirkan uang dari alam gaib. Disebutkan olehnya, ritual rahasia ini diperolehnya dari ijazah seorang ulama sufi terkenal di Banten. Berikut ini paparan lengkapnya:
- Untuk melakukan ritual ini, maka carilah bulan yang awal harinya dimulai dengan hari Sabtu. Jadi, ritual ini dimulai pada hari Sabtu, persis di awal bulan (bulan apa saja), dengan tidak mengkonsumsi makanan yang bernyawa dan apa saja yang berasal darinya.
- Setiap hari membaca “YA KARIIM YA ROHIIM” sebanyak-banyaknya. Khusus setelah sholat fardhu “YA KARIIM YA ROHIIM” dibaca sebanyak 1000, setelah itu membaca doa berikut ini sebanyak 7 kali: “ALLAAHUMMA AS’ALUKA BIBUUKOOLIIMA SYUUNAAHIILA YA SYAHRIINA AS’ALUKA BIHURMATI KASYAHIILA BARDIIMA BAHROO’IILA AJAAJIILA AZAASIILA WA AS’ALUKA BIHURMATI JIBRIIL WA MIIKAA’IIL WA ISROOFIIL WA IZROO’IIL WA BIHURMATI SAYYIDINAA MUHAMMADIN SOLLALLAAHU ALAIHI WA SALLAMA WA BIHAKKI YAA KARIIM YAA ROHIIM ANTARZUKONII KULLA YAUMIN DIINAARON ASTA’IINA BIHII ALAA KUUTII WAL HAJI ILA BAITILLAH ALHAROOM.”
- Pada minggu kedua dalam rangkaian ritual Anda tetap tidak diperbolehkan mengkonsumsi makanan yang bernyawa, atau segala sesuatu yang berasal daripadanya, dan diharuskan tetap menjalankan ritual seperti yang dijelaskan di atas. Kemudian pada tanggal 12,14, dan 15 berpuasalah. Namun, buka dan malam harinya tidak boleh mengkonsumsi makanan yang bernyawa serta segala sesuatu yang berasal daripadanya.
- Bila ritual yang Anda jalankan masih terus berlangsung sampai malam Jum’atnya (malam terakhir dari ritual Anda), maka Anda harus mandi jinabat kemudian mengenakan pakaian yang bersih dan memakai wewangian, seperti minyak misik atau zafaron. Pada tengah malam pas pukul 00.00, Anda harus menunaikan sholat Isya. Kemudian setelah sholat Isya bacalan amalan-amalan berikut ini: SUBHANALLAH 33X, ALHAMDULILLAH 33X, LA ILAHA ILLALAAH 33X, ALLAHU AKBAR 33X, ALLAAHUMMA SOLLI ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WA ALA ALI SAYYIDINA MUHAMMAD 1000X, YA KARIIM YA ROHIIM 1000X, ALLAAHUMMA SOLLI ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WA ALA ALIHI WA SOHBIHI WA SALLIM ASSOLAATU ALA ROSUULILLAH SOLLALLAAHU ALAIHI WA SALLAMA 1X, AYAT KURSYI 3X, AL IKHLAS 3X, AL FALAQ 1X, ANNAS 1X, ALLAAHUMMA AATIHIL WASIILAH WAL FADIILLAH WADDAROJAH ARROFII’AH WAB’ATSHU WAL MAKOOMAL MAHMUUDAL LADZII WA’ATTAH WA AURONAA HAUDOHO WASKINAA MIN YADIHI SYARBATAN LA NATMA’ANNA BA’DAHA ABADAN 1X. Ingat, sewaktu mewridzkan semua amalan di atas jangan sampai tertidur, sebab jika tertidur bisa gagal total.
- Sampai di sini ritual yang Anda jalankan selesai, tinggal menunggu waktu sholat Subuh tiba. Sekali lagi ingat, selama menunggu datangnya waktu sholat Subuh tidak boleh tertidur barang sekejappun sebab bisa gagal. Lalu, sesudah sholat Subuh bacalah solawat sebanyak-banyaknya hingga Anda benar-benar diliputi oleh rasa kantuk yang sangat hebat hingga Anda tertidur karenanya. Maka ketika Anda tertidur itulah khodam amalan ini akan datang dan bertanya, “Hai hamba Allah, apakah Anda menghendaki harta benda atau akhirat?” Maka jawablah, “Saya menghendaki harta benda, tetapi saya meminta pertolongan akhirat.” Maka khodam tersebut akan memberikan dua keping mata uang Dinar kepada Anda, dan berpesan kepada Anda agar setiap Jum’at melakukan ziarah kubur, mandi jinabat, dan membaca: “YA KARIIM YA ROHIIM”
“Setelah menjalani ritual tersebut dengan sempurna, Insya Allah setiap hari Anda akan mendapatkan uang sesuai yang Anda butuhkan, di bawah bantal yang Anda tiduri. Dengan catatan Anda harus merahasiakan keajaiban ini kepada siapapun. Bila Anda membuka rahasia ini, maka kiriman uang gaib tersebut akan terhenti dengan sendirinya,” urai Saipudin, mempertegas amalan ritual yang dibeberkannya.
Muhammad Syahri, salah seorang saksi yang pernah menjalankan ritual tersebut mengaku telah mengalami kegagalan dengan sebab yang sangat sepele. Ceritanya, sahabat dekat Saipudin ini melakukan ritual di rumah kontrakannya di bilangan Cipete, Jakarta Selatan. Gara-gara hal ini, si khodam penunggu wiridan marah, sebab katanya dia diundang bukan di tempat yang telah menjadi hak milik dari si pengundangnya, padahal pemilik tempat belum tentu meridhoinya. Yang dimaksud adalah rumah yang digunakan Syahri bukan milik pribadinya, dan pemilik rumah belum tentu merasa senang dengan perbuatannya.
“Khodam yang menjelma sebagai pria berjubah hijau itu malah menyuruh saya untuk mengulangi undangan atas dirinya, dan harus dilakukan di tempat yang sudah menjadi hak saya. Terus terang, saya kecewa. Tapi saya bangga dengan pengalaman langka ini,” aku Syahri saat dimintai kesaksiannya oleh Misteri.
Saipudin menambahkan, jangan gampang putus asa kalau ternyata setelah melakukan ritual tersebut ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Maksudnya, si pelaku ritual tidak menemukan uang di bawah bantalnya. “Sangat mungkin khodam itu memberikannya dengan cara lain. Misalkan saja memberikan kemujuran kepada Anda lewat proses kerja yang Anda lakukan. Istilahnya, mudah mendapat rejeki yang tidak disangka-sangka. Tapi semua ini tentu atas ridho Allah semata,” tandasnya.
Dengan menyimak uraian yang panjang lebar ini, masihkah kita harus meragukan bahwa yang namanya uang gaib, Bank Gaib, atau apapun istilahnya, hanya merupakan cerita isapan jempol semata? Akhirnya, terserah Anda menafsirkannya.
Fenomena uang gaib memang sesuatu yang nyaris sulit dipercaya. Sudah sejak lama orang berputar-putar pada sebuah pertanyaan: “Benarkah uang gaib ini ada dan bisa didatangkan?”
Memang, tak mudah menjawab pertanyaan tersebut, terlebih ketika kita menganalisis masalah uang gaib ini dari sudut logika. Tentu yang ada hanya kebuntuan belaka. Bagaimana mungkin ada tumpukan uang di alam nun jauh di seberang sana? Lalu, siapa yang memilikinya, dan bagaimana uang tersebut bisa tersedia? Yang paling membingungkan, dengan cara seperti apa uang itu bisa dihadirkan ke dunia nyata?
Semua pertanyaan tersebut bisa membuat kita pusing tujuh keliling memikirkannya. Jangankan mencari jawabannya, untuk membayangkannya saja bisa membuat kita senewen.
Namun, kesenewenan itu juga yang membuat fenomena ini selalu menyedot perhatian. Terlebih di zaman krisis ekonomi seperti sekarang ini. Buktinya, ketika Misteri memuat artikel tentang Ritual Mendatangkan Uang di Bawah Sajadah, maka staf redaksi kami kewalahan menjawab telepon, belum lagi faks dan email. Semua pertanyaan dan surat yang masuk bernada sama dan sebangun, yakni: “Benarkah ritual tersebut bisa dibuktikan?”
Tentu, kami tidak dapat menjawab “benar” atau “tidak.” Namanya saja hal gaib, pasti tak mudah diberi label “benar” atau “tidak” bila kita belum membuktikannya sendiri, atau setidaknya pernah mendengar kesaksian dari seseorang yang pernah membuktikannya. Sinyalemen terakhir ini, setidaknya cukup menjadi alasan bagi Misteri bahwa ritual tersebut sangat mungkin kebenarannya, namun sudah tentu dengan sederet catatan-catatan.
Deretan catatan tersebut berhubungan dengan si pelaku ritual, juga ketentuan dari ritual dimaksud. Dari sisi si pelaku, tentu dia harus sungguh-sungguh, ikhlas, dan istikomah dalam menjalankan ritualnya. Sementara dari sisi ketentuan ritual, jelas berhubungan dengan aneka macam persyaratan, seperti tempat, saat mustajabah, juga berbagai sesaji yang dibutuhkan. Kalau kedua hal ini dapat terpenuhi dengan baik, maka berdasarkan pengalaman dari sejumlah kesaksian, sudah barang tentu ritual akan membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Memang, tak mudah membuktikan kebenaran di balik ritual mendatangkan uang ini. Ibaratnya, dari seribu orang yang melakukan ritual, barangkali hanya satu orang yang bisa membuktikan kebenarannya. Orang yang berhasil ini bukan semata-mata karena dia menjalankan ritual dengan benar, tapi sangat mungkin karena ada kriteria lain yang menjadi sebab pendorong keberhasilannya. Misalnya saja, orang ini memang memiliki alasan untuk melakukan ritual tersebut karena dia sangat membutuhkan uang untuk membayar utang, atau mencari biaya untuk pengobatan orang tuanya yang sakit keras. Karena jalan lahiriyah sudah buntu, maka jalan batiniah dipilihnya. Dengan sebab ini maka dia memiliki sugesti yang sangat kuat untuk bisa berhasil. Auto power sugesti ini merupakan modal yang sangat kuat baginya untuk berhasil, disamping dengan dukungan kesungguhan dan keikhlasannya dalam melakukan ritual.
Para Ulama Sufi dan Ahli Hikmah memang berkeyakinan bahwa ritual mendatangkan uang gaib ini tidak bisa digunakan untuk tujuan “main-main”. Maksudnya, siapapun yang ingin melakukan ritual ini harus benar-benar memiliki alasan yang kuat dan tepat, bukan hanya dengan maksud ingin mencoba-coba.
“Kalau dilakukan hanya dengan mencoba-coba, maka saya jamin ritual akan gagal!” ungkap Prayoga Gemilang, yang pernah membikin heboh dengan diktat gaibnya tentang upaya mendatangkan uang gaib. Menurutnya, hanya orang yang sungguh-sungguh terdesak oleh suatu kebutuhan, seperti harus segera membayar utang karena nyawanya terancam, yang bisa membuktikan keampuhan ritual ini.
Hal senada juga dikatakan oleh Saipudin. Menurut paranormal muda yang juga pakar Ilmu Hikmah ini, banyak orang yang tergoda melakukan perburuan uang gaib atau melakukan ritual mendatangkan uang gaib, tanpa mengerti esensi yang sebenarnya dari ritual ini. Dia mengatakan, para pelaku ritual umumnya memang mengerjakannya dengan setengah hati, karena di awal mereka sesungguhnya sudah merasa ragu. Keraguan ini sangat mungkin terjadi karena pelaku tidak memiliki modal sugesti yang kuat.
“Padahal, sugesti itu modal utama dalam ritual apa saja, sebab sugestilah yang menuntun ke arah keberhasilan. Walaupun ritualnya ampuh, kalau sugesti pelakunya lemah, maka besar kemungkinan tidak bisa menunjang keberhasilan. Atau, kalaupun berhasil tentu tidak memuaskan,” papar Saipudin, menegaskan.
Untuk membuktikan kebenaran pendapat tersebut, marilah kita simak cerita yang dituturkan oleh Muhi Juhana, tentang seorang sahabatnya yang bernama Surya. Sahabatnya ini, adalah seorang yang melakukan ritual peminjaman uang gaib…:
Ketika ditemui di rumahnya, Surya dengan gamblang menjelaskan bahwa apa yang disebut sebagai Bank Gaib itu memang benar-benar ada.
Dipaparkan oleh Surya, walau dia gagal dalam ritual tersebut, tetapi dia telah mencoba melakukan ritual yang sebenarnya tidak memerlukan biaya besar. Cukup tiga batang lilin merah yang sebelumnya telah diisi oleh seorang Kyai, wewangian dan membakar madat, serta berpakaian bersih saat melakukan ritual.
Sudah barang tentu, sebelumnya Surya diwajibkan untuk melakukan puasa mutih selama tiga hari tiga malam, yang dimulai pada hari Selasa. Tepatnya mulai Selasa, Rabu dan Kamis.
Malam Jum’atnya, dia tidak tidur sama sekali. Ketiga lilin merah itu dibakar dan diletakkan berjajar. Tak lupa Surya juga memakai wewangian dan membakar madat serta membaca amalan tertentu untuk mengundang khodam yang akan mengantarkan uang kepadanya.
Sebelumnya, sang Kyai berpesan kepada Surya, “Ingat, jangan sekali-kali membuka pintu jika terdengar ada yang mengetuk dari luar. Biarkan khodamnya masuk ke kamarmu sambil membawa uangnya!”
Ringkas cerita, saat Surya melakukan ritual di kamar khususnya malam itu, sementara isterinya membantunya dengan melakukan wiridan di kamar yang berbeda, sesuatu yang aneh memang terjadi. Sekitar pukul 02.30 WIB, lamat-lamat terdengar suara derap kaki kuda yang menghela kereta berhenti tepat di depan rumahnya. Dan tak lama kemudian, terdengar gedoran keras pada pintu depan rumah.
Mendengar gedoran yang keras tidak alang kepalang, dengan serta merta Surya pun bangkit karena jengkel. Dia lupa akan pesan sang Kyai. Dan ketika daun pntu dibukanya, dia tak melihat siapa pun. Yang ada hanyalah kegelapan malam. Ketika sadar, Surya pun menyesal. Dia telah melanggar pantangan. Dan uang yang amat diharapkan tidaklah didapatkan
Isteri Surya memberi kesaksian, “Saya melihat dengan jelas seolah tidak ada penghalang tembok sama sekali. Di luar sana, tampak ada seorang wanita cantik turun dari kereta kencana sambil membawa bungkusan yang digendong di belakang dengan kain. Mirip pedagang kain. Dan perempuan itu langsung saja menggedor pintu depan.”
Demikian kisah Muhi Juhana tentang sahabatnnya yang bernama Surya. Pengalaman Surya jelas telah membuktikan betapa Bank Gaib itu benar adanya. Sudah tentu, jika kita mau menjalani ritualnya dengan tulus, tekun dan sabar, maka kita akan mendapatkan uang yang kita harapkan. Namun, seperti yang disinggung Saipudin, kebanyakan orang yang melakukan ritual ini memang setengah hati. Maksudnya, kurang khusyuk dan tidak memiliki modal sugesti yang kuat.
***
Masih ada kisah lain yang tak kalah menawan. Beberapa tahun silam, Misteri mempunyai sahabat bernama dr. Kadarisman yang waktu itu tinggal di dearah Rawamung, Jakarta Timur. Dokter spesialis mata ini dikenal sebagai orang yang zuhud dalam menjalankan agamanya. Sejak masih kanak-kanak sampai kuliah, dia selalu tekun bangun di tengah malam dan sholat Tahajjud.
Sampai suatu ketika saat Kadarisman masih kuliah di Fakultas Kedokteran UI, dia terdesak uang untuk biaya ujian praktek. Jumlahnya waktu itu lumayan besar. Sebagai anak yatim yang sudah mandiri sejak kecil, Kadarisman tentu tidak bisa berharap kiriman uang dari keluarganya.
Di tengah kebingungan itu, Kadarisman bertemu orang tua yang sangat zuhud. Dari orang tua inilah dia memperoleh sebuah ritual yang diperuntukkan sebagai usaha menghadirkan uang dari alam gaib. Dengan kezuhudan dan ketakwaannya, Kadarisman lalu menjalankan ritual yang diperolehnya. Tiga hari menjalankan ritual dimaksud, hasilnya sungguh sangat menakjubkan. Suatu pagi, ketika Kadarisman ingin berganti pakaian, maka di bawah tumpukan pakaiannya terdapat uang kertas yang masih serba baru. Aneh bin ajaib! Jumlahnya sama persis dengan kebutuhannya untuk membayar uang ujian….
Demikianlah kisah menawan yang dialami oleh dr. Kadarisman, sahabat Misteri yang budiman. Menyimak kisah tersebut, maka jelas sekali bahwa uang gaib itu memang ada, tanpa kita perlu menanyakan di mana keberadaannya, sebab masalah gaib itu memang tak pernah bisa terjawab dengan tuntas.
Ditegaskan oleh Saipudin, perkara uang gaib ini sebenarnya tak perlu dipertentangkan lagi. Dalam beberapa kitab Ilmu Hikmah, memang terdapat petunjuk-petunjuk ritual untuk mendatangkan uang dari alam gaib.
“Kalau ritualnya ada, maka secara logika uang gaib itu bisa dinyatakan benar keberadaannya. Karena itu, menurut hemat saya hal ini sudah bukan fenomena lagi, tapi merupakan fakta,” tegas Saipudin. Untuk mendukung tesisnya tersebut, dia membeberkan sebuah ritual untuk menghadirkan uang dari alam gaib. Disebutkan olehnya, ritual rahasia ini diperolehnya dari ijazah seorang ulama sufi terkenal di Banten. Berikut ini paparan lengkapnya:
- Untuk melakukan ritual ini, maka carilah bulan yang awal harinya dimulai dengan hari Sabtu. Jadi, ritual ini dimulai pada hari Sabtu, persis di awal bulan (bulan apa saja), dengan tidak mengkonsumsi makanan yang bernyawa dan apa saja yang berasal darinya.
- Setiap hari membaca “YA KARIIM YA ROHIIM” sebanyak-banyaknya. Khusus setelah sholat fardhu “YA KARIIM YA ROHIIM” dibaca sebanyak 1000, setelah itu membaca doa berikut ini sebanyak 7 kali: “ALLAAHUMMA AS’ALUKA BIBUUKOOLIIMA SYUUNAAHIILA YA SYAHRIINA AS’ALUKA BIHURMATI KASYAHIILA BARDIIMA BAHROO’IILA AJAAJIILA AZAASIILA WA AS’ALUKA BIHURMATI JIBRIIL WA MIIKAA’IIL WA ISROOFIIL WA IZROO’IIL WA BIHURMATI SAYYIDINAA MUHAMMADIN SOLLALLAAHU ALAIHI WA SALLAMA WA BIHAKKI YAA KARIIM YAA ROHIIM ANTARZUKONII KULLA YAUMIN DIINAARON ASTA’IINA BIHII ALAA KUUTII WAL HAJI ILA BAITILLAH ALHAROOM.”
- Pada minggu kedua dalam rangkaian ritual Anda tetap tidak diperbolehkan mengkonsumsi makanan yang bernyawa, atau segala sesuatu yang berasal daripadanya, dan diharuskan tetap menjalankan ritual seperti yang dijelaskan di atas. Kemudian pada tanggal 12,14, dan 15 berpuasalah. Namun, buka dan malam harinya tidak boleh mengkonsumsi makanan yang bernyawa serta segala sesuatu yang berasal daripadanya.
- Bila ritual yang Anda jalankan masih terus berlangsung sampai malam Jum’atnya (malam terakhir dari ritual Anda), maka Anda harus mandi jinabat kemudian mengenakan pakaian yang bersih dan memakai wewangian, seperti minyak misik atau zafaron. Pada tengah malam pas pukul 00.00, Anda harus menunaikan sholat Isya. Kemudian setelah sholat Isya bacalan amalan-amalan berikut ini: SUBHANALLAH 33X, ALHAMDULILLAH 33X, LA ILAHA ILLALAAH 33X, ALLAHU AKBAR 33X, ALLAAHUMMA SOLLI ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WA ALA ALI SAYYIDINA MUHAMMAD 1000X, YA KARIIM YA ROHIIM 1000X, ALLAAHUMMA SOLLI ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WA ALA ALIHI WA SOHBIHI WA SALLIM ASSOLAATU ALA ROSUULILLAH SOLLALLAAHU ALAIHI WA SALLAMA 1X, AYAT KURSYI 3X, AL IKHLAS 3X, AL FALAQ 1X, ANNAS 1X, ALLAAHUMMA AATIHIL WASIILAH WAL FADIILLAH WADDAROJAH ARROFII’AH WAB’ATSHU WAL MAKOOMAL MAHMUUDAL LADZII WA’ATTAH WA AURONAA HAUDOHO WASKINAA MIN YADIHI SYARBATAN LA NATMA’ANNA BA’DAHA ABADAN 1X. Ingat, sewaktu mewridzkan semua amalan di atas jangan sampai tertidur, sebab jika tertidur bisa gagal total.
- Sampai di sini ritual yang Anda jalankan selesai, tinggal menunggu waktu sholat Subuh tiba. Sekali lagi ingat, selama menunggu datangnya waktu sholat Subuh tidak boleh tertidur barang sekejappun sebab bisa gagal. Lalu, sesudah sholat Subuh bacalah solawat sebanyak-banyaknya hingga Anda benar-benar diliputi oleh rasa kantuk yang sangat hebat hingga Anda tertidur karenanya. Maka ketika Anda tertidur itulah khodam amalan ini akan datang dan bertanya, “Hai hamba Allah, apakah Anda menghendaki harta benda atau akhirat?” Maka jawablah, “Saya menghendaki harta benda, tetapi saya meminta pertolongan akhirat.” Maka khodam tersebut akan memberikan dua keping mata uang Dinar kepada Anda, dan berpesan kepada Anda agar setiap Jum’at melakukan ziarah kubur, mandi jinabat, dan membaca: “YA KARIIM YA ROHIIM”
“Setelah menjalani ritual tersebut dengan sempurna, Insya Allah setiap hari Anda akan mendapatkan uang sesuai yang Anda butuhkan, di bawah bantal yang Anda tiduri. Dengan catatan Anda harus merahasiakan keajaiban ini kepada siapapun. Bila Anda membuka rahasia ini, maka kiriman uang gaib tersebut akan terhenti dengan sendirinya,” urai Saipudin, mempertegas amalan ritual yang dibeberkannya.
Muhammad Syahri, salah seorang saksi yang pernah menjalankan ritual tersebut mengaku telah mengalami kegagalan dengan sebab yang sangat sepele. Ceritanya, sahabat dekat Saipudin ini melakukan ritual di rumah kontrakannya di bilangan Cipete, Jakarta Selatan. Gara-gara hal ini, si khodam penunggu wiridan marah, sebab katanya dia diundang bukan di tempat yang telah menjadi hak milik dari si pengundangnya, padahal pemilik tempat belum tentu meridhoinya. Yang dimaksud adalah rumah yang digunakan Syahri bukan milik pribadinya, dan pemilik rumah belum tentu merasa senang dengan perbuatannya.
“Khodam yang menjelma sebagai pria berjubah hijau itu malah menyuruh saya untuk mengulangi undangan atas dirinya, dan harus dilakukan di tempat yang sudah menjadi hak saya. Terus terang, saya kecewa. Tapi saya bangga dengan pengalaman langka ini,” aku Syahri saat dimintai kesaksiannya oleh Misteri.
Saipudin menambahkan, jangan gampang putus asa kalau ternyata setelah melakukan ritual tersebut ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Maksudnya, si pelaku ritual tidak menemukan uang di bawah bantalnya. “Sangat mungkin khodam itu memberikannya dengan cara lain. Misalkan saja memberikan kemujuran kepada Anda lewat proses kerja yang Anda lakukan. Istilahnya, mudah mendapat rejeki yang tidak disangka-sangka. Tapi semua ini tentu atas ridho Allah semata,” tandasnya.
Dengan menyimak uraian yang panjang lebar ini, masihkah kita harus meragukan bahwa yang namanya uang gaib, Bank Gaib, atau apapun istilahnya, hanya merupakan cerita isapan jempol semata? Akhirnya, terserah Anda menafsirkannya.
Cara Menyingkap Metode Tarikat Umum dan Khusus
Metode Tariqat Umum dan Khusus
Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily
PERLU diketahui bahwa pengetahuan yang menurut pemiliknya dianggap terpuji dan jelas, hal itu bisa dianggap gelap bagi ahli hakikat. Ahli hakikat ini adalah mereka yang menyelami Lautan Dzat dan kedalaman Sifat-sifat. Di sana, mereka tanpa memiliki imajinasi sama sekali. Dan mereka itulah kalangan Khos yang Luhur. Yaitu mereka yang menyertai martabat para Nabi dan Rasul, walau pun martabat para Nabi dan Rasul itu lebih mulia.
Sebab mereka ini mempunyai bagian dari martabat itu, karena tidak satu pun, baik Nabi maupun para Rasul, melainkan mempunyai pewaris dari ummat ini, dan setiap pewaris mempunyai bagian dari peninggalan warisannya. Nabi Saw, bersabda, “Para Ulama itu adalah pewaris para Nabi.”
Dan tentunya para pewaris itu memiliki kedudukan yang diketahui dari yang mewariskannya, dari segi pewarisan ilmu pengetahuan dan hikmah. Namun bukan dari segi perwujudan hakikat dan kondisi anugerah ruhani (al-maqam wal-haal). Sebab maqam para Nabi itu terlalu luhur untuk diraih oleh selain para Nabi sendiri, Sementara setiap pewaris mendapatkan sebagian maqam itu menurut warisan yang diterimanya. Karena Allah Swt, sudah berfirman,
“Niscaya benar-benar Kami utamakan sebagian Nabi atas sebagian yang lainnya”.
Begitu juga Allah memberikan posisi keutamaan para wali satu sama lainnya berbeda.
Para Nabi senantiasa bersama Pandangan Allah, dan setiap pandangan yang melimpah dari pandangan para Nabi akan tertuang menurut kadarnya. Sementara setiap Wali memiliki muatan yang spesifik, sehingga dunia Wali terbagi menjadi dua:
Satu bagian disebut sebagai wali pengganti para Nabi (Abdaalul Ambiya’)
Bagian kedua, adalah wali pengganti para Rasul (Abdaalur Rusul).
Abdal para Nabi disebut sebagai kaum Shalihun, sedangkan Abdal para Rasul disebut ash-Shiddiqun. Antara Shalihun dengan Shiddiqun, posisi keutamaannya sama dengan antara para Nabi dan Rasul. Maka ada yang meraih dari mereka (para Nabi), dan ada yang meraih dari mereka (para Rasul) pula.
Hanya saja diantara mereka itu adala kelompok khusus yang mendapatkan substansi materi ruhaniyah langsung dari Rasulullah Saw, yang mereka saksikan dengan pandangan yakin yang nyata. Tetapi jumlah kelompok sedikit, namun dalam jumlah perwujudan hakikatnya cukup banyak.
Setiap Nabi dan Wali selalu bermula dari substansi Rasulullah Saw. Karena diantara para Wali itu ada yang menyaksikan dengan pandangannya, dan sebagian mereka yang ada yang tersembunyikan pandangan dan substansi materinya. Mereka malah fana’ dalam anugerah yang turun padanya dan tidak tersibukkan dengan mencari substansi materi ruhaniyahnya itu, bahkan, mereka itu tenggelam dalam anugerah ruhani (haal) sampai tidak lagi melihat selain waktunya belaka.
Diantara mereka ada yang terlimpahi melalui Nur Ilahi, sehingga mereka dapat memandang melalui cahayaNya itu, dan mengenal urusannya secara nyata. Dan yang demikian itu merupakan karomah bagi mereka, yang tidak bisa diingkari kecuali oleh mereka yang memang mengingkari karomah para Wali. Kita semua mohon perlindungan dari keingkaran terhadap sesuatu setelah kita mengenal sesuatu itu. Mereka itu menempuh Thariqat yang tidak ditempuh oleh yang lainnya.
Sebab jalan penempuhan (Thariqat) itu ada dua. Thariqat bagi kalangan Khos, dan Thariqat bagi kalangan publik thariqah (umum).
Dimaksud dengan Thariqat Khos itu, adalah jalan yang ditempuh oleh kalangan yang Dicintai Allah (al-Mahbubin), yang merupakan Abdal para Rasul. Sedangkan Thariqat Umum adalah Thariqat yang ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin), yaitu Abdal para Nabi. Semoga Salam Sejahtera bagi mereka semua.
Thariqat Khos adalah Thariqat yang sangat khusus yang sulit dicerna akal biasa, dan langka sekali yang mampu menguraikan substansinya. Bagi Anda cukup dengan Thariqat Umum, yaitu jalan penempuhan melalui satu tahap ke tahap lainnya yang lebih luhur hingga sampai pada suatu tahap tertentu, yaitu , “tempat duduk yang benar di sisi Raja Yang Maha Berkuasa”.
Jejak pertama yang harus dtempuh oleh seorang pecinta (al-Muhibb) adalah menaiki suatu tahap ke tahap yang lebih tinggi, yaitu diawali dengan riyadhoh Nafsu.
Ia tersibukkan oleh sebab akibat di sana dan bagaimana seseorang mengolah (riyadhoh) nafsunya (mengendalikannya) sampai tangga kema’rifatan.
Manakala ia telah mencapai tahap ma’rifat dan meraih hakikat di sana, ia akan mendapatkan pencerahan cahaya di tahap kedua, yaitu Qalbu.
Dalam tahap ini ia berada dalam kesibukan “bersiasat” (aturan) dalam dunia ma’rifatnya qalbu. Manakala tidak ada lagi yang tersisa tahapannya, ia menaiki tangga ketiga, yaitu Ruh.
Lalu ia bersibuk diri dengan Siasat Ruh dan kema’rifatannya. Apabila ma’rifatnya sudah sempurna maka sedikit demi sedikit mengalirlah cahaya-cahaya yaqin, sampai pandangannya lupa dengan luapan-luapan cahaya itu, sampai yakinnya benar-benar jelas, sehingga ia tidak lagi mampu berfikir terhadap pencahayaan tiga tahap yang secelumnya itu.
Maka disanalah ia bebas berhasrat sesuai dengan kehendak Allah . Lalu Allah melimpahkan melalui Nur Akaly yang asli dalam Nur Yaqin. Lalu ia menyaksikan Maujud tanpa batas dan pangkal akhir, jika disandarkan pada si hamba tersebut. Sehingga lenyaplah seluruh jagad ini didalamnya.
Kadang-kadang seperti tabung yang terlihat di udara melalui cahaya matahari, maka, ketika cahaya matahari itu membakar, tabung itu tidak lagi tampak bekasnya.
”Matahari” itu ibarat akal langsung, yang bisa memperlihatkan obyek, setelah terpenuhi oleh materi cahaya yaqin. Apabila seluruh cahaya itu lenyap, maka seluruh jagad itu sirna pula, dan yang ada hanyalah yang maujud ini. Kadang tampak ada, kadang sirna, sampai ketika ia menghendaki kesempurnaan, ia dipanggil oleh panggilan yang lembut, tanpa suara, yang hanya bisa difahami saja. Hanya saja yang bisa menyaksikan selain Allah, tiada sesuatu yang lain selain Allah. Maka, disitulah ia bangun dan sadar dari “mabuk”nya. Lalu bermunajat, “Oh Tuhan, tolonglah daku…., Duh Gusti, tolonglah aku…sungguh aku telah musnah…”
Dari sana ia tahu dengan seyakin-yakinnya, bahwa siapapun tidak bisa selamat dari lautan itu melainkan karena pertolongan Allah Swt. Disaat seperti itu dikatakan padanya, “Maujud ini adalah Akal, seperti yang disabdakan Rasulullah Saw, bahwa yang pertamakali diciptakan oleh Allah adalah akal.” Pada hadits lain dijelaskan, “Allah berfirman pada akal itu, ‘Menghadaplah!’ dan akal itu pun menghadap.”
Hamba ini lantas dianugerahi rasa hina dan keselamatan melalui Cahaya Maujud itu, sebab batas dan ukurannya tiada terkira, sehingga ia tak mampu mengenalnya. Dikatakan padanya, “Betapa jauhnya, batas itu tidak bisa dikenal kecuali bersama Allah.”
Lantas Allah Yang Maha Agung nan Luhur memberikan petunjuk melalui Cahaya Asma’-Nya, muncullah bagai sekelebat kedipan mata, atau seperti yang dikehendaki-Nya (Kami mengangkat derajat orang yang Kami kehendaki), kemudian Allah melimpahkannya melalui Cahaya Ruh Rabbany, lalu ia pun mengenal Maujud ini. Hamba tadi naik ke medan Ruh Rabbany, tiba-tiba sirna seluruh riasan keindahan yang menyertainya, lalu secara otomatis ia tersunyikan, tinggalah segala yang ada ini menjadi Maujud.
Kemudian Allah menghidupkannya melalui Cahaya Sifat-sifatNya, lalu dengan kehidupan itu Allah menaikkan ke dalam pengenalan Maujud Rabbany itu.
Ketika hamba terurai dari dasar-dasar SifatNya, hampir-hampir ia sebut “Dialah Allah”. Tiba-tiba ia ditemui oleh Pertolongan Azaly, lalu muncul panggilan, “Ingatlah! Bahwa maujud itu adalah yang tiada boleh disifati oleh siapa pun, tidak boleh pula dimengerti melalui ibarat apa pun melalui Sifat-sifatNya kecuali hanya oleh ahlinya, namun melalui cahaya lain untuk mengenalnya.”
Kemudian Allah Swt, melimpahkannya melalui Cahaya Sirr Ruh (rahasia batin Ruh), tiba-tiba ia sudah duduk di pintu medan Sirr. Hasratnya mengembang untuk mengenal Maujud itu yang tidak lain adalah Sirr itu sendiri. Namun, ia telah buta untuk mengenalnya, lalu seluruh sifat-sifatnya sirna, seakan-akan tak ada sesuatu pun padanya. Kemudian Allah Swt, melimpahkan Cahaya DzatNya, dengan limpahan Kehidupan Keabadian yang tiada hingga.
Semua yang diketahui memandang dengan Cahaya Kehidupan ini, lantas seluruh penghuni Maujud ini menjadi Cahaya yang memancar pada segala yang ada, tidak lagi ada yang bisa disaksikan selain Dia. Muncullah panggilan dari jarak yang sangat dekat saat itu: “Janganlah terpedaya dalam menuju Allah, karena yang Dicintai justru yang terhijab dari Allah, dengan Allah. Sebab mustahil Allah dihijabi oleh selain Allah.”
Lalu ia hidup dengan kehidupan yang dititipkan oleh Allah di dalamnya. Hamba itu lalu berkata, “Duh, Gusti….BesertaMu, DariMu, KepadaMu, betapa tak berdayanya daku. Sesungguhnya aku memohon perlindungan padaMu dariMu, sampai aku tidak melihat lagi selain DiriMu.”
Itulah jalan yang tanjakan menuju Hadirat Allah Yang Luhur, yaitu jalan ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin), sebagai para Badal Nabi. Sedangkan yang dianugerahkan pada salah seorang dari mereka setelah itu, tak satu pun orang yang bisa mengukur atau mendeskripsikannya. Segala Puji hanya bagi Allah, atas segala nikmat-nikmatNya, dan shalawat serta salam semoga terlimpah pada Kanjeng Nabi Muhammad pengunci para NabiNya.
Sedangkan Thariqat kalangan Mahbubin (mereka yang dicintai-Nya) adalah langsung dari Allah, kepada Allah. Sebab mencapai jalan ini mustahil selain dari Allah Sendiri. Pijakan pertamanya, adalah tanpa pijakan itu sendiri, untuk mendapatkan Cahaya DzatNya. Mereka ini disembunyikan dari hamba-hamba-Nya, karena ia dianugerahi rasa cinta terhadap ketersembunyian. Segala amal-amal yang shaleh sangat kecil di matanya, sementara yang terlihat agung adalah Tuhannya bumi dan langit.
Ketika dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba mereka mendapati dirinya berpakaian baju ilmu. Lalu mereka memandang, tetapi yang tampak, mereka itu bukan mereka. Lantas ia tertimpa suatu kegelapan yang menyembunyikan pandangan mereka, bahkan wahananya menjadi wahana tiada, tanpa sebab-akibat. Seluruh aturan sebab akibat terhempas, dan seluruh yang disebut sebagai yang baru sirna tanpa sesuatu yang baru, bahkan tak ada wujud lagi.
Yang jelas justru tiada lagi, kecuali hanya Ketiadaan Murni itu sendiri, tanpa sebab dan akibat. Dan segala yang tanpa sebab langsung, berarti tidak ada obyek yang bisa dikenalnya. Segala yang yang bisa diketahui telah sirna, dan segala rumus telah musnah, sirna yang tidak diketahui kenapa dan bagaimana. Yang ada hanyalah “Substansi” yang ditunjukkan, bahwa Dia tiada bisa disifati dan tiada Sifat itu sendiri, bahkan tiada lagi Dzat. Segala Predikat, Asma’ dan Sifat telah sirna, maka tiada Nama, tiada Sifat dan tiada Dzat. Maka, muncullah “Yang” senantiasa Muncul, tiada sebab-akibat. Tetapi Dia menampakkan Rasia BatinNya, bagi DzatNya di dalam DzatNya, melalui pemunculan yang tiada awalnya. Namun Dia memandang dari DzatNya, bagi DzatNya, dengan DzatNya di dalam DzatNya.
Para hamba itu hidup melalui PemunculanNya dengan kehidupan yang tiada sebab-akibat di dalamnya. Lalu tampillah dengan seluruh Sifat-sifat yang Indah, yang tiada tahu mengapa dan bagaimana. Jadilah ia yang pertama muncul, tiada kemunculan sebelumnya. Lantas menemukan segala sesuatu bersama Sifat-sifat-Nya, kemudian muncullah cahayaNya di dalam cahayaNya.
Pertama-tama yang muncul adalah SirrNya (rahasia batin), lalu muncullah (melalui Sirr itu) qalbuNya, lantas muncul AmarNya melalui SirrNya di dalam SirrNya. Lalu muncullah segala dzat melaui AmarNya di dalam Cahaya al-Qalam melalui Cahaya al-Qalam.
Kemudian muncullah Akalnya dengan AmarNya dalam AmarNya, dan muncullah (dengan itu) ArasyNya di dalam Cahaya LauhNya dengan Cahaya Lauh itu sendiri. Lantas muncullah Ruhnya melalui Akalnya, dan melalui Ruhnya muncullah KursiNya di dalam Cahaya ArasyNya melalui Cahaya Arasy itu sendiri.
Lalu muncul nafsunya melalui qalbunya, lalu muncullah melalui nafsunyanya, orbit bagi kebajikan dan keburukan di dalam Cahaya HijabNya melalui Cahaya Hijab itu sendiri. Lalu muncul Jisim melalui nafsunya di dalam nafsunya, maka muncullulah melalui Jisim itu seluruh Jisim Alam Kasar baik di bumi maupun di langit.
Kesimpulannya, setiap alam kasar berada dalam Cahaya orbit melalui Cahaya orbit. Sehingga pijakan pertamanya bagi hamba tercinta yang sunyi ini adalah membuang diri pada ketiadaan, yaitu pembuangan dalam wahana tiada sebab akibat. Yaitu menghadap pada ketiadaan melalui pengguguran sifat awwaliyah, akhiriyah, dzahiriyah dan bathiniyah. Sehingga yang terjadi adalah menghadapkan sifat ketiadaan pada ketiadaan itu sendiri.
Arti sifat ketiadaan bagi ketiadaan itu adalah segala hal yang berakhir pada pangkal tiada aksioma sebab akibat. Yaitu menyaksikan Allah Ta’ala seperti tiada penyaksian yang berhubungan, tetapi tidak terpisah. Penyaksiaan yang tiada sedikitpun adanya peluang kealpaan, dimana dalil pembuktiannya tidak ada aksioma sebab akibat di dalamnya maupun baginya, yaitu penyaksian Ketiadaan Murni.
Arti dari tidak adanya pembuktian sebab akibat yaitu kelaziman tiadanya penyaksiaan terhadap makhluk-makhluk yang bisa disaksikan, kemudian secara berurutan, dari ketiadaan murni itu, yaitu Mabuk dalam Lupa yang abadi, bahkan lupa terhadap kehidupan yang ditunjukkan dalam wacana pada posisi ini.
Ternyata, jalan hamba ini adalah Jalan Luhur, atau apa yang disebut dengan terlempar ke dalam Lautan Dzat, lantas ia tiada, lalu dihidupkan dengan kehidupan yang baik, kemudian dipindahkan —tanpa harus pindah— ke Lautan Sifat, kemudian Lautan Amar Rabbany, kemudian Lautan Sirri, lalu Lautan al-Qalam yang masih asli, lantas Lautan Ruh, kemudian Lautan Qalbu, lalu Lautan Nafsu, lantas Lautan Kebajikan , kemudian ia ditemukan dengan Lautan Sirri, lalu dilempar ke Lautan Qolamiyah, lalu Lautan Lauhiyah, kemudian Lautan Arsyiyah, lantas Lautan Kursy, kemudian Lautan Hijabiyah, kemudian Lautan Falakiyah.
Ia dipertemukan dengan Lautan Sirri yang meliputi, kemudian dilempar ke Lautan Mulkiyah, lalu ke Lautan Abalisah (keiblisan), kemudian Lautan Jinsiyah, baru ke Lautan Unsiyah. Disana ia bertemu dengan Lautan Sirri, lalu dilemparkan ke Lautan Syurgawi, lalu Lautan Nirani (kenerakaan), kemudian dilempar ke Lautan Ihathah (keseluruhan yang meliputi) yaitu Lautan Sirri, lalu tenggelamlah di sana dalam ketenggelaman yang tidak keluar lagi selama-lamanya kecuali atas Izin-Nya. Bila Allah menghendaki ia diutus sebagai Abdal dari Rasul yang menghidupkan para hambaNya. Jika Dia berkehendak lain, Dia menutupinya. Dia bertindak sesuai dengan kehendakNya.
Setiap Lautan dari Lautan-lautan itu, meliputi berbagai Lautan di sana, dimana jika orang yang Shaleh Badal Rasul masuk di dalam Lautan paling kecil saja dari Lautan-lautan itu, pasti ia tenggelam di dalamnya dan tidak akan selamat lagi (mentas).
Semua itu merupakan gambaran Thariqat Umum dan Khusus. Hanya Allah Sendiri yang Terpuji.
Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily
PERLU diketahui bahwa pengetahuan yang menurut pemiliknya dianggap terpuji dan jelas, hal itu bisa dianggap gelap bagi ahli hakikat. Ahli hakikat ini adalah mereka yang menyelami Lautan Dzat dan kedalaman Sifat-sifat. Di sana, mereka tanpa memiliki imajinasi sama sekali. Dan mereka itulah kalangan Khos yang Luhur. Yaitu mereka yang menyertai martabat para Nabi dan Rasul, walau pun martabat para Nabi dan Rasul itu lebih mulia.
Sebab mereka ini mempunyai bagian dari martabat itu, karena tidak satu pun, baik Nabi maupun para Rasul, melainkan mempunyai pewaris dari ummat ini, dan setiap pewaris mempunyai bagian dari peninggalan warisannya. Nabi Saw, bersabda, “Para Ulama itu adalah pewaris para Nabi.”
Dan tentunya para pewaris itu memiliki kedudukan yang diketahui dari yang mewariskannya, dari segi pewarisan ilmu pengetahuan dan hikmah. Namun bukan dari segi perwujudan hakikat dan kondisi anugerah ruhani (al-maqam wal-haal). Sebab maqam para Nabi itu terlalu luhur untuk diraih oleh selain para Nabi sendiri, Sementara setiap pewaris mendapatkan sebagian maqam itu menurut warisan yang diterimanya. Karena Allah Swt, sudah berfirman,
“Niscaya benar-benar Kami utamakan sebagian Nabi atas sebagian yang lainnya”.
Begitu juga Allah memberikan posisi keutamaan para wali satu sama lainnya berbeda.
Para Nabi senantiasa bersama Pandangan Allah, dan setiap pandangan yang melimpah dari pandangan para Nabi akan tertuang menurut kadarnya. Sementara setiap Wali memiliki muatan yang spesifik, sehingga dunia Wali terbagi menjadi dua:
Satu bagian disebut sebagai wali pengganti para Nabi (Abdaalul Ambiya’)
Bagian kedua, adalah wali pengganti para Rasul (Abdaalur Rusul).
Abdal para Nabi disebut sebagai kaum Shalihun, sedangkan Abdal para Rasul disebut ash-Shiddiqun. Antara Shalihun dengan Shiddiqun, posisi keutamaannya sama dengan antara para Nabi dan Rasul. Maka ada yang meraih dari mereka (para Nabi), dan ada yang meraih dari mereka (para Rasul) pula.
Hanya saja diantara mereka itu adala kelompok khusus yang mendapatkan substansi materi ruhaniyah langsung dari Rasulullah Saw, yang mereka saksikan dengan pandangan yakin yang nyata. Tetapi jumlah kelompok sedikit, namun dalam jumlah perwujudan hakikatnya cukup banyak.
Setiap Nabi dan Wali selalu bermula dari substansi Rasulullah Saw. Karena diantara para Wali itu ada yang menyaksikan dengan pandangannya, dan sebagian mereka yang ada yang tersembunyikan pandangan dan substansi materinya. Mereka malah fana’ dalam anugerah yang turun padanya dan tidak tersibukkan dengan mencari substansi materi ruhaniyahnya itu, bahkan, mereka itu tenggelam dalam anugerah ruhani (haal) sampai tidak lagi melihat selain waktunya belaka.
Diantara mereka ada yang terlimpahi melalui Nur Ilahi, sehingga mereka dapat memandang melalui cahayaNya itu, dan mengenal urusannya secara nyata. Dan yang demikian itu merupakan karomah bagi mereka, yang tidak bisa diingkari kecuali oleh mereka yang memang mengingkari karomah para Wali. Kita semua mohon perlindungan dari keingkaran terhadap sesuatu setelah kita mengenal sesuatu itu. Mereka itu menempuh Thariqat yang tidak ditempuh oleh yang lainnya.
Sebab jalan penempuhan (Thariqat) itu ada dua. Thariqat bagi kalangan Khos, dan Thariqat bagi kalangan publik thariqah (umum).
Dimaksud dengan Thariqat Khos itu, adalah jalan yang ditempuh oleh kalangan yang Dicintai Allah (al-Mahbubin), yang merupakan Abdal para Rasul. Sedangkan Thariqat Umum adalah Thariqat yang ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin), yaitu Abdal para Nabi. Semoga Salam Sejahtera bagi mereka semua.
Thariqat Khos adalah Thariqat yang sangat khusus yang sulit dicerna akal biasa, dan langka sekali yang mampu menguraikan substansinya. Bagi Anda cukup dengan Thariqat Umum, yaitu jalan penempuhan melalui satu tahap ke tahap lainnya yang lebih luhur hingga sampai pada suatu tahap tertentu, yaitu , “tempat duduk yang benar di sisi Raja Yang Maha Berkuasa”.
Jejak pertama yang harus dtempuh oleh seorang pecinta (al-Muhibb) adalah menaiki suatu tahap ke tahap yang lebih tinggi, yaitu diawali dengan riyadhoh Nafsu.
Ia tersibukkan oleh sebab akibat di sana dan bagaimana seseorang mengolah (riyadhoh) nafsunya (mengendalikannya) sampai tangga kema’rifatan.
Manakala ia telah mencapai tahap ma’rifat dan meraih hakikat di sana, ia akan mendapatkan pencerahan cahaya di tahap kedua, yaitu Qalbu.
Dalam tahap ini ia berada dalam kesibukan “bersiasat” (aturan) dalam dunia ma’rifatnya qalbu. Manakala tidak ada lagi yang tersisa tahapannya, ia menaiki tangga ketiga, yaitu Ruh.
Lalu ia bersibuk diri dengan Siasat Ruh dan kema’rifatannya. Apabila ma’rifatnya sudah sempurna maka sedikit demi sedikit mengalirlah cahaya-cahaya yaqin, sampai pandangannya lupa dengan luapan-luapan cahaya itu, sampai yakinnya benar-benar jelas, sehingga ia tidak lagi mampu berfikir terhadap pencahayaan tiga tahap yang secelumnya itu.
Maka disanalah ia bebas berhasrat sesuai dengan kehendak Allah . Lalu Allah melimpahkan melalui Nur Akaly yang asli dalam Nur Yaqin. Lalu ia menyaksikan Maujud tanpa batas dan pangkal akhir, jika disandarkan pada si hamba tersebut. Sehingga lenyaplah seluruh jagad ini didalamnya.
Kadang-kadang seperti tabung yang terlihat di udara melalui cahaya matahari, maka, ketika cahaya matahari itu membakar, tabung itu tidak lagi tampak bekasnya.
”Matahari” itu ibarat akal langsung, yang bisa memperlihatkan obyek, setelah terpenuhi oleh materi cahaya yaqin. Apabila seluruh cahaya itu lenyap, maka seluruh jagad itu sirna pula, dan yang ada hanyalah yang maujud ini. Kadang tampak ada, kadang sirna, sampai ketika ia menghendaki kesempurnaan, ia dipanggil oleh panggilan yang lembut, tanpa suara, yang hanya bisa difahami saja. Hanya saja yang bisa menyaksikan selain Allah, tiada sesuatu yang lain selain Allah. Maka, disitulah ia bangun dan sadar dari “mabuk”nya. Lalu bermunajat, “Oh Tuhan, tolonglah daku…., Duh Gusti, tolonglah aku…sungguh aku telah musnah…”
Dari sana ia tahu dengan seyakin-yakinnya, bahwa siapapun tidak bisa selamat dari lautan itu melainkan karena pertolongan Allah Swt. Disaat seperti itu dikatakan padanya, “Maujud ini adalah Akal, seperti yang disabdakan Rasulullah Saw, bahwa yang pertamakali diciptakan oleh Allah adalah akal.” Pada hadits lain dijelaskan, “Allah berfirman pada akal itu, ‘Menghadaplah!’ dan akal itu pun menghadap.”
Hamba ini lantas dianugerahi rasa hina dan keselamatan melalui Cahaya Maujud itu, sebab batas dan ukurannya tiada terkira, sehingga ia tak mampu mengenalnya. Dikatakan padanya, “Betapa jauhnya, batas itu tidak bisa dikenal kecuali bersama Allah.”
Lantas Allah Yang Maha Agung nan Luhur memberikan petunjuk melalui Cahaya Asma’-Nya, muncullah bagai sekelebat kedipan mata, atau seperti yang dikehendaki-Nya (Kami mengangkat derajat orang yang Kami kehendaki), kemudian Allah melimpahkannya melalui Cahaya Ruh Rabbany, lalu ia pun mengenal Maujud ini. Hamba tadi naik ke medan Ruh Rabbany, tiba-tiba sirna seluruh riasan keindahan yang menyertainya, lalu secara otomatis ia tersunyikan, tinggalah segala yang ada ini menjadi Maujud.
Kemudian Allah menghidupkannya melalui Cahaya Sifat-sifatNya, lalu dengan kehidupan itu Allah menaikkan ke dalam pengenalan Maujud Rabbany itu.
Ketika hamba terurai dari dasar-dasar SifatNya, hampir-hampir ia sebut “Dialah Allah”. Tiba-tiba ia ditemui oleh Pertolongan Azaly, lalu muncul panggilan, “Ingatlah! Bahwa maujud itu adalah yang tiada boleh disifati oleh siapa pun, tidak boleh pula dimengerti melalui ibarat apa pun melalui Sifat-sifatNya kecuali hanya oleh ahlinya, namun melalui cahaya lain untuk mengenalnya.”
Kemudian Allah Swt, melimpahkannya melalui Cahaya Sirr Ruh (rahasia batin Ruh), tiba-tiba ia sudah duduk di pintu medan Sirr. Hasratnya mengembang untuk mengenal Maujud itu yang tidak lain adalah Sirr itu sendiri. Namun, ia telah buta untuk mengenalnya, lalu seluruh sifat-sifatnya sirna, seakan-akan tak ada sesuatu pun padanya. Kemudian Allah Swt, melimpahkan Cahaya DzatNya, dengan limpahan Kehidupan Keabadian yang tiada hingga.
Semua yang diketahui memandang dengan Cahaya Kehidupan ini, lantas seluruh penghuni Maujud ini menjadi Cahaya yang memancar pada segala yang ada, tidak lagi ada yang bisa disaksikan selain Dia. Muncullah panggilan dari jarak yang sangat dekat saat itu: “Janganlah terpedaya dalam menuju Allah, karena yang Dicintai justru yang terhijab dari Allah, dengan Allah. Sebab mustahil Allah dihijabi oleh selain Allah.”
Lalu ia hidup dengan kehidupan yang dititipkan oleh Allah di dalamnya. Hamba itu lalu berkata, “Duh, Gusti….BesertaMu, DariMu, KepadaMu, betapa tak berdayanya daku. Sesungguhnya aku memohon perlindungan padaMu dariMu, sampai aku tidak melihat lagi selain DiriMu.”
Itulah jalan yang tanjakan menuju Hadirat Allah Yang Luhur, yaitu jalan ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin), sebagai para Badal Nabi. Sedangkan yang dianugerahkan pada salah seorang dari mereka setelah itu, tak satu pun orang yang bisa mengukur atau mendeskripsikannya. Segala Puji hanya bagi Allah, atas segala nikmat-nikmatNya, dan shalawat serta salam semoga terlimpah pada Kanjeng Nabi Muhammad pengunci para NabiNya.
Sedangkan Thariqat kalangan Mahbubin (mereka yang dicintai-Nya) adalah langsung dari Allah, kepada Allah. Sebab mencapai jalan ini mustahil selain dari Allah Sendiri. Pijakan pertamanya, adalah tanpa pijakan itu sendiri, untuk mendapatkan Cahaya DzatNya. Mereka ini disembunyikan dari hamba-hamba-Nya, karena ia dianugerahi rasa cinta terhadap ketersembunyian. Segala amal-amal yang shaleh sangat kecil di matanya, sementara yang terlihat agung adalah Tuhannya bumi dan langit.
Ketika dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba mereka mendapati dirinya berpakaian baju ilmu. Lalu mereka memandang, tetapi yang tampak, mereka itu bukan mereka. Lantas ia tertimpa suatu kegelapan yang menyembunyikan pandangan mereka, bahkan wahananya menjadi wahana tiada, tanpa sebab-akibat. Seluruh aturan sebab akibat terhempas, dan seluruh yang disebut sebagai yang baru sirna tanpa sesuatu yang baru, bahkan tak ada wujud lagi.
Yang jelas justru tiada lagi, kecuali hanya Ketiadaan Murni itu sendiri, tanpa sebab dan akibat. Dan segala yang tanpa sebab langsung, berarti tidak ada obyek yang bisa dikenalnya. Segala yang yang bisa diketahui telah sirna, dan segala rumus telah musnah, sirna yang tidak diketahui kenapa dan bagaimana. Yang ada hanyalah “Substansi” yang ditunjukkan, bahwa Dia tiada bisa disifati dan tiada Sifat itu sendiri, bahkan tiada lagi Dzat. Segala Predikat, Asma’ dan Sifat telah sirna, maka tiada Nama, tiada Sifat dan tiada Dzat. Maka, muncullah “Yang” senantiasa Muncul, tiada sebab-akibat. Tetapi Dia menampakkan Rasia BatinNya, bagi DzatNya di dalam DzatNya, melalui pemunculan yang tiada awalnya. Namun Dia memandang dari DzatNya, bagi DzatNya, dengan DzatNya di dalam DzatNya.
Para hamba itu hidup melalui PemunculanNya dengan kehidupan yang tiada sebab-akibat di dalamnya. Lalu tampillah dengan seluruh Sifat-sifat yang Indah, yang tiada tahu mengapa dan bagaimana. Jadilah ia yang pertama muncul, tiada kemunculan sebelumnya. Lantas menemukan segala sesuatu bersama Sifat-sifat-Nya, kemudian muncullah cahayaNya di dalam cahayaNya.
Pertama-tama yang muncul adalah SirrNya (rahasia batin), lalu muncullah (melalui Sirr itu) qalbuNya, lantas muncul AmarNya melalui SirrNya di dalam SirrNya. Lalu muncullah segala dzat melaui AmarNya di dalam Cahaya al-Qalam melalui Cahaya al-Qalam.
Kemudian muncullah Akalnya dengan AmarNya dalam AmarNya, dan muncullah (dengan itu) ArasyNya di dalam Cahaya LauhNya dengan Cahaya Lauh itu sendiri. Lantas muncullah Ruhnya melalui Akalnya, dan melalui Ruhnya muncullah KursiNya di dalam Cahaya ArasyNya melalui Cahaya Arasy itu sendiri.
Lalu muncul nafsunya melalui qalbunya, lalu muncullah melalui nafsunyanya, orbit bagi kebajikan dan keburukan di dalam Cahaya HijabNya melalui Cahaya Hijab itu sendiri. Lalu muncul Jisim melalui nafsunya di dalam nafsunya, maka muncullulah melalui Jisim itu seluruh Jisim Alam Kasar baik di bumi maupun di langit.
Kesimpulannya, setiap alam kasar berada dalam Cahaya orbit melalui Cahaya orbit. Sehingga pijakan pertamanya bagi hamba tercinta yang sunyi ini adalah membuang diri pada ketiadaan, yaitu pembuangan dalam wahana tiada sebab akibat. Yaitu menghadap pada ketiadaan melalui pengguguran sifat awwaliyah, akhiriyah, dzahiriyah dan bathiniyah. Sehingga yang terjadi adalah menghadapkan sifat ketiadaan pada ketiadaan itu sendiri.
Arti sifat ketiadaan bagi ketiadaan itu adalah segala hal yang berakhir pada pangkal tiada aksioma sebab akibat. Yaitu menyaksikan Allah Ta’ala seperti tiada penyaksian yang berhubungan, tetapi tidak terpisah. Penyaksiaan yang tiada sedikitpun adanya peluang kealpaan, dimana dalil pembuktiannya tidak ada aksioma sebab akibat di dalamnya maupun baginya, yaitu penyaksian Ketiadaan Murni.
Arti dari tidak adanya pembuktian sebab akibat yaitu kelaziman tiadanya penyaksiaan terhadap makhluk-makhluk yang bisa disaksikan, kemudian secara berurutan, dari ketiadaan murni itu, yaitu Mabuk dalam Lupa yang abadi, bahkan lupa terhadap kehidupan yang ditunjukkan dalam wacana pada posisi ini.
Ternyata, jalan hamba ini adalah Jalan Luhur, atau apa yang disebut dengan terlempar ke dalam Lautan Dzat, lantas ia tiada, lalu dihidupkan dengan kehidupan yang baik, kemudian dipindahkan —tanpa harus pindah— ke Lautan Sifat, kemudian Lautan Amar Rabbany, kemudian Lautan Sirri, lalu Lautan al-Qalam yang masih asli, lantas Lautan Ruh, kemudian Lautan Qalbu, lalu Lautan Nafsu, lantas Lautan Kebajikan , kemudian ia ditemukan dengan Lautan Sirri, lalu dilempar ke Lautan Qolamiyah, lalu Lautan Lauhiyah, kemudian Lautan Arsyiyah, lantas Lautan Kursy, kemudian Lautan Hijabiyah, kemudian Lautan Falakiyah.
Ia dipertemukan dengan Lautan Sirri yang meliputi, kemudian dilempar ke Lautan Mulkiyah, lalu ke Lautan Abalisah (keiblisan), kemudian Lautan Jinsiyah, baru ke Lautan Unsiyah. Disana ia bertemu dengan Lautan Sirri, lalu dilemparkan ke Lautan Syurgawi, lalu Lautan Nirani (kenerakaan), kemudian dilempar ke Lautan Ihathah (keseluruhan yang meliputi) yaitu Lautan Sirri, lalu tenggelamlah di sana dalam ketenggelaman yang tidak keluar lagi selama-lamanya kecuali atas Izin-Nya. Bila Allah menghendaki ia diutus sebagai Abdal dari Rasul yang menghidupkan para hambaNya. Jika Dia berkehendak lain, Dia menutupinya. Dia bertindak sesuai dengan kehendakNya.
Setiap Lautan dari Lautan-lautan itu, meliputi berbagai Lautan di sana, dimana jika orang yang Shaleh Badal Rasul masuk di dalam Lautan paling kecil saja dari Lautan-lautan itu, pasti ia tenggelam di dalamnya dan tidak akan selamat lagi (mentas).
Semua itu merupakan gambaran Thariqat Umum dan Khusus. Hanya Allah Sendiri yang Terpuji.
Menyingkap Murid tamat berguru
Murid yang Tamat Berguru
Berikut adalah cerita sufi tentang seorang murid yang telah tamat berguru. Cerita ini seringkali disampaikan oleh Guru saya kepada murid-muridnya. Biasanya cerita ini disampaikan kepada murid-murid yang masih tinggal bersama Beliau di Surau.
Suatu ketika anak surau yang berjumlah 35 orang itu dikumpulkan. Maklum, para pengabdi itu pun sudah dewasa dan mereka juga memikirkan ujung pengabdian. Mereka harus ke mana, mereka harus hidup berumah tangga, mencari pekerjaan dan lain-lain. Guru bila bercerita sangat menarik, mempesona dan membuat pendengar tak bergerak. Guru berkata, “Ada murid yang baru tamat berguru lalu ia pulang ke rumahnya. Di tengah jalan dilihatnya ada seorang putri raja yang aduhai cantiknya, sang putri sedang duduk di depan rumahnya yang indah. Si murid ini sangat terpesona dan tertarik dengan paras cantik putri itu. Dalam hatinya ia berkata, “Alangkah eloknya jika ia jadi istri dan pendamping hidup saya…?”
Terangan-angan paras gadis sampai di rumahnya, ia berkata kepada ibunya, “Ibu, anak gadis yang saya jumpai di rumah indah di pinggir jalan itu apa sudah ada yang punya?” Ibu menjawab, “Apa maksudnya?” ujar ibu menimpali pertanyaan anaknya. Anaknya berkata, “Kalau belum ada yang punya, tolong ibu lamarkan untuk saya.” “Sadar nak” begitu sergah ibunya. “Dia putri raja, kaya raya, sedangkan engkau anak orang biasa dan miskin.”
Untuk tidak mengecewakan anaknya yang baru lulus berguru dan pantas menikah itu. Sebagai ibu yang bijaksana, sang ibu pergi mencoba bertanya. Ia pergi ke rumah gadis tersebut. Maka ibu mengetok pintu sambil mengucap salam “Assalamu’alaikum!” “Wa’alaikum salam”, jawab tuan rumah. “Ada apa bu?” kata tuan rumah. “Ini anak saya kemarin lewat di depan rumah raja kebetulan dilihatlah olehnya seorang gadis manis putri raja dan ia merasa tertarik. Si anak baru tamat berguru pada wali Allah (tidak disebut nama si wali), dan maksud kedatangan hamba kemari ingin melamar anak gadis raja itu, bila raja berkenan dan bila putri itu belum ada yang punya!”
Raja memang bijaksana, untuk menolak dengan terang-terangan dan supaya tidak menyakiti hati sebagian rakyatnya ia menjawab, “Oh, ibu mau melamar untuk anak ibu. Begini bu, saya tidak bisa memutuskan sendiri, apakah lamaran itu diterima atau tidak. Karena ini adalah masalah Negara maka saya akan panggil dan mengumpulkan semua menteri untuk memutuskan hal ini. Dan ibu sebaiknya pulang dulu dan barang seminggu sudah ada keputusan.”
Sesampainya di rumah, si anak bertanya “Bagaimana bu, beritanya?” “Oh tunggu seminggu lagi nak, karena raja tidak bisa memutuskan seorang diri maka raja akan panggil menteri-menterinya untuk membahas masalah ini.” Raja memanggil menteri-menteri dan memberitahukan bahwa anak si ibu yang bernama Fulana telah datang menemui raja dengan maksud ingin melamarkan si anak pada putri raja dan bagaimana caranya supaya lamaran di tolak, dengan tidak menyakiti hati ibunya.” “Ah itu mudah raja” jawab menteri. “Buat saja persyaratan yang berat kepadanya yang sekiranya tidak dapat dipenuhi.” “Nah apa itu?” kata raja. “Minta saja tujuh buah mutiara sebesar telur, pasti ia tidak akan bisa memenuhi dan karena itu persyaratan untuk mempersunting putri raja menjadi gagal.” “Wah pandai kau menteri. Aku setuju dengan caramu itu, nanti akan aku katakan pada ibu si anak itu jika ia datang ke sini untuk menanyakan keputusan raja.” Benar saja seminggu kemudian pintu raja terketuk dan terdengar “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam”, pintu dibukakan dan si ibu pun dipersilakan masuk untuk menanyakan bagaimana kabar beritanya. “Begini, lamaran ibu diterima asalkan anak ibu menyiapkan tujuh butir mutiara sebesar telur lalu diserahkan pada raja. Itu persyaratannya.” jelas raja. “Kalau begitu saya beritahukan pada anak saya, sanggup atau tidak.” jawab ibu. “Oh ya, ya silakan.”
Si ibu pun pulang dari rumah raja, di pintu dia sudah disambut oleh anak itu sambil bertanya, ”Bagaimana kabarnya bu?” ”Aduh itu nak, tujuh turunan dari kakek sampai anak cucu, mencari duit untuk tidak dibuat makan, tatapi dibuat untuk membeli tujuh butir mutiara sebesar telur ayam itu tidak akan bisa terkumpul.” “Oh itu rupanya yang menjadi persyaratan diterimanya lamaran saya Bu?” “Betul nak, itu mana mungkin.” “Ah, Itu soal kecil, Bu!” tanggap anaknya. “Ha, soal kecil?” ibunya terheran. “Allah Ta’ala kan kaya bu” kata si anak, dan si ibu dibuat bingung mendengarnya. Si anak berkata, “Mutiara sebesar dan sebanyak itu hanya ada di Laut Cina Selatan.”
Diam-diam si anak keluar dengan membawa tempurung kelapa dan pergi ke Laut Cina Selatan. Dia kuras laut itu dengan batok kelapa (tempurung kelapa) sambil membaca: laa ilaaha illa Allah pada tiap kurasan, sehingga hampir habis air laut itu(secara gaib). Tiba-tiba geger penghuni-penghuni laut, berupa jin-jin penjaga laut itu dan mereka berteriak, “Stop…stop…! jangan kau teruskan nanti kering laut ini dan matilah anak buah kami. Sebenarnya apa yang engkau cari?” “Saya akan mencari tujuh butir mutiara sebesar telur ayam dan mutiara itu hanya ada di laut ini. Karena itu saya harus menguras dan mengeringkan laut ini.” begitu kata si murid wali itu dengan tegas.
Panglima jin penghuni laut itu berkata, “Kalau soal itu gampang, nanti saya akan memerintahkan anak buahku untuk mencari mutiara-mutiara itu dengan menyelami laut ini, dan tidak usah kau teruskan untuk menguras laut.” “Nah kalau kau sudah menjamin begitu, baiklah akan saya hentikan menguras laut ini.” Sesaat kemudian anak buah penghuni Laut Cina Selatan itu diperintahkan menyelam ke dasar laut sampai ditemukan ketujuh batu mutiara, lalu oleh penghulu jin mutiara itu disampaikan pada anak tadi dan ketujuh butir mutiara itu dibawa pulang oleh anak tadi.
Sesampainya di rumah, ibu menyapa “Sudah datang nak?” “Ya sudah datang dan ini tujuh buah mutiara yang diminta raja” kata anaknya. Oleh ibunya ketujuh butir mutiara itu di ambil dan ditimang-timang, dibalik-balik setengah tidak percaya. Lalu si anak menyeletuk, “Itu mutiara asli, bukan batu atau plastik bu!” meyakinkan pada ibunya. Sang ibu pun terdiam.
Esok harinya si ibu mengantarkan ketujuh butir mutiara itu kehadapan raja.” Assalamu’alaiku” “Wa’alaikum salam. Apa kabar bu?” “Kabar baik, dan ini tujuh butir mutiara yang raja minta dari anak saya, saya disuruh untuk mengantarkannya ke hadapan raja dan menyerahkannya.
Ketujuh butir mutiara itu pun diterima oleh raja, si raja terbelalak kedua matanya, terheran-heran hampir tidak percaya, seolah-olah dalam mimpi saja. Di balik-balik mutiara-mutiara itu, terheran melebihi kehendaknya. Raja terkagum diam. lalu si ibu berkata, “Tak usah khawatir raja, itu asli mutiara, bukan palsu, batu, atau plastik mainan, kata anak saya.” Raja pun terhentak dan akhirnya perkawinan pun dilaksanakan.
Berikut adalah cerita sufi tentang seorang murid yang telah tamat berguru. Cerita ini seringkali disampaikan oleh Guru saya kepada murid-muridnya. Biasanya cerita ini disampaikan kepada murid-murid yang masih tinggal bersama Beliau di Surau.
Suatu ketika anak surau yang berjumlah 35 orang itu dikumpulkan. Maklum, para pengabdi itu pun sudah dewasa dan mereka juga memikirkan ujung pengabdian. Mereka harus ke mana, mereka harus hidup berumah tangga, mencari pekerjaan dan lain-lain. Guru bila bercerita sangat menarik, mempesona dan membuat pendengar tak bergerak. Guru berkata, “Ada murid yang baru tamat berguru lalu ia pulang ke rumahnya. Di tengah jalan dilihatnya ada seorang putri raja yang aduhai cantiknya, sang putri sedang duduk di depan rumahnya yang indah. Si murid ini sangat terpesona dan tertarik dengan paras cantik putri itu. Dalam hatinya ia berkata, “Alangkah eloknya jika ia jadi istri dan pendamping hidup saya…?”
Terangan-angan paras gadis sampai di rumahnya, ia berkata kepada ibunya, “Ibu, anak gadis yang saya jumpai di rumah indah di pinggir jalan itu apa sudah ada yang punya?” Ibu menjawab, “Apa maksudnya?” ujar ibu menimpali pertanyaan anaknya. Anaknya berkata, “Kalau belum ada yang punya, tolong ibu lamarkan untuk saya.” “Sadar nak” begitu sergah ibunya. “Dia putri raja, kaya raya, sedangkan engkau anak orang biasa dan miskin.”
Untuk tidak mengecewakan anaknya yang baru lulus berguru dan pantas menikah itu. Sebagai ibu yang bijaksana, sang ibu pergi mencoba bertanya. Ia pergi ke rumah gadis tersebut. Maka ibu mengetok pintu sambil mengucap salam “Assalamu’alaikum!” “Wa’alaikum salam”, jawab tuan rumah. “Ada apa bu?” kata tuan rumah. “Ini anak saya kemarin lewat di depan rumah raja kebetulan dilihatlah olehnya seorang gadis manis putri raja dan ia merasa tertarik. Si anak baru tamat berguru pada wali Allah (tidak disebut nama si wali), dan maksud kedatangan hamba kemari ingin melamar anak gadis raja itu, bila raja berkenan dan bila putri itu belum ada yang punya!”
Raja memang bijaksana, untuk menolak dengan terang-terangan dan supaya tidak menyakiti hati sebagian rakyatnya ia menjawab, “Oh, ibu mau melamar untuk anak ibu. Begini bu, saya tidak bisa memutuskan sendiri, apakah lamaran itu diterima atau tidak. Karena ini adalah masalah Negara maka saya akan panggil dan mengumpulkan semua menteri untuk memutuskan hal ini. Dan ibu sebaiknya pulang dulu dan barang seminggu sudah ada keputusan.”
Sesampainya di rumah, si anak bertanya “Bagaimana bu, beritanya?” “Oh tunggu seminggu lagi nak, karena raja tidak bisa memutuskan seorang diri maka raja akan panggil menteri-menterinya untuk membahas masalah ini.” Raja memanggil menteri-menteri dan memberitahukan bahwa anak si ibu yang bernama Fulana telah datang menemui raja dengan maksud ingin melamarkan si anak pada putri raja dan bagaimana caranya supaya lamaran di tolak, dengan tidak menyakiti hati ibunya.” “Ah itu mudah raja” jawab menteri. “Buat saja persyaratan yang berat kepadanya yang sekiranya tidak dapat dipenuhi.” “Nah apa itu?” kata raja. “Minta saja tujuh buah mutiara sebesar telur, pasti ia tidak akan bisa memenuhi dan karena itu persyaratan untuk mempersunting putri raja menjadi gagal.” “Wah pandai kau menteri. Aku setuju dengan caramu itu, nanti akan aku katakan pada ibu si anak itu jika ia datang ke sini untuk menanyakan keputusan raja.” Benar saja seminggu kemudian pintu raja terketuk dan terdengar “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam”, pintu dibukakan dan si ibu pun dipersilakan masuk untuk menanyakan bagaimana kabar beritanya. “Begini, lamaran ibu diterima asalkan anak ibu menyiapkan tujuh butir mutiara sebesar telur lalu diserahkan pada raja. Itu persyaratannya.” jelas raja. “Kalau begitu saya beritahukan pada anak saya, sanggup atau tidak.” jawab ibu. “Oh ya, ya silakan.”
Si ibu pun pulang dari rumah raja, di pintu dia sudah disambut oleh anak itu sambil bertanya, ”Bagaimana kabarnya bu?” ”Aduh itu nak, tujuh turunan dari kakek sampai anak cucu, mencari duit untuk tidak dibuat makan, tatapi dibuat untuk membeli tujuh butir mutiara sebesar telur ayam itu tidak akan bisa terkumpul.” “Oh itu rupanya yang menjadi persyaratan diterimanya lamaran saya Bu?” “Betul nak, itu mana mungkin.” “Ah, Itu soal kecil, Bu!” tanggap anaknya. “Ha, soal kecil?” ibunya terheran. “Allah Ta’ala kan kaya bu” kata si anak, dan si ibu dibuat bingung mendengarnya. Si anak berkata, “Mutiara sebesar dan sebanyak itu hanya ada di Laut Cina Selatan.”
Diam-diam si anak keluar dengan membawa tempurung kelapa dan pergi ke Laut Cina Selatan. Dia kuras laut itu dengan batok kelapa (tempurung kelapa) sambil membaca: laa ilaaha illa Allah pada tiap kurasan, sehingga hampir habis air laut itu(secara gaib). Tiba-tiba geger penghuni-penghuni laut, berupa jin-jin penjaga laut itu dan mereka berteriak, “Stop…stop…! jangan kau teruskan nanti kering laut ini dan matilah anak buah kami. Sebenarnya apa yang engkau cari?” “Saya akan mencari tujuh butir mutiara sebesar telur ayam dan mutiara itu hanya ada di laut ini. Karena itu saya harus menguras dan mengeringkan laut ini.” begitu kata si murid wali itu dengan tegas.
Panglima jin penghuni laut itu berkata, “Kalau soal itu gampang, nanti saya akan memerintahkan anak buahku untuk mencari mutiara-mutiara itu dengan menyelami laut ini, dan tidak usah kau teruskan untuk menguras laut.” “Nah kalau kau sudah menjamin begitu, baiklah akan saya hentikan menguras laut ini.” Sesaat kemudian anak buah penghuni Laut Cina Selatan itu diperintahkan menyelam ke dasar laut sampai ditemukan ketujuh batu mutiara, lalu oleh penghulu jin mutiara itu disampaikan pada anak tadi dan ketujuh butir mutiara itu dibawa pulang oleh anak tadi.
Sesampainya di rumah, ibu menyapa “Sudah datang nak?” “Ya sudah datang dan ini tujuh buah mutiara yang diminta raja” kata anaknya. Oleh ibunya ketujuh butir mutiara itu di ambil dan ditimang-timang, dibalik-balik setengah tidak percaya. Lalu si anak menyeletuk, “Itu mutiara asli, bukan batu atau plastik bu!” meyakinkan pada ibunya. Sang ibu pun terdiam.
Esok harinya si ibu mengantarkan ketujuh butir mutiara itu kehadapan raja.” Assalamu’alaiku” “Wa’alaikum salam. Apa kabar bu?” “Kabar baik, dan ini tujuh butir mutiara yang raja minta dari anak saya, saya disuruh untuk mengantarkannya ke hadapan raja dan menyerahkannya.
Ketujuh butir mutiara itu pun diterima oleh raja, si raja terbelalak kedua matanya, terheran-heran hampir tidak percaya, seolah-olah dalam mimpi saja. Di balik-balik mutiara-mutiara itu, terheran melebihi kehendaknya. Raja terkagum diam. lalu si ibu berkata, “Tak usah khawatir raja, itu asli mutiara, bukan palsu, batu, atau plastik mainan, kata anak saya.” Raja pun terhentak dan akhirnya perkawinan pun dilaksanakan.
MURSYID DALAM TAREKAT
Mursyid Dalam Tarekat
Allah Swt. berfirman:
"Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid" (Al-Qur´an).
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur´an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya´rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.
Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah "dunia ilmu", yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma´rifat itu sendiri.
Jalan ma´rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: "Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan".
Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.
Sebagaimana ayat al-Qur´an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma´rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.
Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.
Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.
Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha´at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur´an disebutkan:
"Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah."
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.
Dalam kitab Al-Mafaakhirul ´Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ´Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya´ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak - minimal -ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan - ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, "Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu."
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, "Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah".
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.
Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.
Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.
Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara´ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba´ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana´ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.
Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra´ dan Mi´raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya´rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam "Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma´rifati Qawa´idus Shufiyah".
Allah Swt. berfirman:
"Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid" (Al-Qur´an).
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur´an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya´rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.
Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah "dunia ilmu", yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma´rifat itu sendiri.
Jalan ma´rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: "Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan".
Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.
Sebagaimana ayat al-Qur´an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma´rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.
Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.
Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.
Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha´at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur´an disebutkan:
"Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah."
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.
Dalam kitab Al-Mafaakhirul ´Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ´Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya´ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak - minimal -ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan - ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, "Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu."
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, "Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah".
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.
Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.
Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.
Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara´ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba´ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana´ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.
Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra´ dan Mi´raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya´rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam "Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma´rifati Qawa´idus Shufiyah".
Subscribe to:
Posts (Atom)
Rahasia Menyingkap Ilmu Laduni
Menyingkap Rahasia Ilmu (Laduni) Rahasia ahli kitab yang mampu memindahkah kursi Ratu Bilkis sebagaimana di kisahkan Al qur an hingga ...
-
SHOLAWAT NABI KHIDIR Bismillah, saya ijazahkan buat sodara semua sholawat nabi khidir yang kegunaanny multi fungsi. Diamalkan dengan ikhl...